PARLEMENTARIA.ID – Laporan terbaru dari Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) menarik perhatian para pengambil kebijakan di Jakarta. Dalam laporan World Urbanization Prospects 2025: Summary of Results yang diterbitkan pada 23 November 2025, Jakarta disebut sebagai kota dengan jumlah penduduk terbanyak di dunia, mencapai hampir 42 juta jiwa.
Wakil Gubernur DKI Jakarta Rano Karno mengungkapkan, temuan tersebut membuatnya kaget. Pasalnya, berdasarkan data Badan Pusat Statistik (BPS), jumlah penduduk Jakarta sekitar 11 juta jiwa.
“Jujur, kami juga sedikit bingung. Mungkin Jakarta dianggap sebagai bagian dari Aglomerasi. Mungkin perhitungan dilakukan dari Depok, Bekasi, lalu Bogor. Jadi, tiba-tiba populasi Jakarta mencapai 42 juta. Wow, kami juga kaget,” ujar Rano di Balai Kota, Jakarta Pusat, Sabtu (30/11).
Meskipun demikian, Rano menganggap temuan PBB tersebut memberikan indikasi bahwa Jakarta masih menjadi pusat perkembangan di kawasan Jabodetabek. “Ini menunjukkan bahwa Jakarta menjadi tulang punggung pembangunan kependudukan di kawasan Jabodetabek ini,” tambahnya.
Selanjutnya, politikus PDI Perjuangan tersebut mengakui bahwa Jakarta tidak mampu secara mandiri menangani dampak dari jumlah penduduk yang besar. ”Tentu ini memerlukan kesadaran dari seluruh rekan-rekan di daerah. Tidak mungkin Jakarta bisa sendirian, begitu saja,” katanya.
Terpisah, Ketua DPRD DKI Jakarta Khoirudin menganggap perbedaan antara data PBB dengan Dinas Kependudukan dan Catatan Sipil (Disdukcapil) DKI serta BPS mencerminkan tingginya tingkat perpindahan penduduk masuk dan keluar ibu kota.
”Beberapa waktu lalu saya berdiskusi dengan gubernur mengenai ERP (Electronic Road Pricing atau sistem jalan berbayar) yang akan diberlakukan di Jalan Sudirman-Thamrin,” ujarnya.
Menurut Khoirudin, penerapan ERP seharusnya tidak hanya dilakukan di dalam kota. Namun, juga harus diterapkan pada jalan-jalan yang berbatasan dengan wilayah sekitar.
“Jika ingin membatasi kendaraan, jangan dilakukan di dalam Jakarta. Namun, di pintu masuk dari arah timur, barat, dan selatan harus dikenakan biaya. Tapi kita perlu menyediakan angkutan umum yang cukup agar mereka tetap bisa masuk Jakarta tanpa menyebabkan kemacetan dan pencemaran,” ujarnya.
Khoirudin juga menyampaikan tantangan sosial yang muncul akibat jumlah penduduk yang besar di kawasan Jabodetabek. “Jumlah penduduk yang besar memang meningkatkan masalah sosial. Namun di sisi lain, hal ini juga menjadi sumber penghidupan karena perputaran ekonomi terjadi ketika banyak orang,” ujarnya.
Ia menunjukkan ketidakpastian para investor dalam berinvestasi di Ibu Kota Nusantara (IKN). “Saat masyarakat meminta 5 juta penduduk agar perekonomian bergerak, mereka (IKN) tidak mampu. Jika jumlahnya tidak tercapai, perekonomian tidak akan berjalan dengan baik,” ujarnya. ***












