Bagaimana Proses Pengajuan Rancangan Perda di DPRD?

SERBA-SERBI185 Dilihat
banner 468x60

Bagaimana Proses Pengajuan Rancangan Perda di DPRD?
PARLEMENTARIA.IDBagaimana Proses Pengajuan Rancangan Peraturan Daerah (Raperda) di DPRD? Menelusuri Jalur Legislasi di Tingkat Lokal

Peraturan Daerah (Perda) adalah salah satu instrumen hukum penting yang menjadi landasan bagi penyelenggaraan pemerintahan daerah dan kehidupan masyarakat di suatu wilayah. Perda dibentuk oleh Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) bersama dengan Kepala Daerah (Gubernur, Bupati, atau Walikota) untuk melaksanakan otonomi daerah dan tugas pembantuan, serta menampung kondisi khusus daerah dan/atau penjabaran lebih lanjut peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi. Proses pembentukan Perda, khususnya pengajuan Rancangan Peraturan Daerah (Raperda), merupakan cerminan dari kompleksitas dan mekanisme checks and balances dalam sistem demokrasi lokal. Artikel ini akan mengulas secara mendalam bagaimana tahapan-tahapan pengajuan Raperda di DPRD berlangsung.

banner 336x280

I. Landasan Hukum dan Asas Pembentukan Perda

Sebelum menyelami prosesnya, penting untuk memahami landasan hukum dan asas-asas yang mendasari pembentukan Perda. Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2019 menjadi pedoman utama. Beleid ini mengatur secara komprehensif mulai dari perencanaan, penyusunan, pembahasan, pengesahan, hingga pengundangan.

Pembentukan Perda harus didasarkan pada asas-asas sebagai berikut:

  1. Kejelasan tujuan: Setiap Perda harus memiliki tujuan yang jelas.
  2. Kelembagaan atau Pejabat Pembentuk yang Tepat: Perda harus dibuat oleh lembaga atau pejabat yang berwenang.
  3. Kesesuaian antara Jenis, Hierarki, dan Materi Muatan: Materi muatan Perda tidak boleh bertentangan dengan peraturan yang lebih tinggi.
  4. Dapat Dilaksanakan: Perda harus realistis dan dapat diimplementasikan.
  5. Kedayagunaan dan Kehasilgunaan: Perda harus bermanfaat dan efektif.
  6. Kejelasan Rumusan: Bahasa dan rumusan Perda harus jelas, tidak multitafsir.
  7. Keterbukaan: Proses pembentukan Perda harus transparan dan melibatkan partisipasi masyarakat.

Asas-asas ini memastikan bahwa setiap Perda yang dibentuk bukan hanya sah secara hukum, tetapi juga relevan, efektif, dan aspiratif terhadap kebutuhan masyarakat.

II. Sumber Inisiatif Rancangan Peraturan Daerah (Raperda)

Bagaimana Proses Pengajuan Rancangan Perda di DPRD?

Raperda dapat diajukan dari dua sumber utama, serta dimungkinkan adanya partisipasi masyarakat:

  1. DPRD (Hak Inisiatif DPRD):
    Anggota DPRD, baik secara perorangan, kelompok, atau komisi, memiliki hak untuk mengajukan Raperda. Pengajuan ini dikenal sebagai Hak Inisiatif DPRD. Raperda yang berasal dari inisiatif DPRD biasanya muncul dari aspirasi masyarakat yang diserap melalui reses, atau hasil kajian internal DPRD terkait kebutuhan regulasi di daerah.
  2. Kepala Daerah (Pemerintah Daerah):
    Kepala Daerah (Gubernur, Bupati, atau Walikota) melalui perangkat daerahnya juga dapat mengajukan Raperda. Raperda ini biasanya terkait dengan pelaksanaan program pembangunan daerah, kebijakan publik, atau penyesuaian dengan peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi.
  3. Partisipasi Masyarakat:
    Meskipun masyarakat tidak dapat langsung mengajukan Raperda, aspirasi dan masukan dari masyarakat sangat penting dan dapat disalurkan melalui mekanisme partisipasi publik. Masyarakat dapat menyampaikan usulan Raperda kepada DPRD atau Kepala Daerah, yang kemudian akan diolah dan disesuaikan menjadi Raperda inisiatif DPRD atau Raperda yang diajukan oleh Kepala Daerah.

III. Tahapan Proses Pengajuan dan Pembahasan Raperda

Proses pengajuan dan pembahasan Raperda di DPRD melibatkan beberapa tahapan krusial:

A. Perencanaan (Penyusunan Program Legislasi Daerah/Prolegda)
Tahap awal adalah perencanaan yang dituangkan dalam Program Legislasi Daerah (Prolegda). Prolegda adalah daftar Raperda yang akan dibahas dalam satu periode tertentu (biasanya satu tahun anggaran). Prolegda disusun secara bersama antara DPRD dan Kepala Daerah berdasarkan skala prioritas, kebutuhan hukum daerah, serta keterkaitan dengan program pembangunan daerah. Raperda yang tidak masuk dalam Prolegda pada prinsipnya tidak dapat dibahas, kecuali dalam keadaan tertentu yang mendesak.

B. Penyusunan Rancangan Peraturan Daerah (Raperda)
Setelah masuk Prolegda, penyusunan Raperda dimulai.

  • Jika dari DPRD: Raperda disusun oleh alat kelengkapan DPRD (Komisi, Badan Pembentukan Peraturan Daerah/Bapemperda, atau Panitia Khusus/Pansus) yang ditugaskan. Penyusunan ini dilengkapi dengan Naskah Akademik, yaitu dokumen ilmiah yang berisi kajian filosofis, sosiologis, dan yuridis mengenai urgensi dan tujuan pembentukan Perda, ruang lingkup, serta arah pengaturan.
  • Jika dari Kepala Daerah: Raperda disusun oleh perangkat daerah yang terkait, dikoordinasikan oleh Biro Hukum/Bagian Hukum Sekretariat Daerah, dan juga dilengkapi dengan Naskah Akademik.

C. Pengajuan dan Penyampaian Raperda
Raperda yang telah selesai disusun kemudian diajukan secara resmi:

  • Raperda inisiatif DPRD: Disampaikan oleh pimpinan alat kelengkapan DPRD kepada Pimpinan DPRD untuk dibahas dalam rapat paripurna.
  • Raperda dari Kepala Daerah: Disampaikan secara tertulis oleh Kepala Daerah kepada Pimpinan DPRD.

Setelah diajukan, Raperda akan disampaikan dalam Rapat Paripurna DPRD untuk mendapatkan pandangan umum dari fraksi-fraksi. Pandangan umum ini menjadi cikal bakal pembahasan lebih lanjut.

D. Pembahasan Raperda
Tahap pembahasan adalah jantung dari proses legislasi. Pembahasan Raperda dilakukan dalam dua tingkat:

  1. Pembahasan Tingkat I:
    • Dilakukan oleh Komisi, Bapemperda, atau Pansus yang dibentuk khusus untuk membahas Raperda tersebut.
    • Pada tahap ini, dilakukan pembahasan secara mendalam terhadap materi muatan Raperda, termasuk judul, bab, pasal, dan ayat.
    • Melibatkan masukan dari berbagai pihak, termasuk pakar, akademisi, organisasi masyarakat, dan masyarakat umum melalui mekanisme uji publik (public hearing). Partisipasi masyarakat sangat krusial di tahap ini untuk memastikan Raperda responsif terhadap kebutuhan dan aspirasi publik.
    • Dapat dilakukan rapat kerja dengan pemerintah daerah (jika Raperda inisiatif DPRD) atau rapat dengar pendapat (jika Raperda dari Kepala Daerah).
    • Hasil pembahasan Tingkat I adalah penyusunan Daftar Inventaris Masalah (DIM) dan perbaikan substansi Raperda.
  2. Pembahasan Tingkat II:
    • Dilakukan dalam Rapat Paripurna DPRD.
    • Pimpinan Komisi/Bapemperda/Pansus menyampaikan laporan hasil pembahasan Tingkat I, termasuk pandangan akhir fraksi-fraksi.
    • Kepala Daerah atau wakilnya juga menyampaikan pandangan akhir.
    • Pada tahap ini, dilakukan pengambilan keputusan akhir oleh DPRD untuk menyetujui atau menolak Raperda menjadi Perda. Jika disetujui, Raperda tersebut menjadi Perda dan ditandatangani oleh Ketua DPRD.

E. Evaluasi Raperda (Khusus untuk Kabupaten/Kota)
Setelah disetujui bersama oleh DPRD dan Kepala Daerah, Raperda Kabupaten/Kota tidak langsung diundangkan. Raperda tersebut wajib dievaluasi oleh Gubernur sebagai wakil pemerintah pusat. Evaluasi ini bertujuan untuk memastikan Raperda tidak bertentangan dengan peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi, kepentingan umum, atau nilai-nilai dasar otonomi daerah. Jika ada keberatan, Gubernur dapat meminta perubahan atau bahkan membatalkan Raperda tersebut. Untuk Raperda Provinsi, evaluasi dilakukan oleh Menteri Dalam Negeri.

F. Pengesahan dan Pengundangan
Setelah melalui proses evaluasi (jika diperlukan) dan tidak ada keberatan, atau setelah dilakukan perbaikan sesuai hasil evaluasi, Raperda disahkan oleh Kepala Daerah dengan membubuhkan tanda tangan. Setelah disahkan, Raperda kemudian diundangkan dengan menempatkannya dalam Lembaran Daerah dan/atau Berita Daerah. Perda mulai berlaku sejak tanggal diundangkan, kecuali ditentukan lain dalam Perda tersebut.

IV. Partisipasi Masyarakat dan Tantangan

Partisipasi masyarakat merupakan elemen vital dalam keseluruhan proses pembentukan Perda. Keterbukaan informasi, kemudahan akses terhadap draf Raperda, serta ruang untuk menyampaikan masukan adalah indikator kualitas proses legislasi lokal. Melalui uji publik dan mekanisme lainnya, masyarakat dapat memberikan kontribusi nyata dalam membentuk Perda yang berpihak pada kepentingan mereka.

Namun, proses ini juga tidak luput dari tantangan. Kompleksitas regulasi, dinamika politik di internal DPRD, keterbatasan sumber daya, hingga kualitas Naskah Akademik yang belum optimal, seringkali menjadi hambatan. Selain itu, memastikan partisipasi masyarakat yang substantif dan bukan sekadar formalitas juga merupakan pekerjaan rumah yang berkelanjutan.

Kesimpulan

Proses pengajuan Rancangan Peraturan Daerah di DPRD adalah sebuah siklus legislasi yang panjang, berlapis, dan melibatkan banyak pihak. Dimulai dari perencanaan dalam Prolegda, penyusunan yang dilengkapi Naskah Akademik, pengajuan resmi, pembahasan mendalam di tingkat komisi/pansus dan paripurna, evaluasi oleh pemerintah yang lebih tinggi, hingga akhirnya pengesahan dan pengundangan. Setiap tahapan memiliki urgensi dan prosedur tersendiri yang harus dipatuhi. Tujuannya adalah satu: menghasilkan Perda yang berkualitas, sah secara hukum, implementatif, dan yang paling penting, mampu menjawab kebutuhan dan aspirasi masyarakat demi kemajuan daerah.

banner 336x280

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *