Ratusan kapal nelayan di Batam terdampak izin, DPRD Kepri khawatir kuota BBM 2026 dipotong

PARLEMENTARIA.ID – Persoalan ratusan kapal nelayan di Kota Batam yang berhenti beroperasi akibat persoalan perizinan, hingga kini tak kunjung tuntas.

Kondisi tersebut telah berlangsung lebih dari tiga bulan sejak peralihan kewenangan penerbitan izin tangkap ikan ke Badan Pengusahaan (BP) Batam.

Sekretaris Komisi II Bidang Perekonomian dan Keuangan DPRD Kepulauan Riau (Kepri), Wahyu Wahyudin, menyebut sedikitnya ada 143 kapal nelayan terdampak.

Data tersebut diterimanya dari Dinas Kelautan dan Perikanan (DKP) Provinsi Kepri Cabang Batam.

“Totalnya ada 143 kapal, terdiri dari 43 kapal berukuran 6 sampai 10 GT dan 100 kapal 11 sampai 30 GT. Sampai sekarang izinnya belum keluar,” ujar Wahyu, pada Jumat (26/12/2025).

Ia menilai lambannya penerbitan izin bukan hanya berdampak pada nelayan, tetapi juga berpotensi menimbulkan masalah lanjutan.

Salah satunya terkait kuota BBM subsidi nelayan.

Menurut politisi Partai Keadilan Sejahtera (PKS) itu, berdasarkan perhitungan bersama Pertamina Batam, sekitar 500 ton BBM subsidi tidak terserap selama 2025 akibat kapal tidak beroperasi.

“Yang saya khawatirkan adalah satu, terkait dengan kuota BBM tahun 2026. Kalau tidak terserap tahun ini, besar kemungkinan kuota 2026 akan dipotong,” katanya.

Selain itu, ia juga menyoroti potensi terganggunya pasokan ikan lokal.

Berhentinya ratusan kapal nelayan dinilai dapat memicu kekosongan suplai, yang pada akhirnya mendorong impor ikan.

“Yang kedua, saya melihat di sini ada indikasi nelayan tidak diberikan izin, tidak bisa menangkap ikan agar kuota impor masuk. Kalau produksi nelayan berhenti, pemerintah mau ambil ikan dari mana?,” tanyanya.

Wahyu juga mempertanyakan belum adanya solusi konkret di masa transisi perizinan.

Padahal, menurutnya, Pemerintah Provinsi (Pemprov) Kepri telah berupaya melakukan koordinasi dengan BP Batam sejak November lalu, namun sampai sekarang izin belum juga terbit.

Ia menilai kondisi ini mencerminkan adanya dugaan pembiaran terhadap persoalan nelayan.

Sebagai solusi sementara, Wahyu mendorong penerbitan izin manual agar nelayan tetap bisa melaut secara legal.

“Kalau sistem belum siap, seharusnya ada kebijakan sementara. Satu lembar surat pun cukup,” ujarnya.

Ia menambahkan, surat tersebut dapat ditandatangani manual oleh pihak terkait dan diketahui aparat pengawasan laut.

Wahyu juga menyinggung kebijakan peralihan kewenangan perizinan yang dinilainya tidak disiapkan secara matang.

Ia menyebut tidak ada kajian dan sosialisasi yang memadai sebelum aturan diberlakukan.

“Kalau memang aturan ini menyusahkan masyarakat, seharusnya dievaluasi,” tegasnya. ***

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *