PARLEMENARIA.ID – Saat Iran semakin dijegal terkait isu senjata nuklir, Rusia justru menawarkan dukungan nuklir ke Teheran. Namun di balik kerja sama yang disajikan secara resmi terdapat perhitungan strategis geopolitik yang dingin.
Badan Energi Atom Internasional (IAEA) pada 20 November mengeluarkanresolusi mendesak Iran untuk bekerja sama secara “penuh dan segera”Salah satu perhatian utama IAEA adalah kejelasan mengenai nasib sekitar 400 kilogram uranium yang telah diperkaya hingga 60 persen, yang hingga saat ini masih menjadi rahasia.
Sejak konflik selama dua belas hari antara Israel/Amerika Serikat dan Iran pada bulan Juni lalu, Teheran menghentikan akses bagi para inspektur IAEA ke semua fasilitas yang menjadi target serangan udara. Ketegangan terus berlangsung.
Di tengah situasi yang mengalami kebuntuan, Moskow justru memperluas kerja sama nuklir dengan Teheran. “Kerja sama kami telah mencapai tingkat yang tidak pernah terjadi sebelumnya,” kata Duta Besar Rusia untuk Iran, Alexei Dedow, pertengahan November lalu. Kepada kantor berita Iran, ISNA, Dedow menegaskan bahwa Rusia akan tetap mendukung Iran dalam mencari solusi terkait masalah program nuklirnya.
Kolaborasi antara kedua negara telah diwujudkan sejak akhir September. Moskow dan Teheran menandatangani perjanjian kerja sama dalam pembangunan sebuah pusat pembangkit listrik tenaga nuklir. Perusahaan energi atom Rusia, Rosatom, juga menjalin kontrak senilai 25 miliar dolar Amerika dengan perusahaan Iran, Iran Hormoz, untuk membangun empat fasilitas pembangkit nuklir baru di Iran.
Rusia merupakan mitra internasional yang paling penting bagi program nuklir Iran,” ujar ahli Timur Tengah David Jalilvand kepada DW. Jalilvand memimpin Orient Matters, sebuah lembaga konsultasi riset di Berlin yang fokus pada perpotongan geopolitik, ekonomi, dan energi di Iran serta wilayah Timur Tengah. Namun ia menambahkan, “untuk pengembangan lebih lanjut program nuklir Iran, Moskow saat ini lebih banyak memberikan janji daripada tindakan nyata.
Ia menegaskan, sejak 2016 pembangunan reaktor kedua di Bushehr diumumkan, hingga saat ini proyek tersebut belum juga terealisasi. Ia juga meragukan kecepatan realisasi perjanjian terbaru. “Rusia hampir tidak memiliki kepentingan untuk memperkuat posisi strategis Iran di Timur Tengah, terutama karena hubungannya dengan Israel, negara-negara Teluk, dan Turki.”
Minimnya sokongan Rusia
Dalam pertempuran selama dua belas hari terakhir,Iran hampir tidak memperoleh dukungan yang signifikan dari Moskow. Padahal, di awal tahun ini, kedua negara telah menandatangani perjanjian kemitraan strategis yang meliputi kerja sama militer dan ekonomi selama dua puluh tahun.
Iran sebelumnya menyediakan drone dan senjata untuk perang Rusia melawan Ukraina. Tindakan ini menjadikan Iran sebagai salah satu pendukung utama invasi Rusia, sekaligus merusak hubungannya dengan Eropa. Sebagai balasan, Teheran memesan pesawat tempur Sukhoi Su-35 agar memperkuat angkatan udaranya. Namun hingga terjadi konflik dengan Israel, pesawat-pesawat tersebut belum juga tiba. Perang tersebut justru mengungkap kelemahan sistem pertahanan udara Iran.
“Perjanjian strategis dengan Rusia hanya sekadar drama,” kata Mohammad Sadr, anggota Dewan Penjaga Kepentingan Sistem, dalam pernyataan berbahasa Persia. Menurutnya, Rusia tidak dapat dipercaya. “Mengira Moskow akan melindungi kita atau menghadapi Amerika Serikat adalah hal yang tidak masuk akal.” Sadr bahkan menuduh Rusia menyebarkan informasi mengenai pusat-pusat pertahanan Iran kepada Israel.
Pandangan serupa juga muncul di kalangan masyarakat Iran. Seorang dosen universitas di Teheran mengungkapkan kepada DW, “Masyarakat menyadari bahwa Rusia akan meninggalkan Iran pada saat-saat penting. Banyak orang percaya pemerintah hanya bergantung pada Moskow untuk mempertahankan kekuasaannya, bukan demi kepentingan rakyat.”
Perhitungan politik di balik aliansi
Meski mengalami pengalaman yang menyakitkan, kalangan konservatif di Iran justru menyarankan agar kerja sama dengan Rusia diperkuat. “Pengaruh Rusia di wilayah-wilayah kekuasaan Iran tidak dapat dipungkiri,” ujar Afshar Soleimani, mantan Duta Besar Iran untuk Azerbaijan.
Menurutnya, kelompok konservatif aktif mendukung Rusia, mendorong ekspor pesawat tak berawak ke Moskow, sertamengurangi ketegangan dengan Amerika SerikatSelama arus politik ini berkuasa, sedikit sekali perubahan yang akan terjadi—dan rakyatlah yang mengalami dampaknya.
Kamran Ghazanfari, anggota partai konservatif di Komite Dalam Negeri parlemen Iran, bahkan menyatakan bahwa mantan Presiden Rusia Dmitri Medvedev pernah mengungkapkan kemampuan Moskow untuk menyediakan senjata nuklir kepada Iran. Pernyataan ini dipertanyakan oleh para ahli.
“Itu sangat tidak mungkin,” kata Jalilvand. “Rusia tidak tertarik menambah jumlah negara yang memiliki senjata nuklir di Timur Tengah yang sudah rentan.” Ia berpendapat bahwa Moskow mungkin bisa menyediakan teknologi yang secara teori dapat digunakan untuk program militer. Namun, dukungan langsung dalam pembuatan bom atom hampir mustahil.
Bagi Rusia, “kartu Iran” sering kali digunakan sebagai alat negosiasi dengan Amerika Serikat. Meskipun Iran mengklaim telah menghentikan sementara pengayaan uranium, belum jelas apakah Moskow mampu—atau bersedia—mendorong Teheran untuk mengurangi cadangan uraniumnya.
Rusia sering kali mengklaim dirinya sebagai pihak yang berperan sebagai perantara,” ujar Jalilvand. “Namun hal ini bukan dilakukan karena ingin menyelesaikan konflik nuklir. Dalam perang Ukraina, Moskow lebih berkeinginan untuk tampak sebagai mitra ‘konstruktif’ di mata Washington, sekaligus menjaga jarak antara Amerika Serikat dan Eropa. ***









