PARLEMENTARIA.ID – >
Dari Balai Kota hingga Gedung Paripurna: Jejak Sejarah Perkembangan DPRD di Indonesia
Menjelajahi Evolusi Parlemen Lokal dan Pilar Demokrasi di Tingkat Daerah
Pernahkah Anda bertanya-tanya, bagaimana keputusan-keputusan penting di daerah Anda, mulai dari pembangunan jalan hingga alokasi anggaran pendidikan, diambil? Di balik setiap kebijakan daerah, ada sebuah lembaga yang memainkan peran krusial: Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD). Namun, DPRD yang kita kenal hari ini bukanlah entitas yang statis. Ia adalah hasil dari perjalanan panjang dan berliku, sebuah evolusi yang mencerminkan pasang surut demokrasi di Indonesia.
Artikel ini akan membawa Anda menelusuri jejak sejarah DPRD, dari benih-benih perwakilan lokal di era kolonial hingga menjadi pilar demokrasi yang vital di era reformasi. Mari kita selami bersama kisah menarik ini!
>
I. Akar Sejarah: Benih-Benih Perwakilan Lokal di Era Kolonial (Sebelum 1945)
Untuk memahami DPRD, kita perlu mundur jauh ke masa kolonial Belanda. Meskipun bukan dalam bentuk yang kita kenal, gagasan tentang perwakilan lokal sebenarnya sudah ada, meskipun dengan kekuasaan yang sangat terbatas dan bias kepentingan penjajah.
Pada masa Hindia Belanda, terdapat beberapa bentuk dewan yang menyerupai lembaga perwakilan, seperti:
- Volksraad (Dewan Rakyat): Dibentuk pada tahun 1918, Volksraad adalah semacam parlemen tingkat pusat bagi Hindia Belanda. Anggotanya terdiri dari perwakilan pribumi, Eropa, dan etnis Tionghoa/Arab. Namun, kekuasaannya sangat terbatas, lebih bersifat penasihat daripada pembuat keputusan. Perannya lebih sebagai saluran keluhan daripada pengambil kebijakan yang sesungguhnya.
- Gemeenteraad (Dewan Kota): Ini adalah bentuk perwakilan lokal yang lebih konkret, berfungsi di tingkat kota. Anggotanya dipilih dari kalangan Eropa dan sebagian kecil pribumi serta kelompok etnis lain yang terkemuka. Meskipun fokusnya pada urusan perkotaan, dominasi Eropa sangat terasa, dan suara rakyat pribumi nyaris tidak punya bobot.
- Provinciale Raad (Dewan Provinsi) dan Regentschapsraad (Dewan Kabupaten): Dibentuk kemudian, dewan-dewan ini juga beroperasi di tingkat provinsi dan kabupaten. Struktur dan kekuasaan mereka mirip dengan Gemeenteraad, yakni terbatas dan didominasi oleh kepentingan kolonial serta elit lokal yang pro-Belanda.
Pada era ini, lembaga-lembaga tersebut bukanlah DPRD dalam pengertian modern. Mereka tidak mencerminkan kedaulatan rakyat, tidak dipilih secara demokratis oleh seluruh lapisan masyarakat, dan tidak memiliki kekuatan legislatif atau pengawasan yang signifikan terhadap pemerintahan kolonial. Namun, keberadaan mereka menunjukkan adanya kebutuhan akan forum diskusi dan pengambilan keputusan di tingkat lokal, meskipun dalam kerangka yang sangat dikendalikan.
>
II. Masa Revolusi dan Awal Kemerdekaan: Semangat Kedaulatan Rakyat (1945-1959)
Proklamasi Kemerdekaan 17 Agustus 1945 menjadi titik balik. Semangat kedaulatan rakyat langsung membara, dan kebutuhan akan lembaga perwakilan yang sesungguhnya menjadi prioritas.
Pada masa awal kemerdekaan, terbentuklah Komite Nasional Indonesia (KNI) di tingkat pusat (KNIP) dan Komite Nasional Indonesia Daerah (KNID) di tingkat provinsi, kabupaten, dan kota. KNID ini adalah embrio pertama dari DPRD. Fungsinya sangat vital:
- Sebagai Parlemen Sementara: Mengisi kekosongan kekuasaan dan menjalankan fungsi legislatif serta pengawasan di daerah, sebelum adanya pemilihan umum yang resmi.
- Menopang Pemerintahan Revolusioner: Mendukung jalannya pemerintahan daerah di tengah agresi militer Belanda dan perjuangan mempertahankan kemerdekaan.
- Jembatan Aspirasi Rakyat: Menjadi saluran bagi aspirasi masyarakat di tengah gejolak revolusi.
Periode ini penuh tantangan, dengan kondisi politik yang belum stabil dan seringnya terjadi konflik. Namun, semangat untuk membangun lembaga perwakilan yang demokratis tetap menyala. Puncaknya adalah Pemilihan Umum pertama pada tahun 1955, yang dianggap sebagai salah satu Pemilu paling demokratis dalam sejarah Indonesia. Meskipun fokus utamanya adalah memilih anggota DPR dan Konstituante di tingkat pusat, semangat demokrasi ini juga mulai merambah ke pemilihan anggota DPRD di berbagai daerah, meskipun prosesnya masih belum seragam dan sempurna.
>
III. Era Demokrasi Terpimpin: Sentralisasi Kekuasaan dan Melemahnya Fungsi (1959-1966)
Setelah periode demokrasi parlementer yang relatif bebas namun penuh gejolak, Indonesia memasuki era Demokrasi Terpimpin di bawah Presiden Soekarno. Periode ini membawa perubahan signifikan terhadap fungsi dan peran DPRD.
Dengan dekrit Presiden 5 Juli 1959, sistem parlementer diganti dengan sistem presidensial, dan kekuasaan eksekutif menjadi sangat dominan. Dampaknya terasa hingga ke daerah:
- Pergeseran dari Pemilihan ke Penunjukan: Anggota DPRD, yang sebelumnya dipilih, mulai banyak yang ditunjuk oleh pemerintah pusat atau daerah. Proses politik di daerah menjadi sangat terpusat.
- DPRD sebagai Alat Pemerintah: Alih-alih menjadi pengawas yang independen, DPRD cenderung menjadi perpanjangan tangan pemerintah daerah dan pusat. Fungsi legislasi dan pengawasan menjadi lemah, seringkali hanya mengesahkan kebijakan yang sudah ditentukan oleh eksekutif.
- Pengurangan Otonomi Daerah: Konsep otonomi daerah yang mulai tumbuh di awal kemerdekaan, menjadi sangat terbatas. Pemerintahan pusat memiliki kendali kuat atas pemerintahan daerah, termasuk dalam pembentukan dan fungsi DPRD.
Undang-Undang Nomor 18 Tahun 1965 tentang Pokok-pokok Pemerintahan Daerah lebih lanjut menegaskan sentralisasi ini. Meskipun secara formal DPRD tetap ada, esensi sebagai lembaga perwakilan rakyat yang independen dan berdaya saing nyaris hilang, digantikan oleh mekanisme politik yang lebih mengedepankan keseragaman dan kendali dari pusat.
>
IV. Orde Baru: Stabilitas Pembangunan dalam Bingkai Monolitik (1966-1998)
Transisi ke Orde Baru di bawah Presiden Soeharto membawa era baru yang menekankan stabilitas politik dan pembangunan ekonomi. Secara struktural, DPRD justru diperkuat dan dilembagakan secara lebih sistematis melalui berbagai undang-undang. Namun, penguatan ini datang dengan harga yang mahal: kekosongan substansi demokrasi.
Ciri khas DPRD di era Orde Baru antara lain:
- Dominasi Partai Golkar: Melalui Pemilu yang sangat terkontrol, Partai Golongan Karya (Golkar) selalu memenangkan mayoritas kursi di semua tingkatan DPRD, dari provinsi hingga kabupaten/kota. Ini menciptakan struktur politik yang "monolitik," di mana suara oposisi atau perbedaan pendapat nyaris tidak ada.
- Fungsi Mendukung Pemerintah: Peran utama DPRD adalah mendukung dan mengesahkan kebijakan pemerintah daerah yang sejalan dengan garis besar kebijakan pemerintah pusat. Fungsi pengawasan (kontrol) terhadap eksekutif daerah sangat minim, bahkan cenderung tidak ada. Kritik terhadap pemerintah dianggap sebagai tindakan subversif.
- Penunjukan Anggota ABRI/TNI: Sebagian kursi di DPRD secara otomatis diisi oleh anggota Angkatan Bersenjata Republik Indonesia (ABRI) melalui fraksi ABRI, tanpa melalui pemilihan umum. Ini semakin memperkuat kendali pemerintah terhadap lembaga legislatif.
- "Demokrasi Prosedural": Pemilu tetap diselenggarakan secara rutin, namun hasilnya sudah bisa diprediksi. Masyarakat berpartisipasi dalam Pemilu, namun partisipasi tersebut lebih bersifat formalitas daripada ekspresi kedaulatan rakyat yang sesungguhnya.
Meskipun Orde Baru berhasil menciptakan stabilitas dan mendorong pembangunan ekonomi, peran DPRD sebagai "wakil rakyat" yang independen dan kritis tereduksi menjadi stempel persetujuan bagi kebijakan pemerintah. Aspirasi masyarakat, terutama yang kritis, sulit tersalurkan melalui lembaga ini.
>
V. Era Reformasi: Bangkitnya Otonomi dan Kedaulatan Rakyat di Daerah (1998-Sekarang)
Runtuhnya rezim Orde Baru pada tahun 1998 membuka lembaran baru bagi demokrasi Indonesia. Era Reformasi membawa semangat desentralisasi dan otonomi daerah sebagai jawaban atas sentralisasi kekuasaan yang berlebihan di masa lalu. Ini adalah era keemasan bagi DPRD.
Perubahan mendasar bagi DPRD di era Reformasi meliputi:
- Undang-Undang Otonomi Daerah (UU No. 22 Tahun 1999, kemudian direvisi menjadi UU No. 32 Tahun 2004 dan kini UU No. 23 Tahun 2014): Undang-undang ini menjadi tulang punggung bagi penguatan otonomi daerah dan peran DPRD. Daerah diberikan kewenangan yang lebih luas untuk mengatur dan mengurus rumah tangganya sendiri, kecuali dalam bidang-bidang tertentu yang menjadi kewenangan pusat.
- Pemilihan Anggota DPRD Secara Langsung, Umum, Bebas, Rahasia (LUBER): Anggota DPRD kini sepenuhnya dipilih oleh rakyat melalui Pemilu yang demokratis, tanpa adanya penunjukan atau alokasi kursi khusus. Ini mengembalikan kedaulatan rakyat dalam memilih wakilnya di daerah.
- Penguatan Fungsi Legislasi, Anggaran, dan Pengawasan:
- Fungsi Legislasi: DPRD memiliki kewenangan penuh untuk menyusun dan menetapkan Peraturan Daerah (Perda) bersama kepala daerah, yang menjadi payung hukum bagi kebijakan di daerah.
- Fungsi Anggaran: DPRD berhak membahas dan menyetujui Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD) bersama kepala daerah. Ini memastikan alokasi dana daerah sesuai dengan prioritas dan aspirasi masyarakat.
- Fungsi Pengawasan: DPRD memiliki hak dan kewajiban untuk mengawasi jalannya pemerintahan daerah, memastikan kebijakan dan program berjalan efektif, serta mencegah penyalahgunaan wewenang.
- Hubungan yang Lebih Dinamis dengan Kepala Daerah: Dalam sistem otonomi daerah, kepala daerah (Gubernur, Bupati, Wali Kota) dan DPRD memiliki posisi yang setara sebagai penyelenggara pemerintahan daerah. Hubungan mereka bersifat kemitraan, namun juga saling mengawasi (checks and balances).
Era Reformasi memang memberikan angin segar bagi DPRD. Namun, bukan berarti tanpa tantangan. Isu-isu seperti korupsi di kalangan anggota DPRD, kapasitas anggota yang belum merata, tarik-menarik kepentingan politik, serta tuntutan akuntabilitas yang tinggi dari masyarakat menjadi pekerjaan rumah yang terus-menerus.
>
VI. DPRD di Masa Kini: Pilar Demokrasi yang Terus Berbenah
Hari ini, DPRD berdiri sebagai salah satu pilar utama demokrasi di Indonesia. Ia adalah jembatan penghubung antara rakyat dan pemerintah daerah, memainkan peran vital dalam pembangunan dan tata kelola pemerintahan yang baik.
Fungsi legislasi, anggaran, dan pengawasan yang dimilikinya memastikan bahwa:
- Aspirasi Rakyat Tersalurkan: Melalui rapat dengar pendapat, reses, dan berbagai mekanisme lainnya, DPRD diharapkan dapat menyerap dan memperjuangkan aspirasi masyarakat.
- Transparansi dan Akuntabilitas: DPRD mengawasi penggunaan anggaran daerah dan pelaksanaan kebijakan, mendorong transparansi serta akuntabilitas pemerintah daerah.
- Pembangunan yang Berkelanjutan: Dengan menyusun Perda dan menyetujui APBD, DPRD turut menentukan arah pembangunan di daerah agar sesuai dengan kebutuhan dan potensi lokal.
Meskipun demikian, perjalanan DPRD masih terus berbenah. Tuntutan akan profesionalisme, integritas, dan kapasitas anggota DPRD semakin tinggi. Partisipasi publik dalam proses legislasi dan pengawasan juga semakin diharapkan untuk menciptakan pemerintahan daerah yang lebih responsif dan inklusif.
>
Penutup
Dari dewan-dewan penasihat di era kolonial, Komite Nasional di masa revolusi, hingga lembaga yang terkooptasi di Orde Lama dan Orde Baru, akhirnya DPRD menemukan jati dirinya sebagai representasi kedaulatan rakyat di era Reformasi. Perjalanan ini adalah cerminan dari perjuangan panjang bangsa Indonesia dalam membangun sistem demokrasi yang matang.
DPRD bukan hanya sekadar gedung megah tempat para wakil rakyat berkumpul, melainkan sebuah institusi hidup yang terus beradaptasi dengan dinamika zaman. Keberadaan dan efektivitasnya sangat menentukan kualitas demokrasi lokal, kualitas pelayanan publik, dan arah pembangunan di setiap jengkal tanah air. Mari kita terus mendukung dan mengawasi peran DPRD, karena masa depan daerah kita ada di tangan mereka, dan juga di tangan kita sebagai masyarakat yang berdaulat.
>