Kinerja Legislasi DPR: Prioritas Rakyat atau Kepentingan Elite? Menelisik Arah Pembentukan Undang-Undang di Indonesia

Kinerja Legislasi DPR: Prioritas Rakyat atau Kepentingan Elite? Menelisik Arah Pembentukan Undang-Undang di Indonesia
PARLEMENTARIA.ID

Kinerja Legislasi DPR: Prioritas Rakyat atau Kepentingan Elite? Menelisik Arah Pembentukan Undang-Undang di Indonesia

Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) adalah jantung demokrasi Indonesia, rumah bagi wakil-wakil rakyat yang diamanahi tugas mulia: membuat undang-undang. Di pundak merekalah harapan jutaan warga negara digantungkan, agar setiap kebijakan yang lahir dari Senayan benar-benar mencerminkan kehendak dan kebutuhan publik. Namun, dalam setiap periode legislasi, pertanyaan fundamental selalu mengemuka: apakah undang-undang yang dihasilkan DPR benar-benar memprioritaskan kepentingan rakyat, atau justru lebih condong pada agenda kelompok elite tertentu?

Pertanyaan ini bukan sekadar retorika. Ia adalah refleksi dari dinamika politik, ekonomi, dan sosial yang kompleks di balik layar parlemen. Mari kita bedah lebih dalam kinerja legislasi DPR, menyoroti tantangan, realitas, serta harapan yang terus menyala.

Fungsi Legislasi DPR dan Harapan Publik

Secara konstitusional, DPR memiliki tiga fungsi utama: legislasi (membentuk undang-undang), anggaran (menetapkan APBN), dan pengawasan (mengawasi jalannya pemerintahan). Dari ketiga fungsi tersebut, legislasi seringkali menjadi sorotan paling tajam, karena produk hukum yang dihasilkan akan berdampak langsung pada kehidupan seluruh lapisan masyarakat.

Idealnya, proses legislasi haruslah transparan, partisipatif, dan akuntabel. Setiap rancangan undang-undang (RUU) seharusnya lahir dari aspirasi yang diserap langsung dari rakyat, melalui kajian mendalam, dan pembahasan yang melibatkan berbagai pemangku kepentingan. Harapan publik adalah terciptanya undang-undang yang adil, pro-rakyat, inklusif, dan mampu menjadi solusi atas berbagai permasalahan bangsa, mulai dari kemiskinan, ketimpangan, lingkungan, hingga perlindungan hak asasi manusia.

Realitas Kinerja Legislasi: Antara Target dan Prioritas

Dalam praktiknya, kinerja legislasi DPR seringkali jauh dari harapan ideal. Setiap tahun, DPR bersama pemerintah menyusun Program Legislasi Nasional (Prolegnas) yang berisi daftar RUU prioritas. Namun, realisasi Prolegnas kerap kali jauh dari target. Banyak RUU penting yang sudah lama dinantikan publik justru mandek di tengah jalan, sementara RUU lain yang pembahasannya terkesan "kilat" justru berhasil disahkan.

Beberapa contoh nyata dapat menjadi indikator:

  1. RUU Kontroversial yang Cepat Disahkan:

    • Undang-Undang Cipta Kerja (Omnibus Law): Pembahasannya yang terkesan buru-buru, minim partisipasi publik yang bermakna, dan banyaknya pasal yang dianggap merugikan pekerja dan lingkungan, memicu gelombang protes besar. Meskipun Mahkamah Konstitusi menyatakan inkonstitusional bersyarat, UU ini tetap menjadi sorotan tajam.
    • Undang-Undang Ibu Kota Negara (IKN): Pengesahannya yang cepat, di tengah pandemi dan krisis ekonomi, menimbulkan pertanyaan tentang urgensi dan prioritas. Banyak pihak mempertanyakan alokasi sumber daya untuk proyek ambisius ini di saat kebutuhan dasar masyarakat belum terpenuhi.
    • Revisi Undang-Undang KPK: Dianggap melemahkan lembaga antikorupsi, revisi ini juga disahkan dengan kecepatan yang mencurigakan, memicu kekecewaan luas dari masyarakat sipil dan pegiat antikorupsi.
  2. RUU Pro-Rakyat yang Mandek:

    • RUU Perlindungan Pekerja Rumah Tangga (PRT): Sudah bertahun-tahun diperjuangkan oleh masyarakat sipil, RUU ini terus terkatung-katung tanpa kejelasan, padahal urgensinya sangat tinggi untuk melindungi kelompok rentan ini.
    • RUU Masyarakat Adat: Penting untuk pengakuan dan perlindungan hak-hak masyarakat adat yang kerap terpinggirkan, namun pembahasannya juga jalan di tempat.
    • RUU Kekerasan Seksual (sekarang UU TPKS): Meskipun akhirnya disahkan setelah perjuangan panjang, prosesnya sangat berliku dan membutuhkan tekanan publik yang masif.

Perbedaan nasib antara RUU-RUU di atas secara jelas menunjukkan adanya bias prioritas dalam proses legislasi. Mengapa RUU yang potensial menimbulkan resistensi publik bisa melenggang cepat, sementara RUU yang jelas-jelas melindungi hak-hak kelompok rentan justru terabaikan?

Mengapa Prioritas Bisa Bergeser? Faktor-faktor di Balik Layar

Pergeseran prioritas ini tidak terjadi begitu saja. Ada berbagai faktor yang bekerja di balik layar, membentuk wajah legislasi kita:

  1. Kepentingan Politik dan Koalisi: Dalam sistem multipartai, pembentukan undang-undang seringkali menjadi arena negosiasi dan kompromi antarpartai politik yang membentuk koalisi. Prioritas legislasi bisa bergeser mengikuti agenda politik partai atau kelompok kepentingan tertentu yang memiliki kekuatan tawar lebih tinggi.
  2. Pengaruh Elite Ekonomi dan Oligarki: Tidak dapat dimungkiri, kelompok pengusaha besar dan oligarki memiliki akses dan pengaruh yang signifikan terhadap proses legislasi. Melalui lobi-lobi dan kekuatan finansial, mereka dapat mendorong atau menghambat pembentukan undang-undang yang sesuai dengan kepentingan bisnis atau investasi mereka.
  3. Kapasitas dan Integritas Anggota DPR: Kualitas anggota DPR dalam memahami substansi RUU, kemandirian dari intervensi eksternal, serta integritas moral sangat memengaruhi hasil legislasi. Kurangnya kapasitas atau adanya konflik kepentingan dapat membuat mereka rentan terhadap tekanan dari luar.
  4. Minimnya Partisipasi Publik yang Bermakna: Meskipun ada mekanisme formal untuk partisipasi publik, seringkali pelaksanaannya hanya bersifat seremonial atau tokenistik. Aspirasi masyarakat yang disampaikan tidak selalu diakomodasi, terutama jika berhadapan dengan kepentingan elite.
  5. Peran Pemerintah yang Dominan: Dalam banyak kasus, pemerintah memiliki peran yang sangat dominan dalam mengajukan dan membahas RUU, terutama yang berkaitan dengan kebijakan strategis. Hal ini bisa mengurangi fungsi checks and balances dari DPR sebagai lembaga legislatif independen.

Dampak Pergeseran Prioritas: Siapa yang Untung, Siapa yang Rugi?

Ketika legislasi lebih condong pada kepentingan elite, dampaknya sangat terasa oleh masyarakat luas.

  • Pelemahan Demokrasi: Publik merasa aspirasinya tidak didengar, yang pada gilirannya mengikis kepercayaan terhadap institusi demokrasi. Legitimasi DPR sebagai wakil rakyat menjadi dipertanyakan.
  • Ketidakadilan Sosial dan Ekonomi: Undang-undang yang dirancang untuk menguntungkan segelintir elite justru memperlebar jurang ketimpangan, merugikan pekerja, petani, masyarakat adat, dan kelompok rentan lainnya.
  • Kerusakan Lingkungan: Kebijakan yang mengabaikan aspek lingkungan demi investasi jangka pendek dapat menyebabkan kerusakan ekologis yang tidak dapat diperbaiki, dengan konsekuensi jangka panjang bagi generasi mendatang.
  • Erosi Supremasi Hukum: Ketika proses legislasi tidak transparan dan akuntabel, kualitas hukum yang dihasilkan pun diragukan, memicu ketidakpastian hukum dan potensi penyalahgunaan wewenang.

Jalan Menuju Legislasi yang Pro-Rakyat: Apa yang Bisa Dilakukan?

Meskipun tantangan yang dihadapi sangat besar, harapan untuk legislasi yang lebih pro-rakyat tidak boleh padam. Ada beberapa langkah yang bisa kita dorong bersama:

  1. Perkuat Partisipasi Publik yang Bermakna: DPR harus membuka ruang partisipasi yang lebih luas, transparan, dan substantif, bukan hanya formalitas. Teknologi digital dapat dimanfaatkan untuk menjaring aspirasi secara lebih efektif.
  2. Tingkatkan Transparansi dan Akuntabilitas: Seluruh proses legislasi, mulai dari penyusunan naskah akademik, daftar inventaris masalah, hingga catatan rapat, harus dibuka untuk publik. Mekanisme pengawasan independen terhadap proses legislasi perlu diperkuat.
  3. Dorong Integritas dan Kapasitas Anggota DPR: Pendidikan politik yang berkelanjutan, penegakan kode etik yang ketat, dan dukungan staf ahli yang kompeten dapat meningkatkan kualitas dan independensi anggota DPR.
  4. Peran Aktif Masyarakat Sipil dan Akademisi: Organisasi masyarakat sipil, media, dan akademisi harus terus mengawal, mengkritisi, dan memberikan masukan konstruktif terhadap setiap RUU. Tekanan publik yang terorganisir terbukti efektif dalam beberapa kasus.
  5. Reformasi Sistem Pemilu: Meminimalkan praktik politik uang dan mendorong calon legislatif yang memiliki rekam jejak integritas serta komitmen pada kepentingan rakyat.

Kesimpulan

Kinerja legislasi DPR adalah cerminan dari kualitas demokrasi kita. Pertanyaan apakah prioritas rakyat atau kepentingan elite yang mendominasi akan terus relevan selama kita masih berjuang untuk mewujudkan cita-cita keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia. Bukan tugas yang mudah, namun dengan kewaspadaan kolektif, partisipasi aktif, dan desakan terus-menerus dari seluruh elemen bangsa, kita bisa mendorong DPR untuk kembali menjadi "rumah rakyat" sejati, yang setiap undang-undangnya lahir dari hati nurani dan demi kemajuan bangsa. Mari terus awasi, kritisi, dan berpartisipasi dalam setiap tahapan legislasi, karena masa depan hukum kita ada di tangan kita semua.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *