Yona Bagus Widyatmoko Soroti Penyalahgunaan Alamat Rumah Ibadah Untuk KTP Di Surabaya – Kawal Surabaya

banner 468x60

Ancaman Integritas Data Kependudukan Surabaya: Yona Bagus Widyatmoko Soroti Praktik Curang KTP Gunakan Alamat Rumah Ibadah

PARLEMENTARIA.ID – Integritas data kependudukan merupakan fondasi penting bagi tertib administrasi sebuah kota. Namun, praktik-praktik curang yang menyalahgunakan celah dalam sistem dapat mengancam pondasi tersebut. Ketua Komisi A Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) Kota Surabaya, Yona Bagus Widyatmoko, baru-baru ini melontarkan sorotan tajam dan peringatan keras terkait fenomena yang meresahkan di Kota Pahlawan: maraknya penggunaan alamat rumah ibadah – baik masjid maupun gereja – sebagai domisili resmi dalam pengurusan Kartu Tanda Penduduk (KTP). Menurut Yona, praktik ini bukan sekadar pelanggaran administrasi biasa, melainkan pintu gerbang menuju penyimpangan hukum yang lebih luas dan berpotensi menimbulkan kekacauan data yang serius.

banner 336x280

Dalam pernyataannya yang disampaikan baru-baru ini (merujuk pada keterangan tertanggal Kamis, 15/5/2025 dalam teks sumber), Yona Bagus Widyatmoko dengan lugas membongkar modus operandi yang dianggapnya ilegal ini. Ia menjelaskan bahwa fenomena ini acapkali dimanfaatkan oleh warga pendatang yang belum memiliki alamat tetap atau domisili sah di Surabaya. Guna menyiasati persyaratan administrasi kependudukan, mereka nekat mencantumkan alamat fasilitas keagamaan tersebut dalam permohonan KTP mereka. Hal yang semakin mengkhawatirkan, Yona bahkan mengungkap adanya indikasi upaya intervensi dari pihak-pihak eksternal yang berusaha melobi atau menekan agar permohonan KTP dengan alamat yang tidak sesuai ini dapat diloloskan secara tidak sah oleh pihak terkait. Praktik “numpang alamat” semacam ini, tegas Yona, sama sekali tidak dapat dibenarkan dalam konteks administrasi kependudukan yang valid dan akuntabel.

Sebagai politisi yang juga menjabat sebagai Wakil Ketua DPC Partai Gerindra Surabaya, Yona Bagus Widyatmoko menekankan bahwa persoalan ini tidak bisa dianggap remeh. Ia mencurigai bahwa mayoritas pelaku praktik curang ini berasal dari wilayah-wilayah luar Surabaya, seperti kawasan Indonesia timur, tapal kuda Jawa Timur, atau kota-kota lain, yang datang dan menetap di Surabaya tanpa dibekali dokumen kependudukan yang sesuai dengan domisili mereka yang sebenarnya. Ketidaksesuaian data antara KTP dan domisili fisik ini, jika dibiarkan terus terjadi dalam skala besar, akan menciptakan ketidakakuratan data kependudukan yang masif.

Yona menilai, adalah hal yang tidak masuk akal jika jumlah permohonan KTP dengan alamat rumah ibadah terus meningkat dan sistem administrasi terus dilanggar demi mengakomodasi praktik curang ini. Kondisi ini, menurutnya, secara langsung berpotensi menimbulkan kekacauan data administrasi kependudukan di seluruh Kota Surabaya. Data KTP yang tidak valid dan tidak mencerminkan domisili sebenarnya dapat dimanfaatkan secara keliru untuk berbagai keperluan vital. Mulai dari pendaftaran pendidikan, melamar pekerjaan, hingga akses terhadap berbagai layanan sosial yang disediakan oleh pemerintah daerah. Bayangkan jika bantuan sosial, kuota pendidikan, atau hak-hak lain yang seharusnya diterima oleh warga Surabaya yang sah, justru disalahgunakan karena adanya data kependudukan yang dimanipulasi. Hal ini jelas merugikan masyarakat Surabaya secara keseluruhan dan mengganggu distribusi sumber daya yang adil.

Lebih lanjut, Yona juga meluruskan kesalahpahaman yang mungkin timbul terkait landasan hukum penggunaan alamat rumah ibadah untuk KTP. Ia secara spesifik merujuk pada Peraturan Bersama Menteri Agama dan Menteri Dalam Negeri (PBM) Nomor 8 dan 9 Tahun 2006. Yona menegaskan bahwa aturan tersebut, yang sering kali disalahpahami, sebenarnya hanya mengatur soal tata cara pendirian rumah ibadah dan peran Forum Kerukunan Umat Beragama (FKUB) dalam proses tersebut.

“PBM itu sama sekali tak mencantumkan penggunaan rumah ibadah sebagai alamat domisili dalam dokumen kependudukan,” tegas Yona, mengutip kembali pernyataannya. “Artinya, secara hukum dasar penggunaannya [alamat rumah ibadah untuk KTP] sangat lemah, bahkan bisa dikatakan tidak memiliki landasan hukum yang kuat dalam konteks administrasi kependudukan.” Penjelasan ini penting untuk menghilangkan kebingungan dan menegaskan bahwa tidak ada dasar hukum yang membolehkan praktik tersebut bagi masyarakat umum.

Meskipun demikian, Yona tetap memberikan catatan penting mengenai pengecualian yang dapat dimaklumi. Ia mengakui bahwa ada situasi spesifik di mana penggunaan alamat rumah ibadah untuk KTP bisa dibenarkan, yaitu bagi tokoh agama atau petugas rumah ibadah yang memang benar-benar bermukim atau tinggal secara permanen di area tersebut karena menjalankan fungsi atau tugas khusus yang melekat pada keberadaan mereka di rumah ibadah. Contohnya adalah pendeta yang tinggal di pastori atau marbot masjid yang menghuni mess atau ruang khusus yang disediakan di kompleks rumah ibadah.

“Kalau mereka menjalankan fungsi tertentu dan memang tinggal di mess atau ruang khusus di rumah ibadah, itu bisa dimaklumi,” imbuhnya, membedakan secara tegas antara kondisi sah ini dengan praktik curang yang disorotnya. “Namun tidak untuk pendatang umum yang hanya sekadar ‘numpang’ alamat demi mendapatkan KTP Surabaya tanpa memiliki ikatan domisili yang sebenarnya.” Pengecualian ini menunjukkan bahwa sorotan Yona bukanlah anti-rumah ibadah atau anti-pendatang, melainkan murni demi ketertiban dan kebenaran data kependudukan.

Menutup pernyataannya, Yona Bagus Widyatmoko dengan lantang menyerukan kepada Dinas Kependudukan dan Pencatatan Sipil (Dispendukcapil) Kota Surabaya untuk bersikap tegas dan tidak kompromi dalam menghadapi praktik curang ini. Ia meminta agar Dispendukcapil tidak boleh gentar atau terpengaruh oleh intervensi atau tekanan dari pihak luar mana pun yang mencoba meloloskan permohonan KTP dengan alamat rumah ibadah yang tidak sesuai prosedur. Dispendukcapil sebagai garda terdepan dalam administrasi kependudukan di Surabaya, memiliki tanggung jawab besar untuk menjaga keakuratan dan validitas data warganya.

“Ini bukan urusan agama atau diskriminasi terhadap kelompok tertentu,” pungkas Yona dengan penegasan kuat. “Melainkan demi ketertiban administrasi negara dan menjaga etika data kependudukan yang benar. Rumah ibadah adalah tempat suci yang seharusnya dihormati, dan tak boleh dinodai dengan dijadikan alat untuk memanipulasi sistem demi keuntungan pribadi atau kelompok tertentu yang tidak bertanggung jawab.”

Sorotan Yona Bagus Widyatmoko ini menjadi pengingat penting bagi seluruh elemen masyarakat Surabaya dan aparat terkait mengenai urgensi menjaga integritas data kependudukan. Praktik curang sekecil apa pun dalam administrasi kependudukan dapat berdampak luas pada berbagai aspek kehidupan kota dan warganya. Ketegasan Dispendukcapil dalam menindak praktik penyalahgunaan alamat rumah ibadah untuk KTP menjadi kunci untuk memastikan data kependudukan Surabaya tetap akurat, tertib, dan terpercaya, demi kebaikan bersama dan keadilan bagi seluruh penduduk yang sah.

Post Views: 889

banner 336x280