Refleksi Hari Jadi Karanganyar ke-108: Sudahkah Para Pemimpin Meneladani 7 Maqom Religius Raden Mas Said?

DAERAH17 Dilihat

PARLEMENTARIA.ID – Dalam peringatan Hari Jadi Kabupaten Karanganyar yang ke-108, tanggal 18 November 2025, muncul kembali satu pertanyaan reflektif: sudahkah para pemimpin di Bumi Intanpari meneladani nilai-nilai religius Raden Mas Said?

Pertanyaan ini terasa relevan, terutama mengingat jejak panjang perjuangan tokoh pendiri dinasti Pura Mangkunegaran tersebut.

Raden Mas Said, Sang Pejuang Sekaligus Maestro Budaya

Dalam sejarah Jawa, Raden Mas Said yang lebih dikenal Pangeran Sambernyawa, bukan hanya dikenang sebagai panglima perang yang gigih melawan kolonial Belanda.

Ia juga seorang politisi handal, negarawan yang bijaksana, serta tokoh raja yang menjadikan moral sebagai dasar dari kepemimpinannya. Namun terdapat sisi lain dari dirinya yang tak kalah penting: ia adalah maestro seni budaya.

Melalui karya-karya monumental, Raden Mas Said menyalurkan falsafah hidup dan spiritualitasnya, terutama yang bersumber dari ajaran Islam dan nilai-nilai tasawuf.

Dalam dunia seni gamelan dan gending Jawa, ia tidak sekadar mencipta, tetapi mampu menyematkan filosofi religius dalam estetika seni. Buku Sejarah dan Warisan Nilai-nilai Luhur Raden Mas Saidedisi MSI Kaanganyar mencatat, bagaimana ia memaknai gending dari tiga sudut pandang kehidupan:

  1. Raos Kawiraman: Menyajikan citra rasa yang teratur, tegas, pantas, sempurna, terarah, dan enak.
  2. Raos Kasulistyan: Menggambarkan nilai kecantikan, kesucian, kemuliaan, serta kejernihan.
  3. Raos Kasusilan: Mengutamakan nilai etika: sikap sopan, kemandirian, keteguhan, serta kehormatan dalam kehidupan bermasyarakat.

Filosofi ini tidak hanya berlaku dalam seni, tetapi juga menjadi dasar pembentukan karakter seorang pemimpin: seimbang secara religius, tegas secara militer, dan matang secara moral.

Warisan Budaya: Gamelan, Bedhaya, serta Naskah Suci

Raden Mas Said melampaui batas sebagai tokoh politik. Ia meninggalkan karya seni yang begitu luas dan fenomenal. Mulai dari perangkat gamelan, karya sastra, penulisan Al-Qur’an hingga delapan kali, hingga kaligrafi Arab yang menjadi jejak ketakwaannya.

Beberapa gamelan karyanya antara lain: Kyai Udan Riris, Kyai Udan Arum, Kyai Kanyut, Kyai Mesem, Gong Kyai Anggun-anggun, hingga Kyai Pamedharsih (kodok ngorek).

Selain itu, masih terdapat banyak gamelan lain yang diciptakan oleh beliau, antara lain Monggong Pakurmatan, Kyai Segarawindu, Kyai Lipur Tambahoneng, dan Kyai Galaganjur.

Karya tari yang diciptakannya juga tidak kalah makna. Tiga di antaranya menjadi karya utama Pura Mangkunegaran:

  • Bedhaya Mataram–Senopaten Anglirmendung: Menangkap perjuangan Perang Kesatrian di Ponorogo.
  • Bedhaya Mataram–Senopaten Diradameta: Menggambarkan pertempuran Gajah Marah di Hutan Sidakepyak.
  • Bedhaya Mataram–Senopaten Sukapratama: Menjadi lambang kebahagiaan setelah Perang Bedah Benteng Kompeni Yogyakarta.

Tujuh penari dalam setiap bedhaya tidak terjadi secara kebetulan. Angka ini menggambarkan konsep tujuh maqom dalam perjalanan spiritual tasawuf, sebuah pesan agama yang mendalam dari sang pangeran.

7 Macam Maqom Agama: Jalan Raden Mas Said Menuju Kebangkitan Iman

Konsep tujuh tingkatan (tahapan spiritual) dalam tasawuf menjadi dasar nilai keagamaan Raden Mas Said. Berdasarkan ajaran ini, ia memperoleh semangat untuk menjalani kehidupan yang penuh kesadaran, ketenangan, dan kedalaman jiwa.

Berikut adalah tujuh maqom tersebut:

  1. Attaubatu Allaumu: Bertaubat dari hati yang dalam, disusul taubat sejati kepada Allah.
  2. Mujahadah Nafs: Melatih diri mengendalikan hawa nafsu dan bersandar pada hukum halal–haram.
  3. Muamalah wa Khalifah Fil Ardl: Mempertahankan keharmonisan alam, menjaga kesejahteraan dunia, serta memperkuat ikatan sosial.
  4. Qonaah wa Zuhud: Hidup sederhana, menjauhi kemewahan yang tidak perlu.
  5. Shobar wa Tahamul: Ketabahan dan kesabaran dalam menghadapi ujian kehidupan.
  6. Istiqomah wa Thoah: Kuat, taat, setia, serta mempercayai sepenuhnya kepada kekuasaan Tuhan.
  7. Syukur wa Ridho: Senantiasa bersyukur, menerima takdir dengan ikhlas, semeleh lan nrimo ing pandum.

Berikut adalah beberapa variasi dari kalimat tersebut: 1. Inilah prinsip-prinsip yang seharusnya menjadi semangat dalam kepemimpinan di Karanganyar — nilai-nilai yang menggabungkan spiritualitas, tanggung jawab sosial, dan kejujuran moral. 2. Nilai-nilai yang semestinya menjadi dasar kepemimpinan di wilayah Karanganyar ialah yang mencakup spiritualitas, tanggung jawab sosial, serta integritas moral. 3. Berikut ini adalah nilai-nilai yang seharusnya menjadi jiwa dari kepemimpinan di Karanganyar — yaitu kesatuan antara spiritualitas, tanggung jawab sosial, dan moral yang tinggi. 4. Kepemimpinan di bumi Karanganyar mestilah didasarkan pada nilai-nilai yang mengandung spiritualitas, tanggung jawab sosial, dan integritas moral. 5. Inilah nilai-nilai yang sebenarnya harus menjadi nafas dalam memimpin di Karanganyar — nilai yang menyatukan spiritualitas, tanggung jawab sosial, dan kejujuran moral.

Pertanyaan untuk Para Pemimpin Bumi Intanpari

Menyambut usia Kabupaten Karanganyar yang ke-108, muncul pertanyaan yang memicu refleksi: Apakah para pemimpin — baik dari pemerintah maupun lembaga legislatif — telah menjadi teladan dalam tujuh maqom religius Raden Mas Said?

Warisan nilai yang ditinggalkan Pangeran Sambernyawa bukan sekadar catatan sejarah, tetapi pedoman etika bagi sesiapa pun yang memegang kendali kebijakan.

Dengan menjadikan tujuh maqom ini sebagai pijakan, Karanganyar bukan hanya merayakan ulang tahun, tetapi juga merawat identitas spiritual dan budaya yang telah diwariskan oleh pendirinya.***

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *