PARLEMENTARIA.ID – Pemilihan kepala daerah (pilkada) melalui Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) kembali menjadi topik hangat dalam diskusi politik di Indonesia. Pendapat dari berbagai pakar dan pengamat menunjukkan bahwa sistem ini memiliki potensi risiko yang cukup besar, terutama terkait stabilitas demokrasi dan persatuan bangsa.
Perspektif Ahli Hukum Kepemiluan
Titi Anggraini, dosen hukum kepresidenan dari Universitas Indonesia, menyatakan bahwa pengembalian sistem pilkada lewat DPRD dapat memicu konflik, terutama jika masyarakat tidak puas dengan hasil pemilihan. Ia mengingatkan bahwa alasan efisiensi dan maraknya politik uang yang sering digunakan sebagai dasar perubahan sistem tidak menyentuh akar masalah demokrasi elektoral Indonesia.
“Argumen itu sama persis dengan alasan yang tergunakan pada 2004. Sebelum Indonesia memutuskan beralih dari pemilihan dari DPRD ke pemilihan langsung melalui pengesahan UU Nomor 32 Tahun 2004,” ujarnya.
Menurut Titi, pelaku politik uang dan transaksional sejatinya tidak berubah meski sistem pemilihan berubah. Aktor-aktor tersebut tetap berasal dari kalangan elite politik dan partai politik. Oleh karena itu, yang lebih penting adalah membenahi integritas partai politik agar demokrasi internal benar-benar berjalan.
Masalah Pendanaan dan Penegakan Hukum
Selain itu, Titi menekankan bahwa persoalan utama dalam pilkada bukan terletak pada sistem pemilihan, melainkan pada lemahnya tata kelola pendanaan politik dan penegakan hukum. Ia menilai bahwa transparansi dan akuntabilitas pendanaan kampanye serta efektivitas penegakan hukum adalah kunci untuk memperbaiki kualitas demokrasi.
“Ini sebenarnya miniatur persoalan besar bangsa kita, yaitu korupsi dan lemahnya penegakan hukum,” tegasnya.
Potensi Konflik dan Disintegrasi
Titi juga memperingatkan bahwa jika alasan efisiensi waktu dan biaya menjadi pembenaran untuk mengembalikan pilkada ke DPRD, maka logika serupa bisa terimplementasikan pada pemilihan lainnya. Misalnya, pemilihan presiden juga bisa tidak langsung, melalui MPR. Hal ini bisa menjadi bola salju liar yang makin mengeliminasi hak demokrasi rakyat.
“Bukan tidak mungkin kebijakan ini memicu konflik daerah dan ketidakpuasan masyarakat yang makin meluas. Bahkan bisa menjadi ancaman disintegrasi bangsa,” ujarnya.
Intervensi Elite Pusat
Selain itu, Titi menyoroti kuatnya intervensi elite pusat dalam proses pencalonan kepala daerah jika pilkada terlaksanakan melalui DPRD. Dominasi pengurus pusat partai dapat mempersempit ruang gerak politik aktor-aktor daerah. Intervensi elite pusat melalui DPP yang menjangkau hingga kabupaten dan kota berpotensi makin membonsai aktor politik daerah. Ini justru bisa memecah belah partai karena ruang gerak politik kader daerah semakin terbatasi oleh pola sentralistik.
Secara keseluruhan, pandangan para ahli menunjukkan bahwa sistem pilkada lewat DPRD tidak hanya tidak beralasan, tetapi juga berpotensi merusak kualitas demokrasi dan stabilitas nasional. Solusi yang lebih efektif adalah membenahi integritas partai politik, meningkatkan transparansi pendanaan kampanye, serta memperkuat penegakan hukum. Hanya dengan langkah-langkah fundamental ini, demokrasi Indonesia dapat berkembang secara sehat dan berkelanjutan. ***













