PARLEMENTARIA.ID – Ketua Komisi A DPRD Surabaya dari Fraksi Gerindra, Yona Bagus Widyatmoko, menyoroti serius pengelolaan Kebun Raya Mangrove Surabaya yang dinilainya tidak sebanding dengan potensi besar yang dimiliki.
Di tengah tekanan fiskal dan menurunnya transfer dana pusat, Yona menilai Pemkot Surabaya belum menunjukkan keberanian melakukan terobosan dalam mengelola sektor pariwisata.
Menurut Yona, wisata mangrove yang digadang-gadang sebagai satu-satunya kebun raya mangrove di Indonesia seharusnya mampu menjadi sumber Pendapatan Asli Daerah (PAD) baru.
Namun realitasnya, pengelolaan yang stagnan membuat aset strategis ini belum memberi dampak signifikan bagi keuangan daerah.
“Dana dari pusat turun berkurang, APBD tertekan. Kalau pariwisata tetap dikelola tanpa visi dan keberanian berinovasi, jangan heran kalau PAD stagnan,” tegas Yona, Senin (22/12/2025).
Yona menilai, dengan luas mencapai 34 hektar dan berada di kota metropolitan seperti Surabaya, Kebun Raya Mangrove semestinya menjadi destinasi unggulan, terutama saat momentum libur akhir tahun.
Namun fakta di lapangan menunjukkan sebaliknya: akses transportasi publik terbatas, fasilitas pendukung minim, dan konsep wisata belum berkembang.
Bagi Yona, persoalan ini bukan sekadar teknis, melainkan soal ketiadaan visi pengelolaan jangka panjang. Ia menyebut, tanpa pengelolaan profesional, wisata mangrove hanya akan menjadi ruang hijau pasif, bukan mesin ekonomi daerah.
Sorotan Yona terhadap wisata mangrove bukan berdiri sendiri. Ia mengaitkannya dengan pola pengelolaan aset wisata Pemkot Surabaya yang dinilai seragam: minim inovasi dan setengah hati.
Yona menyinggung contoh Kebun Binatang Surabaya yang hingga kini belum memiliki direktur utama definitif, sebagai cerminan lemahnya keseriusan pemerintah kota dalam mengelola aset strategis.
Menurutnya, selama pengelolaan pariwisata masih ditempatkan sebagai urusan administratif semata, bukan sektor investasi daerah, maka potensi PAD akan terus terhambat.
Yona juga mengingatkan bahwa pengembangan wisata mangrove tidak bisa dilepaskan dari isu konservasi.
Kerusakan hutan bakau di kawasan Pantai Timur Surabaya menjadi alarm keras bahwa Pemkot tidak boleh hanya menjual narasi ekowisata tanpa pengelolaan lingkungan yang serius.
Ia menilai, konflik lahan dengan masyarakat dan rendahnya keberhasilan penanaman bakau menunjukkan lemahnya perencanaan dan koordinasi lintas sektor.
Tanpa pendekatan yang adil dan berbasis masyarakat, wisata mangrove berisiko menjadi proyek simbolik belaka.
Sebagai Ketua Komisi A, Yona mendorong Pemkot Surabaya untuk keluar dari pola lama.
Cak Yebe sapaan akrab Yona Bagus, menekankan pentingnya menunjuk pengelola profesional, membuka ruang kolaborasi dengan pelaku industri pariwisata, serta menjadikan wisata mangrove sebagai bagian dari paket wisata kota, bukan destinasi yang berdiri sendiri.
Baginya, momentum libur akhir tahun seharusnya menjadi tolok ukur keseriusan Pemkot. Jika pengelolaan tetap berjalan di tempat, maka kritik akan terus menguat.
Di tengah tekanan fiskal dan persaingan antar kota dalam menarik wisatawan, Yona menegaskan Surabaya tidak bisa lagi mengandalkan pendekatan biasa-biasa saja.
“Kalau aset wisata sebesar ini saja tidak mampu dikelola dengan serius, jangan berharap sektor pariwisata bisa menyelamatkan PAD,” tandasnya.
Sorotan Yona Bagus Widyatmoko ini menjadi pengingat bahwa potensi besar tanpa tata kelola yang berani hanya akan melahirkan kekecewaan. Wisata mangrove Surabaya kini berada di persimpangan: menjadi ikon kebanggaan kota, atau sekadar simbol peluang yang terlewatkan. (sms)













