PARLEMENTARIA.ID –
Ketika Rakyat Merasa Tidak Diwakili: Kritik Mendalam Terhadap Fungsi dan Peran DPR
Di tengah hiruk-pikuk kehidupan berbangsa dan bernegara, ada sebuah perasaan yang kerap kali menggelayuti sebagian besar masyarakat: perasaan tidak diwakili. Di negara demokrasi seperti Indonesia, Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) adalah institusi yang seharusnya menjadi jembatan utama antara aspirasi rakyat dan kebijakan pemerintah. Namun, mengapa perasaan ini begitu kuat dan seolah tak lekang oleh waktu? Mengapa kursi-kursi di Senayan seringkali terasa begitu jauh dari denyut nadi kehidupan masyarakat?
Artikel ini akan mengupas tuntas mengapa kritik terhadap fungsi DPR seringkali muncul ke permukaan, menganalisis akar masalahnya, dan mencoba memahami implikasinya bagi kesehatan demokrasi kita.
Fungsi Ideal DPR: Harapan dan Cita-cita Konstitusi
Sebelum melangkah lebih jauh ke dalam kritik, penting untuk memahami terlebih dahulu apa sebenarnya fungsi ideal DPR menurut konstitusi dan semangat demokrasi. DPR memiliki tiga fungsi utama yang menjadi tulang punggung perannya:
- Fungsi Legislasi: Membentuk undang-undang bersama pemerintah. Ini adalah dapur utama perumusan aturan main yang akan mengatur seluruh aspek kehidupan warga negara.
- Fungsi Anggaran: Menyusun dan menetapkan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN). Ini adalah kompas keuangan negara, menentukan ke mana saja uang rakyat akan dialokasikan.
- Fungsi Pengawasan: Mengawasi pelaksanaan undang-undang dan kebijakan pemerintah. Ini adalah mata dan telinga rakyat untuk memastikan roda pemerintahan berjalan sesuai rel dan tidak menyimpang.
Secara ideal, ketiga fungsi ini dijalankan dengan penuh integritas, transparansi, akuntabilitas, dan yang terpenting, berpihak pada kepentingan rakyat banyak. Anggota DPR seharusnya menjadi perwakilan sejati, menyuarakan aspirasi, memperjuangkan hak-hak, dan menjadi pelindung bagi konstituen mereka.
Realitas yang Pahit: Mengapa Rakyat Merasa Tidak Diwakili?
Namun, harapan seringkali berbenturan dengan kenyataan. Ada beberapa alasan fundamental mengapa sentimen "tidak diwakili" ini begitu mengakar di benak masyarakat:
1. Proses Legislasi yang Tertutup dan Minim Partisipasi Publik
Salah satu kritik paling sering adalah terkait proses pembentukan undang-undang. Alih-alih melibatkan partisipasi aktif masyarakat, banyak RUU yang justru terkesan "siluman" atau digodok secara tertutup, bahkan terburu-buru. Contoh kasus undang-undang yang kontroversial seringkali memicu protes karena dianggap kurang mengakomodasi suara publik, terutama dari kelompok rentan.
- Minimnya sosialisasi: Draf RUU yang penting seringkali tidak disosialisasikan secara memadai kepada masyarakat luas.
- Akses terbatas: Informasi dan dokumen terkait RUU sulit diakses oleh publik, membuat masyarakat sulit memberikan masukan substantif.
- Partisipasi formalitas: Mekanisme dengar pendapat seringkali dianggap hanya formalitas, tanpa dampak signifikan terhadap substansi RUU.
Akibatnya, undang-undang yang lahir terasa seperti produk "elit" yang tidak mencerminkan kebutuhan atau kekhawatiran rakyat, bahkan tak jarang merugikan sebagian besar warga negara.
2. Tumpulnya Fungsi Pengawasan: "Masuk Angin" dan Korupsi
Fungsi pengawasan DPR adalah garda terakhir untuk memastikan pemerintah tidak menyalahgunakan kekuasaan. Namun, seringkali taring pengawasan ini terasa tumpul.
- Pengawasan "Masuk Angin": Isu-isu besar yang merugikan negara atau rakyat seringkali tidak ditindaklanjuti secara serius, atau bahkan menghilang begitu saja tanpa kejelasan. Ada kecurigaan kuat bahwa kepentingan politik atau bisnis telah "membungkam" suara pengawasan.
- Korupsi dan Etika: Kasus korupsi yang melibatkan anggota DPR terus menerus terjadi, mengikis kepercayaan publik. Gaya hidup mewah sebagian anggota DPR, yang kontras dengan kondisi mayoritas rakyat, semakin memperparah citra buruk ini. Bagaimana bisa seseorang mewakili rakyat jika ia hidup dalam gelembung kemewahan dan jauh dari realitas hidup konstituennya?
Ketika DPR gagal mengawasi pemerintah secara efektif, atau bahkan terlibat dalam praktik-praktik ilegal, masyarakat merasa ditinggalkan dan tidak ada lagi yang bisa diandalkan untuk membela kepentingan mereka.
3. Alokasi Anggaran yang Tidak Pro Rakyat
Fungsi anggaran adalah cerminan prioritas politik. Ketika DPR menyetujui APBN, mereka seharusnya memastikan bahwa alokasi dana berpihak pada kesejahteraan rakyat, pendidikan, kesehatan, dan infrastruktur yang benar-benar dibutuhkan.
- Proyek "Mercusuar" dan Kepentingan Elit: Seringkali muncul kritik bahwa anggaran lebih banyak dialokasikan untuk proyek-proyek besar yang kurang relevan bagi rakyat kecil, atau bahkan untuk kepentingan segelintir elit politik.
- Anggaran "Titipan": Ada pula kecurigaan tentang adanya "anggaran titipan" atau praktik jual beli anggaran yang menguntungkan kelompok tertentu, bukan masyarakat luas.
- Gaji dan Fasilitas DPR: Perdebatan tentang gaji dan fasilitas mewah anggota DPR selalu menjadi sorotan, terutama ketika dikontraskan dengan kondisi ekonomi rakyat yang mayoritas masih berjuang.
4. Jauhnya Jarak antara Wakil dan yang Diwakili
Ini adalah inti dari perasaan tidak diwakili.
- Loyalitas Partai di Atas Rakyat: Banyak anggota DPR yang terlihat lebih setia pada garis partai atau kepentingan pribadi daripada pada aspirasi konstituen yang memilih mereka. Suara partai seringkali lebih didahulukan daripada suara rakyat.
- Gaya Hidup "Menara Gading": Sebagian anggota DPR hidup dalam "menara gading" yang terpisah dari realitas hidup masyarakat. Mereka jarang turun ke lapangan untuk benar-benar mendengarkan dan merasakan kesulitan rakyat, kecuali saat menjelang pemilu.
- Komunikasi yang Buruk: Komunikasi antara DPR dan masyarakat seringkali satu arah atau hanya bersifat seremonial. Bahasa politik yang rumit dan kurangnya platform yang efektif untuk menyalurkan aspirasi membuat rakyat merasa suara mereka tidak akan didengar.
5. Kurangnya Akuntabilitas dan Sanksi yang Tegas
Ketika anggota DPR melakukan kesalahan, entah itu melanggar etika, terlibat korupsi, atau tidak menjalankan tugasnya, seringkali tidak ada sanksi yang tegas dan transparan. Mekanisme pengawasan internal DPR, seperti Mahkamah Kehormatan Dewan (MKD), seringkali dianggap kurang efektif atau hanya menjadi "macan ompong" bagi pelanggaran yang dilakukan oleh sesama anggota.
Konsekuensi Krisis Kepercayaan
Perasaan tidak diwakili ini bukanlah sekadar keluhan kosong. Ia memiliki konsekuensi serius bagi demokrasi:
- Apatisme Politik: Masyarakat menjadi apatis, tidak percaya pada sistem politik, dan enggan berpartisipasi dalam pemilu karena merasa suara mereka tidak akan mengubah apa-apa.
- Erosi Kepercayaan Publik: Kepercayaan terhadap institusi demokrasi, khususnya DPR, menurun drastis. Ini berbahaya karena legitimasi sebuah pemerintahan sangat bergantung pada kepercayaan rakyat.
- Potensi Ketidakstabilan Sosial: Jika aspirasi rakyat terus menerus diabaikan, ketidakpuasan dapat menumpuk dan berpotensi memicu gejolak atau ketidakstabilan sosial.
- Hambatan Pembangunan: Kebijakan yang tidak pro-rakyat dan alokasi anggaran yang tidak tepat dapat menghambat pembangunan berkelanjutan dan peningkatan kualitas hidup masyarakat.
Jalan ke Depan: Menuntut Perubahan dan Partisipasi Aktif
Mengembalikan kepercayaan rakyat bukanlah tugas mudah, tetapi bukan pula hal yang mustahil. Beberapa langkah yang perlu dipertimbangkan:
- Reformasi Internal DPR: DPR harus berani berbenah diri, meningkatkan transparansi, akuntabilitas, dan efektivitas mekanisme pengawasan internal. Sanksi bagi pelanggar etika dan hukum harus ditegakkan tanpa pandang bulu.
- Membuka Ruang Partisipasi Publik yang Bermakna: Proses legislasi harus lebih terbuka, melibatkan masyarakat secara aktif sejak awal, dan memastikan masukan publik benar-benar dipertimbangkan.
- Meningkatkan Kualitas Anggota DPR: Sistem rekrutmen politik harus lebih selektif, mengedepankan integritas, kapasitas, dan komitmen untuk melayani rakyat, bukan hanya popularitas atau kekuatan finansial.
- Peran Aktif Masyarakat Sipil: Masyarakat sipil harus terus mengawal, mengkritik, dan memberikan masukan kepada DPR. Suara kritis yang konstruktif adalah vitamin bagi demokrasi.
- Pendidikan Politik: Meningkatkan literasi politik masyarakat agar lebih cerdas dalam memilih wakilnya dan lebih kritis dalam mengawasi kinerjanya.
Fenomena ketika rakyat merasa tidak diwakili adalah alarm keras bagi kesehatan demokrasi kita. DPR sebagai pilar utama demokrasi harus merefleksikan diri secara mendalam. Hanya dengan mengembalikan fungsi dan perannya sesuai amanat konstitusi dan aspirasi rakyat, serta menumbuhkan kembali integritas dan akuntabilitas, institusi ini dapat kembali menjadi kebanggaan dan harapan, bukan sumber kekecewaan bagi rakyat Indonesia. Ini adalah tanggung jawab kita bersama, baik wakil rakyat maupun rakyat itu sendiri, untuk membangun demokrasi yang lebih sehat, responsif, dan benar-benar representatif.









