PARLEMENTARIA.ID – Kaum Nahdliyin (warga NU) baru-baru ini dihebohkan dengan konflik yang terjadi di tubuh Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU). Konflik itu seringkali direduksi menjadi perang faksi “siapa melawan siapa? siapa menang? dan siapa kalah?” Pembacaan tersebut sebenarnya tidak salah, tetapi terlalu dangkal jika hanya dilihat pada aspek menang-kalah.
Dalam perspektif teori agensi (agency theory), dinamika dalam tubuh PBNU itu lebih tepat jika dipandang sebagi “krisis mandat” yakni ketika pemberi mandat (principal) merasa pemegang mandat (agent) tidak lagi sejalan dengan kehendak mereka.
Dalam teori agensi, organisasi dipahami sebagai relasi kontraktual antara principal dan agent. Jensen & Meckling (1976) menempatkan principal sebagai pihak yang memberi mandat, sementara agent adalah pihak yang diberi kepercayaan untuk menjalankan mandat tersebut.
Dalam PBNU, principal sejatinya tidak tunggal (multi-principal), ada forum formal seperti Mukhtamar yang merumuskan AD/ART NU, Syuriah (Pemimpin Tertinggi) yang teridiri dari banyak Rais (ketua) sebagai otoritas yang menjaga garis normatif NU, dan kaum Nahdliyin sebagai legitimasi sosial. Sedangkan Tanfidziyah (Pelaksana Harian), yang terdiri ketua umum dan jajaran pengurus bertindak sebagai agent – menjalankan mandat yang diberikan oleh pemberi mandat. Dalam kondisi multi-principal seperti ini, seringkali menimbulkan ketengan baik antar principal dengan principal dan atau principal dengan agent.
Kontestasi yang kini terjadi memperlihatkan gejala masalah agensi yang nyata. Ketika sejumlah kebijakan strategis PBNU seperti pemecatan Ketua Umum dan penunjukkan Pj Ketua Umum dinilai ditentukan secara sepihak oleh Rais ‘Aam PBNU (principal 1), tanpa melalui proses demokrasi deliberatif dan tanpa melaui mandat kolektif seperti Mukhtamar (principal 2) karena Ketua Umum PBNU (agent) dianggap telah menyimpang dari misi organisasi (mission drift). Di titik ini, konflik bukan lagi soal setuju atau tidak setuju terhadap kebijakan tertentu, melainkan soal legitimasi penggunaan mandat. Siapa yang berhak menentukan arah organisasi, dan sejauh mana diskresi pemimpin dapat dibenarkan?
PBNU dan Paradoks Bounded self-interest
Namun, membaca konflik PBNU hanya sebagai persoalan penyimpangan mandat—konflik principal dan agent—akan terlalu menyederhanakan realitas. Di sinilah konsep bounded self-interest menjadi penting sebagai lensa analisis. Teori bounded self-interest menolak anggapan bahwa aktor organisasi semata-mata digerakkan oleh kepentingan pribadi yang sempit, karena kepentingan aktor selalu dibatasi dan dibingkai oleh norma-norma keadilan (fairness) dan timbal balik sosial (reciprocity) (Bosse & Phillips, 2016). Dalam konteks PBNU, batasin ini dapat merujuk pada ajaran Islam Ahlussunnah wal Jama’ah, loyalitas terhadap Kyai Sepuh, legitimasi sosial kaum Nahdliyin dan keyakinan moral.
Dalam kasus PBNU, setiap kubu cenderung mengklaim bahwa tindakan mereka dilakukan demi maslahat NU dan umat. Elite yang disorot publik bukan tanpa narasi pembenaran, mereka meyakini kebijakan strategis tertentu sebagai langkah rasional untuk memperkuat posisi NU di tingkat nasional maupun global. Di sisi lain, pihak yang mengkritik juga bertindak atas nama menjaga marwah jam’iyah, tradisi organisasi, dan kedaulatan struktural NU. Dengan kata lain, kedua belah pihak sama-sama digerakkan oleh kepentingan yang mereka anggap sah secara moral.
Inilah paradoks bounded self-interest. Konflik menjadi alot bukan karena aktor secara terbuka memiliki kepentingan oportunistik, melainkan karena masing-masing merasa berada di posisi etis yang benar. Ketika kepentingan diri dibungkus oleh legitimasi moral, kompromi menjadi sulit, bahkan dianggap sebagai pengkhianatan terhadap nilai. Dalam situasi seperti ini, mekanisme rasional penyelesaian konflik sering kali kalah oleh klaim moral dan simbolik.
Memulihkan Mandat dan Mengakhiri Perang Legitmasi
Krisis mandat di organisasi sosial-kemasyarakatan seperti PBNU tidak pernah selesai hanya dengan kalimat “kita harus rukun” melainkan membutuhkan desain tata kelola yang baik yang dapat meningkat rasa saling percaya. Dalam kacamata teori agensi krisis mandat ini muncul akibat dari putusnya kepercayaan pemberi mandat/principal (Syuriah-Rais ‘Aam PBNU) kepada pemegang mandat/agent (Ketua Umum PBNU).
Ketika masing-masing pihak terus saling mengklaim legitimasi di ruang publik, yang terjadi bukan penguatan otoritas organisasi, melainkan “perang legitimasi” yang justru menggerus kewibawaan kolektif. Oleh karena itu, langkag pertama yang harus dilakukan adalah islah, islah harus dimulai dari kesediaan bersama untuk menghentikan narasi saling meniadakan dan menarik kembali konflik ke ruang musyawarah bersama.
Langkah kedua adalah memulihkan mandat melalui forum yang sah dan diakui bersama. Dalam pandangan teori agensi, krisis mandat tidak dapat diselesaikan dengan adu argumen tanpa akhir, melainkan melalui mekanisme pengambilan keputusan yang memiliki otoritas final. Forum resmi organisasi, sebagaimana diatur dalam AD/ART, harus difungsikan sebagai ruang untuk memutuskan, bukan sekadar memperpanjang perdebatan. Melalui forum ini mandat kepemimpinan ditegaskan kembali, batas kewenangan diperjelas, arah organisasi dikembalikan pada kehendak kolektif jam’iyah dan evaluasi atas aktor baik principal dan agent yang menyalahi AD/ART organisasi dan penyimpangan dari misi organisasi.
Langkah selanjutnya adalah membangun tata kelola pascakrisis. Konflik PBNU juga mencerminkan apa yang disebut bounded self-interest, yakni ketika para aktor merasa bertindak demi kepentingan organisasi, yang dibingkai dengan keyakinan moral dan menjaga marwah jam’iyah. Oleh karenanya, rekonsiliasi perlu diikuti pembenahan tata kelola yang lebih transparan dan deliberatif, termasuk pembatasan diskresi dalam keputusan strategis serta penguatan mekanisme koreksi internal.
Dengan langkah ini, krisis mandat dapat diselesaikan dan juga dijadikan pijakan untuk memperkuat kedewasaan organisasi sehingga tidak mereduksi wibawa NU sebagai organisasi kemasyarakat terbesar. Kedepannya, PBNU perlu menjadikan konflik ini sebagai momentum refleksi institusional. Bukan sekadar mencari siapa yang benar atau salah, tetapi memperkuat kembali relasi mandat antara principal dan agent dengan membangun tata kelola yang baik dan jelas karena tanpa pembenahan tata kelola, konflik serupa akan terus berulang, siapa pun figur yang memimpin. (*)
*) Nanang A.S, dosen Universitas Brawijaya dan Anggota Ikatan Keluarga Alumni Pesantren Tebuireng









