PARLEMENTARIA.ID – Presiden Prabowo Subianto secara resmi memberikan gelar pahlawan nasional kepada Soeharto, mantan presiden kedua Indonesia sekaligus mertuanya, dalam upacara resmi di Istana Negara, Senin (10/11/2025). Keputusan ini langsung memicu protes dari kelompok aktivis HAM hingga mahasiswa, sementara keluarga Soeharto menyambutnya sebagai bentuk pengakuan terhadap jasa-jasa ayah bangsa mereka. Di balik prosesi yang khidmat, tersirat strategi politik yang cerdas: Prabowo memilih awal masa jabatannya untuk mengumumkan kebijakan kontroversial, saat dukungan koalisi masih kuat dan waktu untuk “memperbaiki citra” masih cukup lama.
Table of Contents
TogglePesta di Istana: Simbolisme dan Kontroversi Bersamaan
Upacara penganugerahan gelar pahlawan nasional berlangsung dengan khidmat di Istana Negara. Nama Soeharto muncul pada posisi kedua setelah Abdurrahman Wahid (Gus Dur), diikuti oleh aktivis buruh Marsinah yang gugur dibunuh pada tahun 1993. Plakat simbolis diberikan kepada Siti Hardiyanti Rukmana (Tutut) dan Bambang Trihatmodjo, dua putra Soeharto yang berada di barisan depan. Prabowo, mengenakan jas abu-abu dengan dasi biru dan peci hitam, berjabat tangan satu per satu dengan keluarga penerima penghargaan tersebut.
Pemandu acara menyoroti kontribusi Soeharto sejak masa kemerdekaan, mulai dari memimpin proses penyitaan senjata Jepang di Yogyakarta pada 1945 hingga perannya dalam pemerintahan selama 32 tahun di Indonesia. Penghargaan diberikan dalam bidang perjuangan dan politik, sesuai dengan Keputusan Presiden Nomor 116/TK Tahun 2025. Namun, ironisnya, di barisan yang sama berdiri keluarga Marsinah—korban kekerasan pada masa Orde Baru—dan Gus Dur, yang dulu giat meminta Soeharto mundur pada 1998.
Tutut, setelah acara, menyatakan bahwa pro-kontra adalah hal yang wajar. “Kami tidak memiliki dendam. Rakyat sudah mampu menilai sendiri,” ujarnya. Ia juga mengapresiasi Prabowo yang dianggapnya memahami perjuangan ayahnya sejak masih menjadi tentara muda. Menurut Tutut, keputusan ini berasal dari aspirasi masyarakat, bukan hanya hubungan keluarga.
Strategi Politik Prabowo: Mengapa Saat Ini, Bukan Kelak?
Para pengamat politik menganggap bahwa Prabowo sengaja mempercepat pengesahan ini di awal masa jabatannya. Direktur Eksekutif Populi Center, Afrimadona, menyatakan bahwa pada awal pemerintahan, dukungan partai koalisi masih kuat dan terkendali. “Jika di akhir masa jabatan, partai bisa beralih kapan saja,” katanya. Dengan waktu empat tahun ke depan, Prabowo memiliki kesempatan untuk “menebus dosa” melalui prestasi ekonomi, misalnya target pertumbuhan sebesar 8%.
Sejarawan dari Universitas Nasional, Andi Achdian, setuju dengan pandangan tersebut. Menurutnya, kebijakan yang kontroversial ini lebih baik diterapkan di awal, ketika legitimasi masih kuat. “Jika ekonomi berhasil, siapa yang ingat Soeharto sebagai pahlawan?” tambah Afrimadona. Ia juga menyebut bahwa keputusan ini terkait erat dengan rasa rindu masyarakat kelas bawah terhadap stabilitas Orde Baru: inflasi rendah, keamanan yang terjaga, serta pemimpin yang tegas.
Survei Populi Center 2022-2023 menunjukkan bahwa sebagian besar peserta dari berbagai generasi—Baby Boomer (54,1%), Gen X (59,9%), Milenial (41,1%), hingga Gen Z (39,1%)—melihat Soeharto secara positif. Pandangan ini lebih dominan di kalangan masyarakat bawah, sedangkan kalangan menengah yang terdidik cenderung lebih kritis. “Masalah kebutuhan pokok terlebih dahulu, baru bisa kritis,” ujar Afrimadona.
Gelombang Kekuatan: Perubahan Dianggap Tidak Ada
Keputusan ini langsung memicu demonstrasi di beberapa kota. Di Yogyakarta, kelompok Jogja Memanggil mengadakan aksi di perempatan Jalan Sudirman. “Ini tantangan bagi rakyat. Reformsi mati, gong Soeharto menjadi pahlawan,” ujar koordinator aksi, Bung Koes. Ia menyoroti ketidakselarasan: Marsinah dibunuh pada masa Orde Baru, Gus Dur meminta Soeharto mundur, kini dikaitkan dalam satu upacara.
Di Gorontalo, mahasiswa Universitas Gorontalo melakukan demonstrasi di depan DPRD. Ketua BEM, Erlin Adam, menyebut tindakan ini sebagai pengaburan sejarah dan luka bagi korban HAM. “Masa Soeharto penuh dengan KKN, otoritarianisme, serta pembunuhan,” tegasnya. Amnesty International dan Aliansi Keterbukaan Sejarah Indonesia (AKSI) meminta pencabutan gelar, menyebutnya sebagai “pengkhianatan terhadap Reformasi 1998” dan “penghinaan terhadap jutaan korban”.
Mereka khawatir ini menjadi awal dari upaya menulis ulang sejarah yang membenarkan tindakan kekerasan negara. Laporan Komnas HAM tahun 2003 menyebutkan bahwa Soeharto terlibat dalam pelanggaran HAM berat pada periode 1965-1966, baik melalui tindakan maupun kelalaian. “Gelar ini mengubah fakta,” tulis pernyataan bersama.
Apa yang Selanjutnya? Penulisan Ulang Sejarah dan Bahaya Penganiayaan
Andi Achdian memperkirakan pemerintah akan mulai menyusun narasi baru yang membenarkan kekerasan, korupsi, dan nepotisme masa Orde Baru. “Ini menjadi modal untuk menindas aktivis kritis,” katanya. Namun Afrimadona meragukan terjadinya penindasan besar-besaran. “Pemerintah belajar dari protes sebelumnya. Biarkan suara kritis terdengar, asalkan tidak berkembang menjadi aksi besar,” ujarnya.
Di sisi lain, delapan nama lainnya juga dianugerahi gelar pahlawan, termasuk Sarwo Edhie Wibowo—komandan RPKAD yang terlibat dalam penekanan peristiwa 1965 dan Operasi Wibawa di Papua. Isu kontroversi juga mengiringi namanya. Dalam tenggang antara pro dan kontra, muncul pertanyaan pokok: apakah pemberian gelar pahlawan kepada Soeharto memperkuat persatuan bangsa, atau justru mengungkit luka lama yang belum sembuh? ***








