PARLEMENTARIA.ID –
Mengapa Banyak Aspirasi Reses Tak Kunjung Direalisasikan? Mengurai Benang Kusut di Balik Janji dan Realita
Setiap anggota dewan, baik di tingkat pusat maupun daerah, memiliki agenda rutin yang disebut ‘reses’. Momen ini adalah jembatan penting antara wakil rakyat dan konstituennya, tempat di mana harapan, keluhan, dan usulan masyarakat diserap langsung. Dari perbaikan jalan, pembangunan fasilitas umum, hingga program pemberdayaan ekonomi, daftar aspirasi yang terkumpul seringkali menggunung. Masyarakat pun menaruh harapan besar agar suara mereka diwujudkan menjadi kebijakan atau program nyata.
Namun, realitanya seringkali berbicara lain. Banyak dari aspirasi yang dijaring saat reses tak kunjung terlihat wujudnya, atau bahkan menguap begitu saja. Kondisi ini tak jarang menimbulkan frustrasi, ketidakpercayaan, dan pertanyaan besar di benak publik: Mengapa aspirasi reses begitu sulit direalisasikan? Mengapa janji-janji yang terekam dalam catatan rapat seringkali hanya menjadi deretan kata tanpa aksi?
Untuk memahami kompleksitas ini, kita perlu mengurai benang kusut yang melibatkan berbagai aspek, mulai dari kendala anggaran, birokrasi, hingga dinamika politik.
1. Keterbatasan Anggaran: Kue Pembangunan yang Terbatas
Salah satu kendala utama yang sering menjadi "gunung es" di balik tidak terealisasinya aspirasi adalah keterbatasan anggaran. Baik Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) untuk tingkat pusat, maupun Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD) untuk tingkat provinsi dan kabupaten/kota, memiliki porsi yang terbatas.
Setiap tahun, pemerintah harus menyusun skala prioritas berdasarkan kebutuhan makro, program strategis nasional atau daerah, serta kemampuan fiskal. Aspirasi reses, meskipun penting bagi konstituen tertentu, harus bersaing dengan ribuan program lain yang diajukan oleh berbagai kementerian/lembaga atau dinas. Seringkali, dana yang tersedia tidak cukup untuk mengakomodasi semua usulan.
Sebagai contoh, jika sebuah desa mengusulkan pembangunan jembatan baru, sementara di saat yang sama ada kebutuhan mendesak untuk penanganan stunting, perbaikan fasilitas kesehatan, atau peningkatan kualitas pendidikan di wilayah lain, pemerintah harus membuat pilihan sulit. Prioritas yang ditetapkan oleh eksekutif (pemerintah) seringkali tidak selalu selaras dengan prioritas yang datang dari aspirasi legislatif (dewan) di tingkat mikro.
2. Labyrinth Birokrasi dan Administratif yang Berliku
Setelah anggaran, tantangan berikutnya adalah birokrasi. Aspirasi yang terkumpul tidak serta-merta bisa langsung dieksekusi. Ia harus melalui serangkaian tahapan administratif dan birokrasi yang panjang dan kompleks:
- Penyusunan dan Pengajuan Rencana: Aspirasi harus dirumuskan menjadi proposal yang jelas, lengkap dengan studi kelayakan awal, estimasi biaya, dan dampak yang diharapkan.
- Koordinasi Lintas Sektor: Banyak aspirasi memerlukan koordinasi antar dinas atau kementerian. Misalnya, perbaikan jalan bisa melibatkan Dinas Pekerjaan Umum, Dinas Perhubungan, bahkan Dinas Lingkungan Hidup. Sinkronisasi antar lembaga ini seringkali memakan waktu dan energi.
- Proses Perencanaan dan Penganggaran: Proposal kemudian masuk ke dalam siklus perencanaan pembangunan daerah (Musrenbang) atau nasional, lalu dibahas dalam Kebijakan Umum Anggaran (KUA) dan Prioritas Plafon Anggaran Sementara (PPAS), sebelum akhirnya ditetapkan dalam APBN/APBD. Proses ini bisa memakan waktu berbulan-bulan, bahkan setahun penuh.
- Perizinan dan Regulasi: Beberapa proyek, terutama yang berskala besar, memerlukan berbagai perizinan dan memenuhi regulasi yang ketat, mulai dari AMDAL hingga izin mendirikan bangunan.
Setiap tahapan ini memiliki potensi untuk tersendat, baik karena perbedaan pandangan, kekurangan data, atau sekadar lambatnya proses persetujuan.
3. Perencanaan dan Feasibilitas yang Belum Matang
Terkadang, aspirasi yang disampaikan saat reses masih bersifat umum atau merupakan "wishlist" tanpa detail perencanaan yang memadai. Misalnya, "kami butuh lapangan olahraga" atau "perlu pelatihan keterampilan." Untuk bisa direalisasikan, usulan tersebut harus diubah menjadi proposal yang konkret, terukur, dan memiliki studi kelayakan.
- Kurangnya Data Akurat: Aspirasi mungkin belum didukung oleh data yang akurat mengenai kebutuhan riil, jumlah penerima manfaat, atau dampak jangka panjang. Tanpa data yang kuat, sulit bagi pemerintah untuk memprioritaskan atau mengalokasikan anggaran.
- Tidak Sesuai Standar Teknis: Beberapa usulan mungkin tidak sesuai dengan standar teknis atau kebijakan yang berlaku. Misalnya, pembangunan infrastruktur di area yang rawan bencana atau tidak memenuhi tata ruang kota.
- Kapasitas Teknis yang Terbatas: Anggota dewan atau masyarakat mungkin tidak memiliki kapasitas teknis untuk menyusun proposal yang komprehensif. Akibatnya, usulan tersebut sulit untuk "diterjemahkan" oleh dinas terkait menjadi program yang siap dieksekusi.
4. Dinamika Politik dan Prioritas Pemerintah
Hubungan antara legislatif (dewan) dan eksekutif (pemerintah daerah atau pusat) adalah hubungan kemitraan namun juga pengawasan. Prioritas pembangunan pemerintah seringkali didasarkan pada visi-misi kepala daerah atau presiden terpilih, serta program-program strategis yang lebih luas.
Aspirasi reses, meskipun dijaring oleh anggota dewan, tidak otomatis menjadi prioritas utama pemerintah. Ada kalanya, pemerintah memiliki agenda pembangunan sendiri yang dianggap lebih mendesak atau memiliki dampak yang lebih luas. Negosiasi dan lobi politik antara dewan dan pemerintah daerah/pusat menjadi krusial dalam menentukan apakah sebuah aspirasi bisa masuk dalam rencana pembangunan.
Pergantian kepemimpinan atau dinamika koalisi politik juga bisa mempengaruhi prioritas. Proyek yang diusulkan di masa satu pemerintahan bisa saja dianulir atau ditunda oleh pemerintahan berikutnya karena perbedaan visi atau keterbatasan anggaran.
5. Keterbatasan Kapasitas dan Sumber Daya Daerah
Terutama di daerah-daerah dengan APBD yang kecil atau kapasitas SDM yang terbatas, realisasi aspirasi bisa menjadi tantangan besar. Bahkan jika anggaran sudah dialokasikan, kemampuan dinas terkait untuk merencanakan, mengelola, dan melaksanakan proyek bisa menjadi kendala.
- Keterbatasan SDM: Jumlah pegawai yang tidak mencukupi atau kurangnya keahlian teknis di dinas terkait bisa menghambat proses implementasi.
- Manajemen Proyek yang Lemah: Kurangnya pengalaman dalam manajemen proyek besar dapat menyebabkan keterlambatan, pembengkakan biaya, atau kualitas pekerjaan yang kurang optimal.
- Kendala Geografis dan Logistik: Untuk daerah kepulauan atau pegunungan, kendala geografis dan logistik juga bisa menjadi faktor penghambat dalam pengiriman material atau pengerjaan proyek.
6. Kurangnya Transparansi dan Akuntabilitas Pasca-Reses
Setelah aspirasi terkumpul, seringkali tidak ada mekanisme yang jelas dan transparan untuk melacak statusnya. Masyarakat tidak memiliki akses mudah untuk mengetahui apakah aspirasi mereka sudah masuk dalam perencanaan, sudah dianggarkan, atau bahkan sudah ditolak.
- Minimnya Sistem Monitoring: Sistem monitoring dan evaluasi yang belum terintegrasi atau kurang diakses publik membuat sulit untuk memantau perjalanan sebuah aspirasi.
- Kurangnya Feedback: Masyarakat jarang menerima umpan balik langsung mengenai status aspirasi mereka. Ini bisa menimbulkan persepsi bahwa suara mereka tidak didengar atau tidak ditindaklanjuti.
- Akuntabilitas yang Lemah: Ketika sebuah aspirasi tidak terealisasi, seringkali tidak ada pihak yang secara jelas bertanggung jawab untuk menjelaskan alasannya kepada publik.
Membangun Jembatan Harapan dan Realita
Menyadari berbagai kendala ini bukan berarti kita harus pesimis. Justru, ini menjadi PR besar bagi semua pihak: pemerintah, dewan, dan masyarakat sendiri. Beberapa langkah kunci yang bisa diambil antara lain:
- Perencanaan yang Lebih Matang: Anggota dewan perlu dibekali kapasitas untuk membantu masyarakat merumuskan aspirasi menjadi proposal yang lebih konkret dan feasible.
- Sistem Informasi yang Transparan: Pemerintah perlu mengembangkan sistem yang memungkinkan masyarakat melacak status aspirasi mereka secara online, dari pengajuan hingga realisasi atau alasan penolakan.
- Komunikasi yang Efektif: Anggota dewan perlu secara proaktif mengkomunikasikan kendala yang ada kepada konstituen, mengelola ekspektasi, dan menjelaskan prioritas yang ditetapkan pemerintah.
- Kolaborasi Multistakeholder: Melibatkan berbagai pihak, termasuk akademisi, organisasi masyarakat sipil, dan sektor swasta, dalam proses perencanaan dan implementasi.
Realisasi aspirasi reses adalah cerminan dari efektivitas tata kelola pemerintahan dan partisipasi publik. Mengurai benang kusut di balik janji dan realita ini adalah langkah awal untuk membangun kepercayaan, memperkuat demokrasi, dan pada akhirnya, mewujudkan pembangunan yang lebih merata dan berkeadilan. Ini adalah tugas bersama yang membutuhkan komitmen, transparansi, dan kerja keras dari semua elemen bangsa.







