PARLEMENTARIA.ID – Masyarakat adat dan organisasi masyarakat sipil di Kalimantan Selatan (Kalsel) kembali menyampaikan penolakan terhadap rencana pengangkatan Hutan Meratus menjadi Taman Nasional. Pertemuan ini berlangsung dengan Komisi II DPRD Kalsel, yang menunjukkan dukungan terhadap aspirasi masyarakat.
Perbedaan Pendekatan Konservasi
Penolakan ini tidak datang dari sikap anti-konservasi, melainkan karena konsep taman nasional dinilai tidak sesuai dengan kebutuhan masyarakat adat. Gusti Nurdin Iman dari Yayasan Sumpit menjelaskan bahwa pendekatan eko-fasis dalam taman nasional cenderung mengabaikan peran manusia dalam pelestarian lingkungan.
Menurutnya, metode konservasi yang lebih efektif adalah model berbasis kearifan lokal masyarakat adat. Praktik seperti berladang bukan hanya aktivitas ekonomi, tetapi juga bagian dari ritual spiritual. Jika dilarang, maka nilai-nilai keagamaan dan budaya akan terancam.
Keberadaan Masyarakat Adat dalam Lingkungan
Anang Suriani, warga adat Balangan, menyatakan bahwa larangan berladang akan menghilangkan jejak religi mereka. “Jika dilarang berladang, hilang-lah jejak agama kami,” katanya.
Dia mencontohkan, wilayah hutan keramat biasanya memiliki sumber mata air atau catchment area yang sangat penting bagi masyarakat. Pengetahuan tentang kawasan ini telah diwariskan turun-temurun, sehingga menjaga hutan sama artinya dengan menjaga kehidupan mereka sendiri.
Dukungan dari DPRD Kalsel
Firman Yusi, anggota Komisi II DPRD Kalsel, memahami kekhawatiran masyarakat. Menurutnya, tujuan semua pihak adalah melestarikan Pegunungan Meratus, tetapi pendekatan berbeda. Model konservasi berbasis masyarakat lebih efektif karena mereka sudah hidup di sana selama generasi.
Komisi II DPRD Kalsel sepakat mendukung aspirasi masyarakat adat. Notulensi pertemuan akan disampaikan ke Gubernur Kalsel sebagai dasar pengambilan keputusan.
Legalitas dan Regulasi yang Mendukung
Raden Rafiq, Direktur Eksekutif Walhi Kalsel, menegaskan bahwa regulasi yang ada sudah cukup untuk mendukung model konservasi berbasis masyarakat adat. Aturan seperti UUD 1945 Pasal 18B ayat (2), UU 41/1999 tentang Kehutanan, serta Perda Nomor 2 tahun 2023 tentang Pengakuan dan Perlindungan Masyarakat Hukum Adat telah memberikan landasan hukum.
Selain itu, Putusan MK Nomor 35/PUU-X/2012 juga menegaskan bahwa hutan adat bukan lagi hutan negara. Ini menjadi dasar kuat untuk mendorong pemerintah agar lebih memperhatikan kepentingan masyarakat adat.
Langkah Konkret untuk Pelestarian
Muhammad Yani Helmi, Ketua Komisi II DPRD Kalsel, berkomitmen mengawal aspirasi masyarakat. Dia menegaskan bahwa notulensi akan menjadi bahan pertimbangan dalam setiap proses pengambilan keputusan.
Fatimattuzahra, Kepala Dinas Kehutanan Kalsel, menepis kabar bahwa pemerintah provinsi akan segera melakukan penetapan Taman Nasional Meratus. Menurutnya, jika rencana ini tetap dilanjutkan, akan melalui kajian tim terpadu terlebih dahulu.
Sementara itu, Dinas Kehutanan akan fokus pada percepatan pengakuan masyarakat adat oleh para Bupati di sembilan kabupaten.
Kesimpulan
Polemik rencana Taman Nasional Meratus menunjukkan pentingnya melibatkan masyarakat adat dalam pengambilan keputusan. Model konservasi berbasis kearifan lokal lebih efektif dan dapat menjaga keberlanjutan lingkungan sekaligus hak masyarakat.




