
PARLEMENTARIA.ID – >
Urgensi Pembaruan KUHP dan Dampaknya terhadap Masyarakat: Menuju Keadilan yang Modern dan Responsif
Pernahkah Anda membayangkan sebuah bangunan megah yang menjadi fondasi kehidupan bermasyarakat, namun pondasinya dibangun ratusan tahun lalu dengan material yang sudah usang? Itulah analogi sederhana untuk Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) yang telah lama berlaku di Indonesia. Sebuah payung hukum yang mengatur sanksi pidana atas berbagai tindakan kejahatan, namun akarnya tertancap jauh ke masa kolonial Belanda.
Kini, Indonesia telah memiliki KUHP baru yang disahkan pada tahun 2022 dan akan efektif berlaku pada tahun 2026. Perjalanan menuju KUHP baru ini bukanlah tanpa hambatan, penuh dengan diskusi panjang dan perdebatan sengit. Namun, satu hal yang tak terbantahkan adalah urgensinya. Mengapa pembaruan KUHP begitu mendesak, dan bagaimana perubahan ini akan membentuk wajah keadilan serta kehidupan kita sehari-hari? Mari kita selami lebih dalam.
Mengapa KUHP Perlu Diperbarui? Suara Zaman yang Tak Terbendung
Bayangkan sebuah ponsel pintar keluaran tahun 1900-an mencoba menjalankan aplikasi modern. Mustahil, bukan? Begitulah kira-kira kondisi KUHP lama kita. Dikenal sebagai Wetboek van Strafrecht (WvS), ia merupakan warisan Belanda yang diundangkan pada tahun 1918. Meskipun telah mengalami beberapa amandemen, inti dari KUHP ini tetaplah cerminan nilai, norma, dan perkembangan hukum di era kolonial yang jauh berbeda dengan Indonesia merdeka di abad ke-21.
Ada beberapa alasan krusial mengapa pembaruan ini tak bisa ditawar lagi:
- Warisan Kolonial yang Usang: KUHP lama mengandung pasal-pasal yang mencerminkan kepentingan penjajah, bukan kepentingan rakyat Indonesia. Beberapa ketentuan bahkan berpotensi melanggar prinsip hak asasi manusia modern.
- Tantangan Era Modern: Dunia telah berubah drastis. Perkembangan teknologi memunculkan jenis kejahatan baru seperti cybercrime, sedangkan isu-isu lingkungan dan hak asasi manusia semakin mendesak. KUHP lama tidak memiliki kapasitas yang memadai untuk merespons dinamika ini.
- Ketidakpastian dan Ambiguitas: Banyak pasal dalam KUHP lama yang multitafsir, menyebabkan ketidakpastian hukum dan disparitas dalam penegakan. Hal ini kerap menimbulkan kebingungan di kalangan masyarakat dan aparat penegak hukum.
- Tidak Mencerminkan Nilai Bangsa: Sebagai bangsa yang berdaulat, Indonesia membutuhkan sistem hukum pidana yang selaras dengan nilai-nilai Pancasila, budaya lokal, dan kearifan masyarakatnya sendiri. KUHP lama terasa "asing" dan kurang membumi.
- Pergeseran Paradigma Hukum: Tren hukum pidana global bergerak menuju keadilan restoratif, yang mengedepankan pemulihan korban dan pelaku, bukan sekadar pembalasan. KUHP lama cenderung lebih retributif (pembalasan).
Dampak KUHP Lama terhadap Masyarakat: Bayangan Masa Lalu dalam Keadilan Masa Kini
Keterlambatan dalam pembaruan KUHP bukanlah sekadar masalah teknis hukum; ia memiliki dampak nyata yang dirasakan langsung oleh masyarakat:
- Ketidakpastian Hukum: Kasus-kasus yang sama bisa mendapatkan interpretasi dan putusan yang berbeda karena ambiguitas pasal. Ini merugikan warga negara yang membutuhkan kejelasan dan kepastian hukum.
- Potensi Ketidakadilan: Pasal-pasal yang usang atau multitafsir bisa menjadi celah bagi penegakan hukum yang tidak adil, terutama bagi kelompok rentan.
- Pelanggaran HAM: Beberapa ketentuan KUHP lama yang diadopsi dari hukum kolonial dapat bertentangan dengan prinsip-prinsip hak asasi manusia universal, seperti kebebasan berpendapat atau privasi.
- Hambatan Pembangunan: Sistem hukum yang tidak responsif terhadap perkembangan zaman dapat menghambat inovasi, investasi, dan bahkan pertumbuhan sosial karena kurangnya perlindungan hukum yang memadai terhadap isu-isu baru.
- Erosi Kepercayaan Publik: Ketika masyarakat merasa hukum tidak adil, tidak jelas, atau tidak relevan, kepercayaan terhadap sistem peradilan akan menurun.
Transformasi Menuju Keadilan yang Lebih Baik: Apa Saja Pembaharuan Krusial dalam KUHP Baru?
KUHP baru, yang merupakan hasil kodifikasi dan harmonisasi hukum pidana nasional, diharapkan menjadi jawaban atas berbagai persoalan di atas. Beberapa pilar utama pembaharuan yang patut dicermati antara lain:
- Humanisasi: KUHP baru lebih mengedepankan prinsip keadilan restoratif dan humanisme. Ini berarti hukuman penjara bukan lagi satu-satunya opsi; ada pilihan sanksi alternatif seperti kerja sosial, denda, atau ganti rugi yang disesuaikan dengan tingkat kesalahan dan kondisi pelaku. Fokusnya adalah pada pemulihan, bukan sekadar pembalasan.
- Modernisasi: Pasal-pasal KUHP baru dirancang untuk lebih responsif terhadap perkembangan teknologi dan isu-isu kontemporer. Misalnya, mengenai cybercrime, kejahatan lingkungan, atau perlindungan data pribadi, yang sebelumnya tidak diatur secara memadai.
- Harmonisasi dengan Nilai Pancasila dan Hukum yang Hidup (Living Law): KUHP baru berusaha menyerap nilai-nilai luhur Pancasila dan mengakomodasi hukum yang hidup di masyarakat adat (hukum adat) sepanjang tidak bertentangan dengan prinsip-prinsip universal. Ini adalah langkah penting untuk menjadikan hukum lebih membumi dan sesuai dengan karakter bangsa.
- Kodifikasi dan Sistematisasi: Berbagai undang-undang pidana di luar KUHP lama diupayakan untuk diintegrasikan, menciptakan sistem hukum pidana yang lebih koheren dan mudah dipahami.
- Perlindungan Hak Asasi Manusia: Adanya penyesuaian pasal-pasal yang sebelumnya berpotensi melanggar HAM, serta penegasan prinsip-prinsip perlindungan terhadap korban dan tersangka.
Dampak KUHP Baru terhadap Masyarakat: Harapan untuk Masa Depan
Dengan berlakunya KUHP baru, kita bisa mengharapkan perubahan signifikan dalam berbagai aspek kehidupan bermasyarakat:
- Keadilan yang Lebih Responsif dan Humanis: Masyarakat akan merasakan sistem peradilan yang lebih adil, di mana hukuman tidak hanya fokus pada pembalasan, tetapi juga pada pemulihan dan reintegrasi sosial. Ini akan sangat membantu, terutama bagi pelaku tindak pidana ringan.
- Meningkatkan Kepastian Hukum: Dengan rumusan pasal yang lebih jelas dan modern, diharapkan tidak ada lagi multitafsir yang merugikan. Ini memberikan kepastian bagi setiap warga negara mengenai hak dan kewajibannya di mata hukum.
- Memperkuat Perlindungan Hak Asasi Manusia: Adanya jaminan dan perlindungan HAM yang lebih kuat akan menjaga martabat setiap individu, baik sebagai korban, saksi, maupun tersangka dalam proses peradilan.
- Efisiensi Penegakan Hukum: Adanya sanksi alternatif dapat mengurangi beban lembaga pemasyarakatan yang seringkali kelebihan kapasitas, serta mempercepat proses peradilan untuk kasus-kasus tertentu.
- Mendorong Pembangunan yang Berkelanjutan: Sistem hukum yang modern dan responsif akan menciptakan iklim yang kondusif bagi inovasi, investasi, dan perlindungan lingkungan, yang semuanya penting bagi pembangunan berkelanjutan.
- Meningkatkan Kepercayaan Publik: Ketika hukum terasa lebih adil, relevan, dan berpihak pada kepentingan rakyat, kepercayaan masyarakat terhadap institusi peradilan akan meningkat.
Kesimpulan: KUHP Baru, Cerminan Bangsa yang Berdaulat
Perjalanan menuju KUHP baru adalah manifestasi dari tekad bangsa Indonesia untuk memiliki sistem hukum pidana yang mandiri, modern, humanis, dan sesuai dengan jati diri bangsa. Ini bukan sekadar perubahan pasal-pasal dalam buku tebal, melainkan sebuah revolusi dalam cara kita memahami dan menegakkan keadilan.
Tentu, implementasi KUHP baru nanti akan menghadapi tantangan. Dibutuhkan sosialisasi masif, peningkatan kapasitas aparat penegak hukum, dan pemahaman yang mendalam dari seluruh elemen masyarakat. Namun, satu hal yang pasti: pembaruan KUHP ini adalah langkah progresif yang fundamental untuk membangun Indonesia yang lebih adil, beradab, dan bermartabat. KUHP bukan sekadar kumpulan aturan, melainkan cerminan dari cita-cita luhur sebuah bangsa dalam menata kehidupan bersama. Mari kita sambut era baru keadilan ini dengan optimisme dan partisipasi aktif.
>




