PARLEMENTARIA.ID – Penghentian jabatan anggota DPRD Provinsi Gorontalo, Wahyudin Moridu, akhirnya mencapai titik penyelesaian.
Setelah melalui proses yang panjang, mulai dari sidang kode etik DPRD hingga pengajuan pemberhentian oleh Partai PDI Perjuangan, kini Surat Keputusan (SK) pemberhentian resmi telah dikeluarkan oleh Kementerian Dalam Negeri (Kemendagri).
Ketua Komisi Kehormatan (BK) DPRD Provinsi Gorontalo, Fikram Salilama, menyampaikan bahwa pihaknya telah melakukan kunjungan langsung ke Kemendagri guna memastikan proses tersebut.
Anggota partai Golkar senior ini menyatakan bahwa SK penghapusan jabatan Wahyudin telah selesai dan tinggal menunggu surat pengantar yang akan dikirim secara resmi kepada Pemerintah Provinsi Gorontalo.
“SK-nya sudah tersedia, tinggal surat pengantar yang dibuat. Insyaallah hari Senin akan dikirim ke Pemprov Gorontalo,” katanya, Jumat (21/11/2025).
Menurut Fikram, seluruh prosedur administratif sudah selesai. Selanjutnya hanya menunggu tahap lanjutan dari pihak partai dalam mengajukan Pergantian Antar Waktu (PAW).
“Tergantung pada partai yang mengajukan PAW kepada Menteri Dalam Negeri melalui Gubernur,” jelasnya.
Masih Sempat Terima Gaji
Menariknya, sejak usulan pemecatan diajukan oleh DPRD dan PDI Perjuangan pada Agustus 2025, Wahyudin masih menerima gaji bulanan.
Hal ini terjadi karena secara regulasi, statusnya belum secara resmi dihentikan oleh Kementerian Dalam Negeri.
“Menurut ketentuan peraturan, selama SK dari Kemendagri belum dikeluarkan, dia masih menerima representasi (gaji),” ujar Fikram.
Namun, yang diterima Wahyudin hanya gaji pokok tanpa adanya tunjangan.
“Jika tidak ada tunjangan, karena tidak bekerja,” tegasnya.
Sementara besarnya mencapai Rp2,25 juta, sesuai dengan aturan gaji anggota DPRD yang ditetapkan dalam peraturan keuangan daerah.
Fikram menjelaskan bahwa wewenang untuk mengangkat dan memberhentikan anggota DPRD tingkat provinsi berada di tangan Presiden melalui Menteri Dalam Negeri.
“Ia diangkat oleh Presiden melalui Menteri Dalam Negeri. Yang mengangkatnya adalah kode etik dan partainya,” katanya.
Oleh karena itu, pihaknya terus mendorong percepatan pengesahan SK Kementerian Dalam Negeri agar status Wahyudin menjadi jelas secara hukum dan administrasi.
“Alhamdulillah SK telah selesai, telah ditandatangani, tinggal menunggu pengirimannya,” katanya.
Sejak usulan penghentian pada Agustus lalu hingga akhir November, Fikram menganggap proses ini masih termasuk wajar.
“Menurut saya ini wajar. Oleh karena itu kita dorong, kita kunjungi. Seluruh Indonesia yang dilayani (kabupaten/kota),” tutupnya.
Wahyudin Moridu Resmi Diberhentikan
Wahyudin Moridu secara resmi dihentikan sebagai Anggota Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) Provinsi Gorontalo.
Seorang mantan anggota partai PDIP telah terbukti melanggar sumpah dan kode etik yang berlaku di lembaga dewan.
Hal ini diungkapkan oleh Umar Karim, anggota Badan Kehormatan DPRD Provinsi Gorontalo, dalam Rapat Paripurna pada Senin (22/9/2025).
“Anggota DPRD Wahyudin Moridu, SH secara sah dan meyakinkan terbukti melanggar sumpah janji serta kode etik,” ujar Umar Karim saat membacakan putusan hasil penyelidikan BK DPRD Provinsi Gorontalo, Senin.
Mulai tanggal 22 September 2025, Wahyudin Moridu tidak lagi menjadi Anggota DPRD Provinsi Gorontalo.
Wahyudin Moridu diketahui tidak hadir secara langsung dalam sidang kode etik hari ini.
Berdasarkan pernyataan Ketua BK DPRD Provinsi Gorontalo, Fikram Salilama, ketidakhadiran Wahyudin tidak mengganggu jalannya sidang.
Pembacaan berita acara dan pengesahan alat bukti tetap dilaksanakan sesuai prosedur yang berlaku.
“Secara kebetulan, yang bersangkutan, Saudara Wahyu Moridu, tidak dapat hadir. Namun, sidang tetap kami laksanakan. Setelah pembacaan berita acara dan pengesahan alat bukti, kami menetapkan sanksi,” kata Fikram kepada PARLEMENTARIA.ID, Senin.
Sidang Paripurna baru saja selesai pada sore hari ini, di mana BK telah membacakan keputusan hasil penyelidikan dugaan pelanggaran etik yang terkait dengan Wahyudin Moridu.
Wahyudin akhirnya secara resmi dianggap melanggar sumpah dan kode etik dengan hukuman penghapusan jabatan tetap.
Pengambilan keputusan sanksi ini merupakan wujud komitmen DPRD dalam menjaga martabat lembaga.
“Berdapapun posisi anggota, jika melanggar kode etik, maka konsekuensinya harus diterima,” tegas Fikram. ***








