PARLEMENTARIA.ID – DPRD Jawa Timur terus menyempurnakan Raperda Perubahan Kedua terhadap Perda Nomor 1 Tahun 2019 mengenai Penyelenggaraan Ketenteraman, Ketertiban Umum dan Perlindungan Masyarakat (Trantibum).
Perubahan aturan ini menjadi perhatian komite karena menanggapi maraknya perjudian online atau judol dan pinjaman online ilegal, serta munculnya fenomena sound horeg, dan yang ketiga adalah beredarnya makanan yang terkontaminasi.
Ketua Komisi A DPRD Jawa Timur, Dedi Irwansa menyampaikan, dalam rangkaian pembahasan, lembaga dewan telah mengumpulkan berbagai pandangan dari berbagai pihak. Hal ini dilakukan melalui serangkaian diskusi kelompok fokus atau FGD.
“Kami kemarin di Batu telah mengadakan FGD bersama seluruh OPD dan insyaallah minggu depan akan menggelar FGD dengan akademisi,” ujar Dedi kepada PARLEMENTARIA.ID, Minggu (30/11/2025).
Diskusi mengenai perubahan ini telah dimulai sejak sekitar bulan Oktober lalu. Dalam beberapa kali sidang paripurna di DPRD Jawa Timur, pembahasan aturan tersebut telah dilakukan.
Dalam penjelasan Komisi A sebelumnya, peraturan ini sangat diperlukan. Contohnya, mengenai maraknya aktivitas perjudian online.
Berdasarkan data yang dikumpulkan oleh dewan, jumlah pemain judi online di Jawa Timur diperkirakan mencapai 135.227 orang dengan total transaksi sebesar Rp 1.051 triliun.
Jawa Timur berada di posisi keempat di Indonesia terkait jumlah pengguna pinjaman online. Baik pinjol maupun yang ilegal, dianggap telah menimbulkan ketidaknyamanan. Karena, seperti lingkaran setan.
Praktik Judi dianggap telah menimbulkan kekhawatiran, terutama karena banyak keluarga yang rentan, khususnya keluarga dengan kondisi ekonomi lemah, terjebak di dalamnya. Generasi muda juga banyak yang terkena dampaknya.
Akhirnya, banyak masyarakat pada kenyataannya seringkali terjebak dalam pinjaman ilegal karena dianggap sebagai sumber dana yang mudah dan cepat.
Karena pentingnya peraturan ini, Dedi menekankan bahwa pihaknya tidak ingin tergesa-gesa.
Produk regulasi yang dihasilkan diharapkan dapat berjalan secara optimal dan mampu mengatasi kekhawatiran masyarakat. Pemahaman yang lebih mendalam dilakukan, terutama karena belum ada undang-undang khusus yang mengatur praktik tersebut.
“Maka kami perlu melakukan penyesuaian secara mendalam. Jadi, kami mungkin tidak ingin terburu-buru dalam menyetujui Perda ini,” jelas seorang politisi Partai Demokrat.
Di sisi lain, pemahaman yang mendalam diperlukan karena juga ingin melibatkan berbagai pihak terkait dalam diskusi tersebut.
Sebagai contoh, organisasi masyarakat yang ada saat ini. Komisi A berharap, partisipasi masyarakat menjadi hal penting dalam pembentukan regulasi ini dan nantinya diterapkan di tengah masyarakat.
Secara rencana, Raperda tersebut seharusnya disahkan di akhir tahun ini. Namun, Dedi tidak ingin berspekulasi karena Komisi A tidak menginginkan hanya sekadar menyetujui peraturan daerah namun dalam proses pembahasannya belum sepenuhnya maksimal.
“Intinya, proses pembahasan saat ini tetap berlangsung,” kata anggota legislatif dari Dapil Sidoarjo ini. ***








