PARLEMENTARIA.ID – DPR RI mengajak masyarakat umum — termasuk perguruan tinggi, lembaga swadaya masyarakat, dan organisasi lingkungan — untuk memberikan pendapat dalam proses perubahan UU Kehutanan.
Undangan ini disampaikan sebagai upaya untuk meningkatkan pengelolaan hutan nasional serta memastikan keberlanjutan lingkungan.
Panitia Revisi UU Kehutanan Dibentuk
Berdasarkan pernyataan anggota DPR yang mewakili komisi terkait, “Komisi IV telah membentuk Panja Revisi UU Kehutanan. Kami mengundang kampus, LSM, Walhi, Greenpeace, serta semua pihak yang peduli. Ini penting bagi masa depan pengelolaan hutan kita,” ujar Robert dalam keterangan yang diterima di Jakarta, dan dikutip dari ANTARA.
Pembentukan tim kerja (Panja) ini menunjukkan upaya DPR dalam membuka ruang diskusi dan partisipasi masyarakat dalam menyusun perubahan UU kehutanan — agar undang-undang yang dihasilkan lebih sesuai dengan kebutuhan lingkungan, masyarakat, dan pembangunan.
Fokus: Aktivitas Ilegal dan Pengkritikan terhadap Sektor Kelapa Sawit
Di dalam pidatonya, anggota DPR mengkritik kegiatan penebangan hutan serta konversi lahan untuk kebutuhan industri kayu maupun kelapa sawit. “Yang paling buruk adalah perkebunan kelapa sawit. Mereka menebang habis, bahkan akar-akarnya dicabut. Banyak yang membuat IPK (izin pemanfaatan kayu) agar bisa mengelak aturan, sehingga kayu yang masih bernilai bisa dijual kembali,” katanya.
Ia menekankan bahwa sulit menemukan perusahaan HPH (Hak Pengusahaan Hutan) yang benar-benar menjalankan penanaman kembali secara terus-menerus. “Coba carilah perusahaan HPH yang benar-benar melakukan reboisasi, tidak ada,” katanya.
Kritik ini juga ditujukan pada sistem dana penghijauan di wilayah tertentu, seperti di Papua, di mana menurut anggota legislatif, dana penghijauan telah diatur sehingga 60 persen berasal dari dana bagi hasil.
Namun, di berbagai wilayah lain, aturan ini belum diterapkan secara konsisten. “Seperti di Papua, daerah pemilihan saya, jelas ada pengaturan dana reboisasi yang 60 persen berasal dari dana bagi hasil, tetapi daerah lain belum. Hal ini perlu diperbaiki,” katanya.
Mengapa Perubahan UU Kehutanan Menghadapi Tekanan
Tuntutan perubahan UU Kehutanan muncul akibat kekhawatiran terhadap pemanfaatan hutan yang terus berlangsung — mulai dari penggundulan hutan untuk perkebunan kelapa sawit dan kayu, izin yang terlalu longgar, hingga kurangnya pelaksanaan reboisasi dan pemulihan ekosistem.
Ahli lingkungan dan organisasi masyarakat sipil dianggap penting untuk terlibat agar regulasi menjadi lebih adil, jelas, dan berkelanjutan — menjaga hutan bukan hanya untuk keuntungan ekonomi jangka pendek, tetapi juga untuk konservasi, masyarakat setempat, serta kelangsungan alam.
Potensi Dampak terhadap Masa Depan Perhutanan
Jika proses perbaikan dilakukan dengan partisipasi yang luas dan pengawasan yang ketat, terdapat kesempatan untuk meningkatkan sistem izin, memperkuat kewajiban penanaman kembali hutan, serta menghentikan tindakan merusak hutan. Hal ini dapat berkontribusi dalam menjaga ekosistem, keanekaragaman hayati, serta hak-hak masyarakat adat yang terkena dampak.
Sebaliknya, jika revisi dilakukan tanpa pengawasan masyarakat — atau tetap mempertahankan aturan yang longgar — kemungkinan kerusakan hutan dan ketidaksetaraan sosial dapat terus berlangsung.
Perubahan UU Kehutanan menjadi kesempatan berharga bagi negara dalam meninjau kembali kebijakan lingkungan dan memperkuat partisipasi masyarakat dalam merawat hutan. ***







