PARLEMENTARIA.ID –
Kontroversi RUU: Cermin Jarak DPR dengan Aspirasi Warga – Mengapa Suara Rakyat Kerap Terpinggirkan?
Setiap kali ada Rancangan Undang-Undang (RUU) baru yang mengemuka di ruang publik, seringkali respons yang muncul dari masyarakat adalah campuran antara rasa penasaran, harapan, dan tak jarang, kekhawatiran yang mendalam. Belakangan ini, kekhawatiran itu bahkan lebih dominan, berubah menjadi gelombang protes dan kritik tajam. Fenomena ini bukan sekadar dinamika legislasi biasa, melainkan cermin tebal akan adanya jarak yang menganga antara lembaga legislatif kita, Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia (DPR RI), dengan denyut nadi aspirasi masyarakat yang mereka wakili.
Mengapa RUU kerap menjadi sumber polemik, dan mengapa suara rakyat seolah terpinggirkan dalam proses pembentukannya? Artikel ini akan mengupas tuntas akar masalah, dampak, dan harapan untuk jembatan yang lebih kokoh antara DPR dan warga.
Ketika RUU Memancing Badai: Kilas Balik Kontroversi
Sejarah legislasi Indonesia beberapa tahun terakhir diwarnai oleh sejumlah RUU yang memancing badai protes dan perdebatan sengit. Sebut saja Undang-Undang Cipta Kerja yang dikenal sebagai Omnibus Law, revisi Undang-Undang Komisi Pemberantasan Korupsi (UU KPK), hingga RUU Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) yang masih menuai pro-kontra, dan yang terbaru, draf RUU Penyiaran. Masing-masing memiliki cerita kontroversinya sendiri, namun benang merahnya serupa: persepsi bahwa proses pembentukannya minim partisipasi publik, terkesan terburu-buru, dan substansinya dianggap tidak berpihak pada kepentingan rakyat banyak.
UU Cipta Kerja, misalnya, dianggap merugikan buruh dan mengancam lingkungan hidup. Revisi UU KPK dinilai melemahkan lembaga antirasuah. Sementara itu, RUU KUHP memicu kekhawatiran akan kriminalisasi kebebasan berekspresi dan pengaturan ranah privat yang terlalu jauh. Draf RUU Penyiaran belakangan ini juga menuai protes karena dianggap berpotensi mengekang kebebasan pers dan kreativitas digital.
Kontroversi-kontroversi ini bukan sekadar "riuh di media sosial," melainkan manifestasi nyata dari ketidakpuasan dan perasaan tidak terwakili yang dirasakan oleh jutaan warga. Mereka melihat RUU sebagai produk legislasi yang seharusnya melindungi dan memajukan hak-hak mereka, justru berpotensi membatasi atau bahkan mencabutnya.
Jarak yang Menganga: Akar Permasalahan
Lantas, apa yang menyebabkan jarak antara DPR dan aspirasi warga ini terus menganga? Ada beberapa faktor kunci yang saling berkelindan:
-
Partisipasi Publik yang Minim dan Formalitas: Undang-Undang Dasar 1945 dan peraturan perundang-undangan lainnya telah mengamanatkan partisipasi publik dalam pembentukan undang-undang. Namun, seringkali partisipasi ini hanya sebatas formalitas. DPR mungkin mengadakan beberapa dengar pendapat, tetapi masukan yang substantif dari masyarakat, akademisi, atau kelompok sipil kerap kali tidak tercermin dalam draf akhir RUU. Proses konsultasi yang dilakukan terasa seperti "checklist" daripada dialog yang sungguh-sungguh mencari titik temu.
-
Transparansi yang Buram: Draf RUU seringkali sulit diakses publik secara utuh dan tepat waktu. Informasi mengenai jadwal pembahasan, risalah rapat, atau daftar hadir anggota dewan pun tidak selalu transparan. Akibatnya, masyarakat kesulitan memantau dan memberikan masukan secara efektif. Ruang tertutup dalam pembahasan RUU memunculkan kecurigaan akan adanya lobi-lobi atau kepentingan tertentu yang bermain di balik layar.
-
Proses Legislasi yang Terburu-buru: Beberapa RUU kontroversial disahkan dalam waktu yang relatif singkat, tanpa pembahasan yang mendalam dan komprehensif. Proses yang terburu-buru ini berpotensi mengabaikan dampak jangka panjang, analisis kebutuhan yang matang, serta masukan dari berbagai pihak. Kepentingan untuk segera mengesahkan RUU seringkali mengalahkan kualitas dan legitimasi produk hukum itu sendiri.
-
Minimnya Kajian Akademis dan Naskah Akademik yang Lemah: Naskah akademik seharusnya menjadi fondasi ilmiah yang kuat bagi setiap RUU. Namun, tidak jarang naskah akademik yang menyertai RUU terkesan disusun terburu-buru, kurang mendalam, atau bahkan tidak sinkron dengan substansi pasal-pasal dalam draf RUU. Ini menunjukkan kurangnya riset yang memadai dan keterlibatan ahli yang independen dalam perumusan kebijakan.
-
Persepsi Keberpihakan Kepentingan: Ketika RUU tampak menguntungkan kelompok usaha tertentu, elite politik, atau bahkan kekuatan asing, sementara merugikan masyarakat luas, persepsi keberpihakan akan semakin kuat. Ini mengikis kepercayaan publik terhadap DPR sebagai lembaga yang seharusnya mewakili semua golongan, bukan hanya segelintir kepentingan.
Dampak Jarak Ini: Ancaman Demokrasi dan Kepercayaan Publik
Jarak antara DPR dan aspirasi warga ini memiliki dampak serius bagi kesehatan demokrasi dan stabilitas sosial:
- Erosi Kepercayaan Publik: Ketika masyarakat merasa suara mereka tidak didengar, kepercayaan terhadap institusi demokrasi, khususnya DPR, akan terkikis. Ini berpotensi memicu apatisme atau bahkan penolakan terhadap setiap kebijakan pemerintah.
- Ketidakpastian Hukum dan Sosial: Undang-undang yang lahir dari proses yang tidak transparan dan minim partisipasi cenderung menghasilkan ketidakpastian hukum. Pasal-pasal yang ambigu atau tidak adil dapat memicu konflik sosial, protes, dan perlawanan hukum yang berkepanjangan.
- Legitimasi yang Lemah: Sebuah undang-undang yang tidak mendapatkan dukungan dan legitimasi dari rakyat akan sulit untuk diimplementasikan secara efektif. Penegakan hukum menjadi tantangan ketika masyarakat merasa tidak memiliki undang-undang tersebut.
- Ancaman terhadap Demokrasi Substantif: Demokrasi bukan hanya soal pemilihan umum, tetapi juga partisipasi aktif warga dalam setiap proses pengambilan keputusan. Ketika partisipasi ini terhambat, demokrasi kita berpotensi menjadi demokrasi prosedural belaka, tanpa substansi yang kuat.
Membangun Jembatan Kepercayaan: Langkah ke Depan
Membangun kembali jembatan kepercayaan antara DPR dan warga bukanlah tugas yang mudah, namun sangat krusial. Beberapa langkah strategis perlu diambil:
- Mewujudkan Partisipasi Publik yang Bermakna: DPR harus membuka ruang dialog yang lebih luas, sejak tahap perencanaan hingga pembahasan. Ini berarti tidak hanya mengundang perwakilan formal, tetapi juga menjangkau kelompok rentan, komunitas adat, hingga generasi muda melalui platform yang beragam. Masukan harus benar-benar dipertimbangkan dan tercermin dalam perubahan RUU, bukan sekadar dicatat.
- Transparansi Total: Semua dokumen terkait RUU, mulai dari naskah akademik, draf awal, daftar inventaris masalah (DIM), hingga risalah rapat dan hasil voting, harus dapat diakses publik secara mudah dan tepat waktu melalui portal online yang user-friendly. Teknologi digital harus dimanfaatkan untuk mendorong keterbukaan.
- Meningkatkan Kualitas Kajian dan Naskah Akademik: Setiap RUU harus didasari oleh kajian akademis yang kuat, independen, dan komprehensif, melibatkan para ahli dari berbagai disiplin ilmu. Naskah akademik harus menjadi panduan utama, bukan sekadar pelengkap.
- Prioritaskan Kepentingan Rakyat di Atas Segalanya: Anggota DPR harus kembali pada mandat utama mereka: mewakili dan memperjuangkan kepentingan rakyat. Ini berarti menempatkan kepentingan publik di atas kepentingan pribadi, golongan, atau partai.
- Memperkuat Fungsi Pengawasan: Masyarakat sipil, akademisi, dan media massa memiliki peran vital dalam mengawasi proses legislasi. DPR harus melihat ini sebagai mitra, bukan sebagai oposisi, untuk memastikan akuntabilitas.
Kontroversi RUU adalah panggilan keras bagi kita semua. Ini adalah cermin yang menunjukkan bahwa ada pekerjaan rumah besar dalam mewujudkan demokrasi yang partisipatif dan inklusif. DPR sebagai representasi rakyat memiliki tanggung jawab besar untuk mendengarkan, melibatkan, dan memastikan bahwa setiap undang-undang yang lahir adalah cerminan kehendak rakyat, bukan jarak yang memisahkan. Hanya dengan begitu, kita bisa membangun jembatan kepercayaan yang kokoh menuju Indonesia yang lebih adil dan sejahtera.







