PARLEMENTARIA.ID – Pemohon dalam perkara Nomor 222/PUU-XXIII/2025 mengajukan perbaikan permohonan uji materi terhadap Pasal 1 angka 1 Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2009 tentang Kepemudaan, yang dinyatakan bertentangan dengan Pasal 28C ayat (2), Pasal 28D ayat (1), dan Pasal 28D ayat (3) UUD 1945.
Enam pengaju yang terdiri dari mahasiswa dan karyawan menyampaikan perbaikan mengenai kerugian konstitusional serta hubungan sebab akibatnya dengan norma yang diajukan untuk diperiksa.
“Kerugian konstitusional yang dimaksud bersifat khusus, spesifik, dan nyata atau setidak-tidaknya bersifat potensial,” kata M. Isbullah Djalil mewakili para Pemohon lainnya yaitu Husnul Jamil, Rizal Bakri Rahayaan, Hamka Arsad Refra, dan Heri Febrian dalam sidang perbaikan permohonan di Mahkamah Konstitusi (MK), Jakarta, Senin 8 Desember 2025. Para Pemohon lainnya, Yusril Toatubun, tidak hadir dalam persidangan tersebut.
Dalam perbaikan permohonan, para Pemohon menganggap bahwa penentuan usia sebagai satu-satunya kriteria dalam menentukan status pemuda telah menghalangi hak jutaan warga negara untuk ikut serta dalam pemerintahan dan kehidupan publik.
Oleh karena itu, menurut Husnul, Mahkamah Konstitusi tidak terikat pada prinsip kebijakan hukum terbuka karena masalah yang diajukan berkaitan langsung dengan pelanggaran hak konstitusional warga negara. MK sebagai *the guardian of the constitution* dianggap memiliki kewajiban untuk memperbaiki norma yang dianggap menyebabkan ketidakadilan struktural.
Para Pengaju mengharapkan Mahkamah menyatakan Pasal 1 angka 1 Undang-Undang Kepemudaan bertentangan dengan UUD 1945 dan tidak memiliki kekuatan hukum selama tidak diartikan bahwa pemuda adalah warga negara berusia 16 sampai 40 tahun.
Pada sidang awal yang diadakan pada 25 November 2025, Pengaju sebelumnya menyampaikan bahwa pengertian pemuda yang membatasi usia antara 16 hingga 30 tahun telah mengurangi hak untuk mendapatkan kesempatan yang setara dalam kebijakan dan program kepemudaan.
Salah satu kerugian nyata yang dialami oleh Pemohon adalah terhalangnya partisipasi dalam program Fasilitas Karya Ilmiah Kepemudaan Bina Insan Akademia 2025 dari Kemenpora, yang mensyaratkan peserta berusia antara 16 hingga 30 tahun.
Para Pemohon menganggap batasan usia tersebut tidak memiliki dasar hukum yang logis, karena tidak ada bukti empiris atau akademik yang menunjukkan bahwa seseorang kehilangan semangat atau kemampuan untuk berperan dalam ruang publik setelah mencapai usia 30 tahun. Mereka merujuk pada data BPS Juli 2025 yang menyebutkan terdapat 43 juta penduduk Indonesia yang berusia 30–40 tahun, yaitu sekitar 15 persen dari total populasi sebanyak 286 juta jiwa.
Persidangan dihadiri oleh Majelis Hakim Konstitusi yang terdiri dari Arief Hidayat, Anwar Usman, dan Enny Nurbaningsih.
Sebelum mengakhiri persidangan, Arief menyampaikan bahwa perkara akan dibawa ke Rapat Permusyawaratan Hakim untuk menentukan apakah permohonan akan dilanjutkan ke sidang pleno atau diputus tanpa sidang pleno. ***







