
PARLEMENTARIA.ID – >
Mengapa Keadilan Sering Terlambat? Membedah Lambatnya Proses Hukum di Indonesia
Pernahkah Anda mendengar cerita, atau bahkan mengalaminya sendiri, tentang sebuah kasus hukum yang seolah tak kunjung usai? Bertahun-tahun lamanya, berkas demi berkas menumpuk, persidangan demi persidangan tertunda, dan harapan akan keadilan seolah tergerus oleh waktu. Fenomena lambatnya proses hukum ini bukan rahasia lagi di Indonesia, bahkan sering menjadi bahan perbincangan, kritik, dan kadang, keluh kesah.
Mengapa ini bisa terjadi? Apakah sistem peradilan kita memang seolah bergerak dalam kecepatan siput? Jawabannya tidak sesederhana itu. Ada banyak faktor yang saling terkait dan kompleks yang menyebabkan roda keadilan di Indonesia berputar lebih lambat dari yang kita harapkan. Mari kita bedah satu per satu.
1. Labirin Birokrasi yang Berbelit-belit
Sistem hukum di Indonesia, seperti banyak institusi publik lainnya, tidak lepas dari jerat birokrasi. Mulai dari pendaftaran kasus, proses verifikasi dokumen, penjadwalan sidang, hingga eksekusi putusan, semuanya melibatkan alur administrasi yang panjang dan berlapis. Tumpukan berkas fisik, prosedur manual yang belum sepenuhnya terdigitalisasi, serta koordinasi antarlembaga yang kadang kurang optimal, seringkali menjadi hambatan utama.
Bayangkan saja, sebuah berkas harus melewati meja ini, lalu meja itu, menunggu tanda tangan dari pejabat A, kemudian diserahkan ke bagian B, dan seterusnya. Setiap tahap membutuhkan waktu, dan jika ada satu saja "sumbatan" di tengah jalan, seluruh proses bisa tertunda. Ini bukan hanya membuang waktu, tetapi juga energi dan biaya bagi para pencari keadilan.
2. Sumber Daya yang Terbatas
Salah satu akar masalah yang paling fundamental adalah keterbatasan sumber daya. Jumlah hakim, jaksa, panitera, dan staf pendukung lainnya seringkali tidak sebanding dengan volume kasus yang masuk setiap harinya. Akibatnya, setiap individu dalam sistem peradilan harus menangani beban kerja yang sangat berat.
- Hakim dan Jaksa yang Kewalahan: Seorang hakim mungkin harus menangani puluhan, bahkan ratusan kasus secara bersamaan. Begitu pula dengan jaksa yang harus mengawal banyak perkara. Hal ini tentu memengaruhi fokus, kecepatan, dan kualitas penanganan setiap kasus.
- Kekurangan Staf Pendukung: Panitera yang bertugas mencatat jalannya persidangan, mengelola berkas, dan membantu administrasi, juga seringkali kekurangan jumlah. Ini menambah tumpukan pekerjaan dan memperlambat proses administratif.
- Anggaran dan Fasilitas yang Belum Memadai: Keterbatasan anggaran juga berdampak pada fasilitas fisik, teknologi, dan pelatihan. Ruang sidang yang terbatas, sistem arsip yang belum modern, atau akses teknologi informasi yang belum merata, semuanya berkontribusi pada lambatnya penanganan kasus.
3. Beban Kasus yang Menggunung (Case Overload)
Sejalan dengan keterbatasan sumber daya, volume kasus yang masuk ke pengadilan dan kejaksaan di seluruh Indonesia sangatlah tinggi. Mulai dari kasus pidana ringan, sengketa perdata kompleks, hingga kasus-kasus korupsi berskala besar, semuanya harus ditangani.
Jumlah kasus yang masuk jauh melampaui kapasitas sistem untuk menanganinya secara cepat dan efisien. Ini menciptakan "antrean panjang" yang tak terhindarkan. Akibatnya, kasus-kasus baru harus menunggu giliran, sementara kasus-kasus lama semakin berlarut-larut tanpa kepastian.
4. "Penyakit" Korupsi dan Intervensi
Sulit untuk mengabaikan faktor korupsi dalam membahas lambatnya proses hukum. Praktik suap, gratifikasi, atau intervensi dari pihak-pihak berkepentingan masih menjadi "penyakit" akut yang menghantui sistem peradilan.
Korupsi dapat memperlambat proses hukum dengan berbagai cara:
- Penundaan Sengaja: Pihak yang ingin menghindari putusan atau mencari keuntungan dapat menyuap oknum untuk sengaja menunda proses, menghilangkan bukti, atau memanipulasi jadwal.
- Keputusan yang Tidak Objektif: Intervensi dari luar, baik politik maupun ekonomi, juga dapat memengaruhi independensi hakim atau jaksa, yang pada akhirnya bisa memperlambat atau bahkan mengaburkan jalannya keadilan.
- Hilangnya Kepercayaan Publik: Keberadaan praktik korupsi ini tidak hanya memperlambat proses, tetapi juga mengikis kepercayaan masyarakat terhadap integritas lembaga hukum.
5. Prosedur Hukum yang Berlapis dan Berulang
Sistem hukum Indonesia mengenal beberapa tingkatan peradilan: tingkat pertama (pengadilan negeri), tingkat banding (pengadilan tinggi), tingkat kasasi (Mahkamah Agung), dan bahkan Peninjauan Kembali (PK). Meskipun setiap tingkatan ini berfungsi sebagai mekanisme koreksi untuk memastikan keadilan, namun setiap tahapan juga membutuhkan waktu yang tidak sedikit.
Pihak yang tidak puas dengan putusan di satu tingkat memiliki hak untuk mengajukan upaya hukum ke tingkat yang lebih tinggi. Ini berarti sebuah kasus bisa bergulir selama bertahun-tahun sebelum mencapai putusan inkrah (berkekuatan hukum tetap). Dalam beberapa kasus, pihak yang ingin mengulur waktu akan sengaja menggunakan semua upaya hukum yang tersedia, bahkan jika peluang menangnya kecil, hanya untuk menunda eksekusi.
6. Kendala Geografis dan Infrastruktur
Sebagai negara kepulauan terbesar di dunia, Indonesia memiliki tantangan geografis yang unik. Akses transportasi antarwilayah yang sulit, terutama di daerah terpencil, dapat menghambat proses hukum. Pemanggilan saksi, pengiriman berkas, atau kehadiran pihak-pihak yang terlibat dalam persidangan seringkali terkendala oleh jarak dan biaya.
Meskipun teknologi persidangan jarak jauh (online) mulai diterapkan, namun belum semua daerah memiliki infrastruktur internet yang memadai dan perangkat yang mendukung. Ini menjadi hambatan nyata, terutama untuk kasus-kasus yang melibatkan banyak pihak dari lokasi yang berbeda.
7. Faktor Budaya dan Mentalitas
Tidak bisa dipungkiri, faktor budaya dan mentalitas juga turut berperan. Sikap menunda-nunda (sering disebut "jam karet"), kurangnya disiplin waktu, atau mentalitas "apa-apa bisa diatur" kadang-kadang masih ditemukan dalam berbagai lapisan masyarakat, termasuk dalam lingkungan kerja institusi hukum.
Rasa sungkan atau ewuh pakewuh juga bisa memengaruhi, misalnya dalam hal penegakan disiplin atau penuntutan pertanggungjawaban atas keterlambatan. Hal ini, meskipun tidak selalu menjadi penyebab utama, dapat menjadi faktor pelengkap yang memperlambat laju keadilan.
Mengapa Kecepatan itu Penting dalam Keadilan?
Lambatnya proses hukum bukan sekadar masalah teknis, melainkan memiliki dampak serius:
- Hilangnya Kepercayaan: Masyarakat akan kehilangan kepercayaan pada sistem jika keadilan tak kunjung datang.
- Ketidakpastian Hukum: Baik pelaku maupun korban, serta pihak-pihak terkait, akan terjebak dalam ketidakpastian yang merugikan.
- Dampak Ekonomi: Bagi dunia usaha, ketidakpastian hukum dapat menghambat investasi dan pertumbuhan ekonomi.
- Keadilan yang Terenggut: "Justice delayed is justice denied." Keadilan yang terlambat seringkali sama dengan ketidakadilan, karena kerugian yang diderita mungkin sudah terlalu besar atau bukti-bukti telah memudar.
Jalan Menuju Keadilan yang Lebih Cepat
Menyadari kompleksitas masalah ini adalah langkah pertama. Berbagai upaya telah dan terus dilakukan untuk mempercepat proses hukum di Indonesia, seperti digitalisasi administrasi peradilan (e-court), penambahan jumlah sumber daya manusia, pengawasan yang lebih ketat, hingga reformasi birokrasi dan peningkatan integritas.
Namun, perubahan besar membutuhkan waktu dan komitmen dari semua pihak. Keadilan yang cepat, transparan, dan akuntabel adalah dambaan kita semua. Dengan pemahaman yang lebih baik tentang akar masalahnya, kita bisa turut serta mendorong terciptanya sistem peradilan yang lebih baik, sehingga "keadilan yang terlambat" tidak lagi menjadi cerita yang sering kita dengar.
>


