JAKARTA, PARLEMENTARIA.ID
– Menurut pakar hukum tata negara sekaligus mantan Menteri Koordinator Bidang Politik, Hukum, dan Keamanan (Menko Polhukam), Mahfud MD, pada masa kini hakim-hakim yang jujur malah tersingkirkan.
Mahfud berpendapat, banyak hakim ‘bersih’ yang justru disingkirkan karena integritasnya. Ia mencontohkan Hakim Djuyamto.
Menurut dia, di tahun 2011 ini Djuyamto mengunjungi Komisi Yudisial (KY) dengan tekad untuk mereformasi sistem hukum. Akan tetapi, dia tak menerima bantuan yang diharapkan dari institusi pengadilan dimana dirinya berada.
“Saat ini jika hakim beralih menuju integritas, mereka malah dianggap tersingkir. Mari kita ambil contoh Djuyamto. Dia sempat menghadap Komisi Yudisial pada tahun 2011,” ungkap Mahfud.
“Apa yang dia inginkan? Dia menyatakan, ‘Pak, kita perlu menghentikan jaringan korupsi dalam sistem peradilan, hal ini harus berakhir, dan kejaksaan harus menjadi tempat yang bersih,’” demikian katanya dilansir.
Kompas
.
com
, Selasa (13/5/2025).
Ketika itu, menurut Mahfud, KY dengan senang hati menerima ide Djuyamto, yang mencakup pemikirannya tentang peningkatan gaji hakim sebagai bagian dari langkah untuk meminimalisasi praktek suap.
Akan tetapi, tawaran itu malah mengakibatkan Djuyamto menerima peringatan dari pemimpin Mahkamah Agung (MA).
“Diciptakanlah hal ini oleh KY, sementara proses mengusulkan kenaikan gaji ditangani oleh Mahkamah Agung serta KY itu sendiri. Djuyamto mendapat teguran lantaran ia melayangkan proposal peningkatan gaji. Pimpinan dari Mahkamah Agung pun merasa tidak setuju dengan permintaannya yang ingin menambah jumlah upah,” jelas eks Ketua Mahkamah Konstitusi tersebut.
“Dia mengatakan, ‘Saya berharap bisa meningkatkan sistem peradilan dan saya tidak mau hidup dalam kemiskinan, jadi tolong tingkatkan upah sedikit saja.’ Itulah yang disampaikan oleh Djuyamto,” tambahnya.
Malahan, menurut Mahfud, Djuyamto malah dipindahkan ke wilayah pelosok yang berada di luar Pulau Jawa.
“Tahun 2012 hakim yang bernama Djuyamto itu benar-benar dipecat dan dipindahkan ke luar Jawa,” ujar Mahfud.
Djuyamto yang merasa ditangani dengan ketidakadilan pun akhirnya kembali melaporkan hal ini kepada KY.
dia datang kembali ke Kantor Yudisial, ke tempat teman-temannya, mengeluh, ‘Pak, ingin melakukan hal yang baik ternyata sulit, sekarang saya malah dikesampingkan,’” katanya.
Akan tetapi, beberapa tahun setelah itu, Djuyamto kembali ke Jakarta dan malah terseret ke dalam kasus dugaan tindak pidana korupsipada di pengadilan.
Nanti tiba-tiba dia muncul di Jakarta dan tertangkap lagi. Bagaimana skenarionya? Yah, seperti ini: hakim yang datang ke Jakarta itu seolah-olah ingin ‘beraksi’, jika tidak dipindahkan,” jelasnya dengan tegas.
Mahfud juga menilai saat ini praktik dugaan korupsi di kalangan hakim tak lagi dilakukan sendiri-sendiri, melainkan berjemaah dan melibatkan lintas pengadilan.
“Dulu, jika terjadi suap di pengadilan, biasanya dilakukan secara individual dan rahasia, namun kini hal tersebut dilakukan bersama-sama bahkan melibatkan beberapa pengadilan,” tandasnya.
Dia memberikan contoh tentang Vonis Ronald Tannur di Surabaya, yang ia sebutkan mencakup tiga majelis hakim dari tiga pengadilan yang berbeda.
Mahfud juga menyinggung putusan
onslag
dalam perkara ekspor
crude
palm
oil
(CPO) yang dipimpin oleh Djuyamto, bersama Ali Muhtarom dan Agam Syarif Baharuddin.
“Di Surabaya yang kasus Ronald Tannur, itu tiga majelis hakimnya, ini yang terakhir ini yang Djuyamto ini melibatkan tiga pengadilan. Pengacara dan panitera terlibat semua coba, ini sudah parah. Tiga pengadilan bersama-sama saling mendukung proses ini, permufakatan jahat ini,” bebernya.