PARLEMENTARIA.ID – Suhu politik di gedung wakil rakyat Kabupaten Banyumas mendadak menghangat.
Pemicunya bukan soal perebutan anggaran, melainkan kekosongan kursi pimpinan yang berlarut-larut.
PDI Perjuangan, sebagai partai yang menang dalam pemilu legislatif di Banyumas dan berhak mendapatkan kursi Ketua DPRD, dianggap terlambat dalam mengajukan nama Pelaksana Tugas (PLT) Ketua Dewan.
Keterlambatan ini memicu reaksi keras dari fraksi-fraksi lain yang secara terbuka memberikan tenggat waktu (deadline) kepada partai berlambang banteng tersebut.
Melihat fenomena ini, Pengamat Politik dari Universitas Jenderal Soedirman (Unsoed) Purwokerto, Dr. Indaru Setyo Nurprojo, menilai ada pergeseran menarik dalam dinamika politik lokal Banyumas.
Menurutnya, apa yang terjadi saat ini menunjukkan bahwa dominasi PDIP secara psikologis mulai terkikis di mata partai pesaing.
Sentralisasi Keputusan
Indaru membedah situasi ini dari dua sisi.
Pertama, ia memaklumi bahwa PDIP adalah organisasi yang sangat hierarkis dan tegak lurus pada instruksi pusat.
Keputusan penting seperti pemilihan ketua dewan bukan hanya menjadi kewenangan dari pengurus setempat.
“Yang saya pahami bahwa mereka sangat tertib ya dengan aturan main internal partainya. Artinya siapa yang akan duduk menjadi ketua DPRD itu itu sangat tergantung kepada DPP,” ujar Indaru memberikan pandangannya, Rabu (26/11/2025).
Menurutnya, Dewan Pimpinan Pusat (DPP) PDIP memegang kendali penuh, termasuk menentukan ketua fraksi dan jabatan strategis lainnya.
Namun, prosedur internal yang kaku ini rupanya berbenturan dengan kebutuhan mendesak di daerah yang menuntut keputusan cepat.
Keberanian Partai Lain
Sisi kedua, dan yang paling menarik perhatian Indaru, adalah respons dari partai-partai lain di DPRD Banyumas.
Jika pada periode-periode sebelumnya PDIP tampak sangat dominan dan disegani, kini situasinya berbeda. Fraksi-fraksi lain tampak lebih berani ‘menekan’ sang pemenang pemilu.
“PDIP adalah pemilik kursi terbanyak di DPRD Banyumas gitu ya. Tapi tidak dianggap angker, tidak dianggap punya power yang berlebih sehingga partai lain itu mendesak-mendesak ya,” jelas Dosen FISIP Unsoed tersebut.
Fenomena ‘deadline’ yang diberikan partai lain kepada PDIP dianggap Indaru sebagai anomali yang jarang terjadi.
Secara umum, partai lain cenderung menunggu atau mengikuti kecepatan partai yang memenangkan pemilis.
Namun, kebutuhan akan keputusan-keputusan strategis di dewan, ditambah kondisi Ketua DPRD definitif sebelumnya yang sedang sakit, membuat partai lain merasa perlu mengambil sikap tegas.
Atmosfer Berubah
Lebih jauh, Indaru menganalisis bahwa keberanian partai-partai lain ini mungkin juga dipengaruhi oleh konstelasi politik nasional di mana PDIP berada di luar pemerintahan (oposisi), serta fakta bahwa di level lokal, PDIP tidak lagi memegang eksekutif secara tunggal.
Hal ini menciptakan atmosfer di mana PDIP, meski menang jumlah kursi, tidak lagi memegang hegemoni mutlak dalam relasi kuasa.
“Artinya, atmosfer hubungan kekuasaan tidak lagi seperti dulu di posisi PDIP. Partai lain masih menghormati aturan main tatib DPRD, hanya saja batasan waktu itu ada terkait tekanan terhadap PDIP yang memiliki kekuasaan dalam menentukan PLT ketua, ini menarik menurut saya,” katanya.
Indaru pun mempertanyakan mengapa proses penunjukan PLT yang sifatnya sementara bisa memakan waktu begitu lama.
Menurutnya, jika komunikasi antara DPC dan DPP berjalan dengan baik, kekosongan kepemimpinan yang berpotensi menghambat kinerja legislatif ini seharusnya dapat dihindari.
“Sekeras apakah penentuan PLT yang diambil,” ujarnya. ***











