PARLEMENTARIA.ID –
Ketika Rakyat Merasa Tidak Diwakili: Menggugat Fungsi DPR dalam Demokrasi Indonesia
Demokrasi ibarat sebuah jembatan yang menghubungkan aspirasi rakyat dengan kebijakan negara. Di tengah jembatan itu, berdiri kokoh sebuah institusi yang seharusnya menjadi pilar utama: Dewan Perwakilan Rakyat (DPR). Mereka adalah suara kita, wakil dari jutaan kepala yang berharap hidupnya lebih baik. Namun, apa jadinya jika jembatan itu terasa goyah, retak, bahkan terputus? Apa yang terjadi ketika rakyat, pemilik kedaulatan tertinggi, justru merasa suaranya tidak didengar, tidak diwakili, atau bahkan diabaikan oleh mereka yang seharusnya menjadi penyambung lidah?
Perasaan "tidak diwakili" bukanlah sekadar keluhan kosong. Ini adalah alarm serius bagi kesehatan demokrasi. Di Indonesia, fenomena ini kerap mengemuka, terlihat dari gelombang kritik di media sosial, unjuk rasa yang tak henti, hingga survei yang menunjukkan rendahnya tingkat kepercayaan publik terhadap lembaga legislatif. Artikel ini akan mengupas tuntas mengapa perasaan ini muncul, apa implikasinya bagi demokrasi kita, dan bagaimana kita bisa mendorong DPR agar kembali menjadi representasi sejati rakyat Indonesia.
Jembatan yang Retak: Gejala Kesenjangan Aspirasi
Tanda-tanda bahwa rakyat merasa tidak diwakili seringkali terlihat jelas:
- Apatisme dan Sinisme Publik: Ketika kebijakan penting disahkan tanpa partisipasi berarti atau dianggap tidak pro-rakyat, muncul rasa muak dan ketidakpedulian. "Percuma menyuarakan, toh tidak didengar," menjadi mantra yang berbahaya.
- Ledakan Protes dan Penolakan: RUU kontroversial, anggaran yang dirasa tidak adil, atau kinerja yang mengecewakan kerap memicu demonstrasi besar. Ini adalah bentuk ekspresi kolektif bahwa ada sesuatu yang salah dalam proses representasi.
- Kritik Pedas di Ruang Digital: Media sosial menjadi medan perang opini. Tagar-tagar kritis, meme satir, hingga analisis mendalam dari warganet menunjukkan kekecewaan yang mendalam dan kebutuhan untuk didengar.
- Menurunnya Kepercayaan Publik: Berbagai lembaga survei secara konsisten menunjukkan bahwa DPR seringkali berada di papan bawah dalam hal kepercayaan publik dibandingkan lembaga negara lainnya. Ini adalah cerminan langsung dari kegagalan representasi.
Gejala-gejala ini bukan hanya sekadar "ribut-ribut biasa", melainkan indikator bahwa ada disfungsi serius dalam mekanisme perwakilan.
Mengapa Jembatan Itu Retak? Kritik Terhadap Fungsi DPR
Untuk memahami mengapa rakyat merasa tidak diwakili, kita perlu mengkritisi beberapa fungsi utama DPR yang kerap tidak berjalan optimal:
1. Representasi Semu dan Kepentingan Elit
DPR seharusnya mewakili rakyat dari berbagai latar belakang, suku, agama, dan golongan. Namun, seringkali yang terjadi adalah:
- Loyalitas Partai di Atas Kepentingan Konstituen: Anggota DPR seringkali lebih memprioritaskan kepentingan dan arahan partai politik dibandingkan aspirasi daerah pemilihannya. Ini menciptakan dilema etika dan mengurangi daya tawar rakyat.
- Dominasi Oligarki dan Kepentingan Bisnis: Proses politik yang mahal dan kurang transparan memungkinkan masuknya kepentingan kelompok-kelompok bisnis atau oligarki ke dalam proses legislasi. Hasilnya, undang-undang yang lahir justru lebih melayani segelintir elit ketimbang mayoritas rakyat.
- Jarak Sosial dan Ekonomi: Gaya hidup anggota DPR yang terkesan mewah, fasilitas yang berlebihan, dan gaji yang fantastis seringkali menciptakan jarak sosial dan ekonomi yang lebar dengan konstituennya. Bagaimana bisa memahami penderitaan rakyat jika hidup dalam "menara gading"?
2. Transparansi dan Akuntabilitas yang Buram
Sebagai lembaga publik, DPR wajib transparan dalam setiap prosesnya dan akuntabel atas kinerjanya. Namun, kerap kali hal ini masih menjadi PR besar:
- Proses Legislasi yang Tertutup: Banyak pembahasan RUU penting dilakukan secara tertutup, bahkan terkesan terburu-buru, tanpa ruang partisipasi publik yang memadai. Publik baru tahu setelah RUU disahkan, seringkali dengan pasal-pasal kontroversial.
- Minimnya Mekanisme Pengawasan Efektif: Meskipun ada badan etik, mekanisme sanksi, atau alat kelengkapan dewan, pengawasan terhadap perilaku dan kinerja anggota DPR masih terasa lemah. Kasus-kasus pelanggaran etik atau korupsi yang tidak tuntas semakin mengikis kepercayaan.
- Sulitnya Mengakses Informasi Publik: Data kinerja, daftar hadir, hasil voting, atau rekaman rapat yang seharusnya mudah diakses publik seringkali tersembunyi atau tidak disajikan secara ramah pengguna.
3. Partisipasi Publik yang Minim dan Formalitas Belaka
Salah satu esensi demokrasi adalah partisipasi. DPR seharusnya menjadi wadah utama partisipasi rakyat dalam pembentukan kebijakan.
- Audiensi dan Rapat Dengar Pendapat (RDP) Sekadar Formalitas: Seringkali, audiensi publik hanya dijadikan "cap jempol" untuk memenuhi prosedur, bukan sebagai forum serius untuk mendengarkan dan mengintegrasikan masukan.
- Ketiadaan Mekanisme Partisipasi Digital yang Efektif: Di era digital, potensi partisipasi publik melalui platform online sangat besar. Namun, DPR belum memiliki sistem yang matang dan responsif untuk menampung dan memproses aspirasi digital rakyat secara sistematis.
- Literasi Politik yang Rendah: Rendahnya pemahaman masyarakat tentang fungsi dan mekanisme kerja DPR juga menjadi tantangan. Tanpa pengetahuan yang cukup, partisipasi menjadi sulit diwujudkan.
4. Kualitas Legislasi dan Debat yang Merosot
Tugas utama DPR adalah membuat undang-undang yang berkualitas, responsif terhadap kebutuhan zaman, dan berpihak pada rakyat.
- Pembahasan RUU Terburu-buru: Beberapa RUU penting disahkan dalam waktu singkat, menimbulkan kecurigaan adanya kepentingan tersembunyi dan kurangnya kajian mendalam.
- Kualitas Debat yang Kurang Substansial: Seringkali, debat di parlemen lebih diwarnai oleh retorika politik, serangan personal, atau drama, daripada pembahasan mendalam berbasis data dan analisis.
- Absennya Naskah Akademik yang Kuat: Landasan ilmiah dan sosiologis dari sebuah undang-undang (naskah akademik) seringkali terasa lemah atau bahkan diabaikan dalam proses pembentukan undang-undang.
Implikasi dari Jembatan yang Terputus
Ketika rakyat merasa tidak diwakili, dampaknya tidak main-main:
- Erosi Legitimasi Demokrasi: Kepercayaan terhadap institusi demokrasi menurun, mengancam fondasi negara hukum.
- Kebijakan Publik yang Tidak Optimal: Undang-undang yang tidak mencerminkan kebutuhan rakyat akan menciptakan masalah baru, bukan solusi.
- Peningkatan Ketegangan Sosial: Frustrasi yang menumpuk bisa berujung pada konflik dan instabilitas sosial.
- Meningkatnya Golput dan Apatisme Politik: Rakyat menjadi enggan berpartisipasi dalam pemilu karena merasa suaranya tidak akan mengubah apa-apa.
Membangun Kembali Jembatan: Menuju DPR yang Lebih Representatif
Meskipun tantangannya besar, harapan untuk memiliki DPR yang lebih representatif selalu ada. Beberapa langkah strategis bisa diambil:
-
Mendorong Transparansi Radikal:
- Membuka seluas-luasnya akses informasi mengenai agenda, notulensi rapat, rekaman pembahasan RUU, hasil voting, dan laporan keuangan DPR secara real-time dan mudah dipahami.
- Mewajibkan anggota DPR untuk melaporkan aspirasi yang mereka serap dan bagaimana mereka menindaklanjutinya.
-
Memperkuat Mekanisme Akuntabilitas:
- Memperketat kode etik dan memperkuat fungsi Badan Kehormatan DPR agar lebih independen dan berani menindak pelanggaran.
- Menerapkan sistem recall atau mekanisme penarikan kembali anggota DPR oleh partai atau konstituen jika terbukti melanggar sumpah jabatan atau tidak menjalankan fungsinya.
-
Membuka Ruang Partisipasi yang Substantif:
- Mengembangkan platform partisipasi digital yang interaktif dan responsif, di mana rakyat bisa memberikan masukan RUU, mengajukan petisi, dan memantau respons wakilnya.
- Melakukan konsultasi publik yang lebih luas dan inklusif, tidak hanya di kota-kota besar tetapi juga menjangkau daerah terpencil, dan memastikan masukan tersebut benar-benar dipertimbangkan.
-
Meningkatkan Kapasitas dan Integritas Anggota DPR:
- Mendorong partai politik untuk menyeleksi calon legislatif berdasarkan kapasitas, rekam jejak, dan integritas, bukan hanya popularitas atau kekuatan finansial.
- Memberikan pelatihan berkelanjutan bagi anggota DPR terkait isu-isu kebijakan, teknik legislasi, dan etika bernegara.
-
Peran Aktif Masyarakat Sipil dan Media:
- Organisasi masyarakat sipil harus terus aktif melakukan advokasi, pengawasan, dan pendidikan politik bagi rakyat.
- Media massa harus menjadi pilar keempat demokrasi yang kritis, objektif, dan berani membongkar setiap praktik yang merugikan kepentingan rakyat.
Penutup: Suara Rakyat adalah Kedaulatan
Perasaan tidak diwakili adalah cerminan dari tantangan besar dalam upaya mewujudkan demokrasi yang matang dan partisipatif. DPR, sebagai representasi kedaulatan rakyat, memegang peran sentral dalam membangun kembali kepercayaan ini. Ini bukan hanya tanggung jawab anggota dewan semata, melainkan juga tugas kita bersama sebagai warga negara. Dengan terus menyuarakan kritik, menuntut transparansi, dan berpartisipasi aktif, kita dapat mendorong DPR untuk kembali menjadi jembatan yang kokoh, menyalurkan aspirasi rakyat, dan memastikan bahwa setiap kebijakan yang lahir adalah cerminan dari kehendak seluruh bangsa, bukan hanya segelintir elit. Karena pada akhirnya, suara rakyat adalah kedaulatan tertinggi yang tidak boleh dibungkam atau diabaikan.












