PARLEMENTARIA.ID – Wakil Ketua Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia (DPR) Cucun Ahmad Syamsurijal belakangan menjadi sorotan setelah menyampaikan bahwa dalam pelaksanaan program MBG, “tidak perlu ahli gizi”.
Pernyataan tersebut muncul dalam forum konsolidasi Satuan Pelayanan Pemenuhan Gizi (SPPG) MBG se-Kabupaten Bandung yang videonya kemudian viral di media sosial.
Dalam video yang beredar, Cucun tampak berbicara tentang seorang ahli gizi yang merekomendasikan agar Persatuan Ahli Gizi Indonesia (Persagi) dilibatkan dalam pengelolaan SPPG MBG. Ia menyatakan bahwa yang dibutuhkan adalah “satu tenaga yang mengawasi gizi” dan secara eksplisit menyebut “tidak perlu ahli gizi, tidak perlu Persagi”.
Pernyataan tersebut memicu kritik dari seluruh praktisi dan masyarakat. Banyak yang menilai ungkapan Cucun meremehkan profesi ahli gizi, terutama dalam program yang dijalankan untuk menyasar jutaan anak sekolah melalui MBG.
Menanggapi polemik ini, Badan Gizi Nasional (BGN) melalui Kepala BGN Prof. Dadan Hindayana menyatakan bahwa pada tahap awal pelaksanaan MBG memang dirancang untuk melibatkan sarjana gizi dan lulusan vokasi gizi. “Program ini untuk melibatkan pihak-pihak yang memahami gizi,” tegas Dadan.
BGN juga mengakui bahwa pembentukan SPPG MBG di lapangan berkembang dengan sangat cepat, sehingga tenaga sarjana gizi belum mencukupi. Oleh karena itu, mereka kini membuka kemungkinan keterlibatan dari disiplin ilmu lain seperti kesehatan masyarakat dan teknologi pangan namun hal ini tidak berarti mengganti peran ahli gizi.
Menurut BGN, meskipun ada perluasannya, standarisasi gizi dalam program MBG tetap mengacu pada pedoman profesional yang selama ini digunakan oleh ahli gizi. Tenaga pendukung dari rumpun keilmuan terkait akan mendapat pelatihan, supervisi, dan tetap berkoordinasi dengan Persagi.
Cucun kemudian melakukan klarifikasi dan meminta maaf atas kegaduhan yang ditimbulkan. Ia menyebut bahwa konteks pembicaraan adalah rapat pengawasan internal DPR dan pengakuan maksudnya untuk membahas efisiensi tenaga pelaksana di daerah yang kekurangan ahli gizi, bukan menghapus profesi tersebut.
Meski demikian, reaksi masyarakat tetap keras. Banyak warganet yang menyoroti bahwa program MBG mengusung misi besar terkait penyediaan gizi anak sekolah dan tidak pantas jika tenaga yang menangani aspek gizi adalah yang hanya melalui pelatihan singkat tanpa latar belakang pendidikan gizi formal.
Peristiwa ini selanjutnya dianggap sebagai kesempatan penting untuk memberikan edukasi kepada masyarakat mengenai kepentingan kompetensi dalam pengelolaan gizi. BGN berharap penjelasan ini dapat menjadi awal perbaikan dan memperkuat tenaga ahli gizi dalam program nasional besar seperti MBG. ***










