PARLEMENTARIA.ID – Masyarakat adat dan organisasi masyarakat sipil di Kalimantan Selatan kembali menyampaikan penolakan terhadap rencana pengusulan Taman Nasional (TN) Meratus. Mereka menegaskan bahwa konsep tersebut tidak sejalan dengan kearifan lokal yang telah mereka jalankan selama ratusan tahun. Pertemuan ini berlangsung dalam forum bersama Komisi II DPRD Kalsel, yang memperkuat posisi pihak dewan untuk mendukung aspirasi masyarakat.
Konflik Antara Konservasi dan Keberlanjutan Budaya
Salah satu isu utama yang dibahas adalah bagaimana konsep TN Meratus bisa mengancam tradisi dan kehidupan masyarakat adat. Praktik berladang, yang merupakan bagian dari ritual spiritual, akan dilarang jika kawasan tersebut ditetapkan sebagai taman nasional. Ini menjadi salah satu alasan utama penolakan, karena aktivitas tersebut tidak hanya berkaitan dengan ekonomi, tetapi juga nilai-nilai keagamaan dan budaya.
Gusti Nurdin Iman dari Yayasan Sumpit menjelaskan bahwa pendekatan eko-fasis dalam TN tidak mempertimbangkan peran manusia sebagai bagian dari sistem lingkungan. Dalam konsep ini, manusia justru dianggap sebagai ancaman, bukan pelaku pelestarian.
Konservasi Berbasis Pengetahuan Lokal Lebih Efektif
Menurut Livelihood Specialist dari Yayasan Cakrawala Hijau Indonesia, Rudy Redhani, konservasi yang dilakukan oleh masyarakat adat lebih efektif karena didasarkan pada pengetahuan turun-temurun. Mereka memiliki pemahaman mendalam tentang wilayah yang mereka huni, termasuk area hutan keramat yang dianggap sakral.
Selain itu, ada banyak regulasi yang sudah mengakui hak masyarakat adat, seperti UU 41/1999 tentang Kehutanan dan UU 5/2017 tentang Pemajuan Kebudayaan. Meski Rancangan Undang-undang Masyarakat Adat belum disahkan, aturan yang ada cukup kuat untuk mendukung model konservasi berbasis kearifan lokal.
Peran DPRD dalam Mendukung Aspirasi Masyarakat
Firman Yusi, anggota Komisi II DPRD Kalsel, menyatakan bahwa semua pihak memiliki tujuan sama yaitu melestarikan Pegunungan Meratus. Namun, perbedaan model konservasi menjadi titik perdebatan. Ia menilai bahwa metode yang melibatkan pengetahuan masyarakat adat jauh lebih efektif dan berkelanjutan.
DPRD Kalsel juga berkomitmen untuk menyampaikan aspirasi masyarakat adat kepada pihak eksekutif, baik pemerintah daerah maupun pusat. Notulensi resmi dari pertemuan ini akan menjadi dasar kuat dalam proses pengambilan keputusan.
Tantangan dalam Implementasi Regulasi
Meski regulasi yang mendukung konservasi berbasis masyarakat adat sudah ada, implementasinya masih terkendala. Fatimattuzahra, Kepala Dinas Kehutanan Kalsel, menegaskan bahwa pihaknya tidak memiliki rencana untuk segera menetapkan TN Meratus. Saat ini, fokus utama adalah percepatan pengakuan masyarakat adat oleh para bupati di sembilan kabupaten.
Dia juga menekankan pentingnya dialog antara pemerintah, masyarakat adat, dan lembaga terkait. Forum resmi akan dibentuk untuk mencari solusi yang seimbang antara konservasi dan hak-hak masyarakat adat. ***









