PARLEMENTARIA.ID – Badan Pemberantasan Korupsi (KPK) kembali menetapkan dan menahan empat tersangka baru terkait dugaan suap serta penerimaan hadiah dalam proyek dana pokok-pokok pikiran (pokir) DPRD di Dinas PUPR Kabupaten Ogan Komering Ulu (OKU), Sumatera Selatan.
Penangkapan dilakukan pada hari Kamis (20/11/2025) setelah pemeriksaan di Gedung Merah Putih KPK.
Empat Tersangka Baru
Sementara Deputi Penindakan dan Eksekusi KPK Asep Guntur Rahayu mengatakan pengambilan keputusan dilakukan setelah penyidik menemukan bukti yang memadai.
“Dua anggota DPRD Kabupaten OKU dan dua dari pihak swasta,” katanya. Mereka ditahan selama 20 hari pertama, mulai 20 November hingga 9 Desember 2025.
Daftar tersangka baru:
Parwanto (PW) — Wakil Ketua DPRD OKU masa jabatan 2024–2029 (Gerindra)
Robi Vitergo (RV) — Anggota Dewan Perwakilan Rakyat Daerah OKU masa jabatan 2024–2029 (PKB)
Ahmad Thoha dikenal sebagai Anang (AT/AG) — Sektor swasta
Mendra SB (MSB) — Sektor swasta
Lanjutan Kasus Pokir
Sebelumnya, KPK telah menahan enam tersangka lain, yang terdiri dari empat penerima serta dua pelaku pemberian suap.
Pengenaan tersangka baru ini dilakukan hanya dua hari setelah jaksa KPK menyampaikan tuntutan terhadap terdakwa dalam perkara utama di Pengadilan Tipikor PN Palembang.
Eks Kepala Dinas PUPR OKU Nopriansyah dihukum 4 tahun 6 bulan penjara, sedangkan tiga anggota DPRD lainnya, Umi Hartati, M Fahrudin, dan Ferlan Juliansyah, dihukum 5 tahun 6 bulan penjara.
Jaksa KPK Takdir Suhan sebelumnya mengira ada pihak utama yang belum diketahui, mengingat kejadian “kehilangan memori” dari saksi-saksi eksekutif Pemda OKU yang sama-sama mengaku lupa saat memberikan kesaksian.
Modus Jual Beli Proyek
Perkara ini merupakan kelanjutan dari operasi tangkap tangan (OTT) KPK pada Maret 2025. Modus yang digunakan serupa dengan kasus dana bantuan di Jawa Timur, yaitu kegiatan jual beli proyek berdasarkan dana pokir DPRD.
Menurut Juru Bicara KPK Budi Prasetyo, proyek-proyek yang tercantum dalam APBD dan DIPA Dinas PUPR disampaikan oleh anggota DPRD dengan kesepakatan biaya tertentu dari pihak swasta.
“Pihak swasta ini kemudian memberikan uang, sejumlah persen kepada anggota DPRD,” jelas Budi.
Akibatnya, kualitas pembangunan infrastruktur di OKU tidak mencapai tingkat optimal dan merugikan rakyat.
(*)










