PARLEMENTARIA.ID –
Mengapa Banyak Kebijakan DPR Menuai Kritik dari Masyarakat? Menelisik Akar Masalah dan Harapan Perbaikan
Siapa tak kenal Dewan Perwakilan Rakyat (DPR)? Sebagai lembaga legislatif, DPR memiliki peran sentral dalam merumuskan undang-undang, mengawasi jalannya pemerintahan, dan menetapkan anggaran negara. Mereka adalah wakil rakyat, suara kita di gedung parlemen. Namun, tak jarang setiap kebijakan yang dihasilkan DPR justru menuai gelombang kritik dan protes keras dari masyarakat. Seolah-olah ada jurang pemisah yang lebar antara harapan rakyat dan realitas kebijakan yang dibuat.
Mengapa fenomena ini terus berulang? Mengapa kebijakan-kebijakan yang seharusnya mewakili kepentingan publik justru sering dianggap memberatkan, tidak relevan, atau bahkan merugikan? Artikel ini akan mencoba menelisik akar masalah di balik banyaknya kritik terhadap kebijakan DPR, dengan harapan kita semua bisa memahami dinamika yang terjadi dan bersama-sama mencari jalan keluar.
1. Minimnya Partisipasi Publik dan Transparansi
Salah satu keluhan paling sering adalah kurangnya ruang bagi masyarakat untuk terlibat aktif dalam proses pembentukan kebijakan. Banyak kebijakan penting yang dibahas dan disahkan tanpa sosialisasi yang memadai atau pelibatan publik yang berarti. Rapat-rapat seringkali tertutup, draf undang-undang sulit diakses, dan informasi vital baru terungkap setelah kebijakan disahkan.
Ketika masyarakat merasa dikesampingkan, kepercayaan pun terkikis. Mereka tidak merasa memiliki kebijakan tersebut, dan cenderung curiga bahwa ada kepentingan tersembunyi di baliknya. Transparansi bukan hanya soal membuka data, tapi juga membuka pintu partisipasi yang jujur dan bermakna. Tanpa ini, kebijakan DPR akan selalu dianggap sebagai "produk elit" yang jauh dari realitas akar rumput.
2. Proses Legislasi yang Terburu-buru dan Kualitas Kebijakan yang Dipertanyakan
Pernahkah Anda mendengar istilah "kejar tayang" dalam konteks legislasi? Ini menggambarkan betapa seringnya DPR terkesan terburu-buru dalam mengesahkan undang-undang, terutama menjelang akhir masa jabatan atau saat ada tenggat waktu tertentu. Proses yang terburu-buru ini berdampak langsung pada kualitas kebijakan.
Undang-undang yang dihasilkan bisa jadi tumpang tindih, kontradiktif dengan aturan lain, atau bahkan memiliki celah hukum yang bisa disalahgunakan. Naskah akademik yang seharusnya menjadi landasan ilmiah seringkali kurang mendalam, atau bahkan hanya formalitas. Akibatnya, kebijakan yang lahir bukannya memberikan solusi, malah menimbulkan masalah baru atau kebingungan di tingkat implementasi. Kualitas yang buruk ini tentu saja menjadi sasaran empuk kritik masyarakat yang merasakan langsung dampaknya.
3. Prioritas yang Tidak Sejalan dengan Aspirasi Rakyat
Masyarakat punya segudang masalah mendesak: ekonomi yang sulit, lapangan kerja, pendidikan, kesehatan, atau lingkungan hidup. Namun, kadang-kadang DPR terlihat lebih fokus pada agenda-agenda yang dirasa kurang relevan atau bahkan terkesan untuk kepentingan internal mereka sendiri.
Misalnya, di tengah krisis ekonomi, pembahasan mengenai peningkatan fasilitas atau gaji anggota DPR seringkali muncul. Kontras ini membuat masyarakat merasa bahwa wakilnya tidak peka terhadap penderitaan rakyat. Prioritas yang jauh panggang dari api ini menimbulkan persepsi bahwa DPR tidak benar-benar memahami atau peduli dengan apa yang menjadi kebutuhan mendesak masyarakat.
4. Dugaan Konflik Kepentingan dan Lobi-lobi Tertentu
Anggota DPR berasal dari berbagai latar belakang, termasuk pengusaha, politisi, atau profesional. Hal ini sah-sah saja. Namun, potensi konflik kepentingan menjadi sorotan tajam. Ada kekhawatiran bahwa kebijakan yang dibuat bukan semata-mata untuk kepentingan umum, melainkan untuk mengakomodasi kepentingan kelompok tertentu, korporasi, atau bahkan kepentingan pribadi anggota DPR dan lingkarannya.
Dugaan adanya lobi-lobi dari pihak-pihak berkepentingan untuk "menitipkan" pasal-pasal tertentu dalam undang-undang seringkali beredar luas. Jika dugaan ini terbukti, maka keadilan dan keberpihakan kepada rakyat akan tercederai, memicu kemarahan dan kritik yang sangat wajar dari masyarakat.
5. Komunikasi yang Buruk dan Minimnya Sosialisasi
Tidak semua masyarakat memiliki latar belakang hukum atau politik yang mendalam. Kebijakan, terutama undang-undang, seringkali kompleks dengan bahasa yang sulit dipahami awam. Di sinilah peran komunikasi dan sosialisasi menjadi krusial.
Namun, DPR seringkali gagal dalam menjelaskan secara sederhana dan efektif mengapa suatu kebijakan penting, apa tujuannya, dan bagaimana dampaknya bagi masyarakat. Minimnya sosialisasi sebelum dan sesudah kebijakan disahkan menyebabkan masyarakat hanya mendengar narasi sepotong-sepotong atau bahkan informasi yang salah (hoaks). Akibatnya, penolakan muncul karena ketidakpahaman atau misinformasi, yang seharusnya bisa dicegah dengan komunikasi yang lebih baik.
6. Akuntabilitas yang Lemah dan Impunitas
Ketika sebuah kebijakan menuai kritik tajam atau terbukti merugikan, pertanyaan selanjutnya adalah: siapa yang bertanggung jawab? Sayangnya, mekanisme akuntabilitas terhadap anggota DPR atau lembaga DPR secara keseluruhan seringkali dirasa lemah. Sulit untuk meminta pertanggungjawaban konkret atas kebijakan yang dinilai gagal atau merugikan.
Perasaan impunitas (kekebalan dari hukuman) ini semakin memperkuat skeptisisme masyarakat. Jika tidak ada konsekuensi yang jelas atas kebijakan yang buruk, maka tidak ada insentif bagi DPR untuk meningkatkan kualitas dan keberpihakan kebijakan mereka.
7. Polarisasi Politik dan Kepentingan Partai
Dalam dinamika politik multipartai, kebijakan seringkali menjadi arena pertarungan kepentingan partai atau koalisi. Pembahasan kebijakan bisa terhambat atau bahkan dibelokkan karena adanya tarik-menarik kepentingan politik, bukan semata-mata demi kebaikan rakyat.
Ketika kebijakan lebih didominasi oleh "politik dagang sapi" antarpartai, atau upaya untuk mengamankan suara pada pemilu berikutnya, maka esensi kebijakan sebagai alat untuk kesejahteraan masyarakat akan hilang. Masyarakat melihat ini sebagai permainan politik semata, bukan pengabdian tulus.
Lalu, Bagaimana Seharusnya?
Kritik masyarakat terhadap kebijakan DPR bukanlah sekadar keluhan kosong. Ini adalah cerminan dari harapan dan keinginan rakyat agar wakilnya benar-benar bekerja untuk kepentingan mereka. Untuk mengatasi masalah ini, beberapa langkah perbaikan perlu dipertimbangkan:
- Meningkatkan Partisipasi Publik: Membuka ruang seluas-luasnya bagi masyarakat sipil, akademisi, dan kelompok rentan untuk terlibat sejak awal perumusan kebijakan, bukan hanya sebagai formalitas. Penggunaan platform digital bisa dimaksimalkan.
- Mendorong Transparansi Penuh: Memastikan seluruh proses legislasi, termasuk draf RUU, naskah akademik, notulensi rapat, dan rekaman sidang, dapat diakses publik secara mudah dan real-time.
- Mengutamakan Kualitas daripada Kuantitas: Mengurangi kecepatan legislasi demi memastikan setiap kebijakan dikaji secara mendalam, komprehensif, dan bebas dari celah hukum.
- Menyelaraskan Prioritas dengan Aspirasi Rakyat: Mendengarkan lebih cermat suara masyarakat melalui berbagai kanal, serta memastikan agenda legislasi benar-benar menjawab kebutuhan mendesak rakyat.
- Memperkuat Etika dan Pengawasan Internal: Mencegah konflik kepentingan dan lobi-lobi terlarang melalui kode etik yang ketat dan mekanisme pengawasan internal yang efektif.
- Mengoptimalkan Komunikasi dan Sosialisasi: Menjelaskan kebijakan secara proaktif, sederhana, dan mudah dipahami, menggunakan berbagai media untuk menjangkau seluruh lapisan masyarakat.
- Memperkuat Akuntabilitas: Menciptakan mekanisme yang jelas untuk meminta pertanggungjawaban DPR atas kebijakan yang merugikan atau gagal, termasuk melalui evaluasi berkala dan sanksi yang tegas.
Kritik adalah bagian tak terpisahkan dari demokrasi. Ketika kritik itu disampaikan, sesungguhnya ada harapan besar di baliknya. Harapan agar DPR sebagai representasi rakyat bisa menjalankan tugasnya dengan lebih baik, lebih transparan, dan lebih berpihak pada kepentingan seluruh lapisan masyarakat. Ini adalah PR bersama, baik bagi DPR untuk berbenah diri, maupun bagi masyarakat untuk terus mengawal dan menyuarakan aspirasinya demi demokrasi yang lebih matang dan berkeadilan.










