PARLEMENTARIA.ID –
Ketika Harapan Tergerus Realita: Kasus-Kasus yang Memicu Kekecewaan Publik terhadap DPR
Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) adalah pilar demokrasi yang vital di Indonesia. Sebagai representasi suara rakyat, tugasnya membentang luas: mulai dari membentuk undang-undang, mengawasi kinerja pemerintah, hingga menyusun anggaran negara. Di pundak para wakil rakyat ini, terletak harapan besar untuk mewujudkan kesejahteraan, keadilan, dan kemajuan bangsa. Namun, dalam perjalanannya, DPR tak jarang menjadi sorotan tajam dan sasaran kritik publik. Berbagai kasus dan kebijakan kontroversial secara berulang memicu gelombang kekecewaan, bahkan sinisme, di kalangan masyarakat.
Mengapa institusi sepenting DPR kerap dihujani kritik? Artikel ini akan mengupas tuntas kasus-kasus signifikan yang telah mengikis kepercayaan publik, menyoroti akar masalah, dan dampaknya terhadap wajah demokrasi kita.
1. Proses Legislasi yang Terburu-buru dan Minim Partisipasi Publik
Salah satu fungsi utama DPR adalah legislasi, yaitu pembentukan undang-undang. Namun, beberapa tahun terakhir, proses ini justru menjadi salah satu sumber kekecewaan terbesar. Masyarakat kerap merasa bahwa undang-undang dibahas dan disahkan dengan terburu-buru, tanpa melibatkan partisipasi publik yang memadai.
Studi Kasus: Undang-Undang Cipta Kerja (Omnibus Law)
Puncak dari kritik ini adalah pengesahan Undang-Undang Cipta Kerja pada tahun 2020. Proses pembahasannya yang kilat, minimnya transparansi, dan dugaan kuat pengabaian aspirasi serikat pekerja dan elemen masyarakat sipil, memicu gelombang demonstrasi besar-besaran di seluruh Indonesia. Masyarakat merasa bahwa UU ini lebih condong memihak kepentingan investasi dan korporasi, alih-alih melindungi hak-hak pekerja dan lingkungan. Walaupun telah melalui berbagai revisi dan putusan Mahkamah Konstitusi, bayang-bayang proses legislasi yang cacat formil tetap melekat, menyisakan luka dalam kepercayaan publik terhadap DPR.
Studi Kasus: Revisi Undang-Undang KPK
Sebelumnya, revisi Undang-Undang Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) pada tahun 2019 juga tak luput dari kritik keras. Publik menilai revisi ini justru melemahkan taring KPK sebagai lembaga anti-korupsi, terutama dengan perubahan status pegawai menjadi ASN dan pembentukan Dewan Pengawas yang dinilai dapat mengintervensi independensi KPK. Proses yang terkesan tertutup dan desakan kuat dari DPR untuk segera mengesahkan revisi ini semakin memperkuat anggapan bahwa DPR kurang peka terhadap semangat pemberantasan korupsi yang digaungkan rakyat.
2. Anggaran dan Fasilitas yang Dianggap Boros
Di tengah kondisi ekonomi yang fluktuatif dan kebutuhan rakyat yang mendesak, DPR seringkali disorot karena alokasi anggaran dan fasilitas yang dianggap berlebihan atau boros. Citra kemewahan ini kontras dengan realitas hidup mayoritas masyarakat Indonesia.
Studi Kasus: Pembangunan Gedung dan Fasilitas Mewah
Wacana atau rencana pembangunan gedung baru, renovasi ruang kerja, atau pengadaan fasilitas mewah lainnya, seringkali memicu kegaduhan. Publik mempertanyakan urgensi proyek-proyek tersebut ketika banyak daerah masih kekurangan infrastruktur dasar, fasilitas kesehatan, atau pendidikan yang layak. Anggapan bahwa DPR lebih mementingkan kenyamanan internal daripada kebutuhan rakyat yang diwakilinya menjadi semakin kuat.
Studi Kasus: Gaji, Tunjangan, dan Kunjungan Kerja
Besaran gaji, tunjangan, dan biaya perjalanan dinas atau kunjungan kerja anggota DPR juga kerap menjadi bahan perbincangan. Meskipun ada justifikasi bahwa hal tersebut untuk mendukung kinerja, namun publik seringkali membandingkannya dengan hasil kerja yang dirasakan. Kunjungan kerja ke luar negeri yang efektivitasnya dipertanyakan, atau laporan pertanggungjawaban yang kurang transparan, semakin memperparuk citra boros tersebut.
3. Lemahnya Fungsi Pengawasan terhadap Pemerintah
Selain legislasi, fungsi pengawasan terhadap eksekutif adalah peran krusial DPR untuk memastikan pemerintah bekerja sesuai rel dan bertanggung jawab. Namun, dalam praktiknya, fungsi ini seringkali dinilai tumpul atau kurang efektif.
Studi Kasus: Pengawasan BUMN dan Proyek Strategis
Banyak pihak mengamati bahwa DPR kurang "greget" dalam mengawasi kinerja BUMN, proyek-proyek strategis nasional, atau penyelewengan anggaran di kementerian/lembaga. Isu-isu besar seperti kerugian BUMN, utang negara yang membengkak, atau dugaan korupsi di proyek-proyek besar seringkali tidak mendapatkan pengawasan yang mendalam dan tuntas dari DPR, kecuali jika sudah menjadi sorotan media atau publik secara luas. Kondisi ini menimbulkan pertanyaan tentang independensi dan keberanian DPR dalam menjalankan fungsi checks and balances.
4. Isu Integritas dan Etika Anggota DPR
Kasus-kasus yang melibatkan integritas dan etika anggota DPR adalah pukulan telak bagi kepercayaan publik. Skandal korupsi, dugaan kolusi, hingga masalah etika personal, sangat mencoreng marwah institusi.
Studi Kasus: Anggota DPR yang Terjerat Korupsi
Setiap kali ada anggota DPR yang terjerat kasus korupsi, kekecewaan publik mencapai puncaknya. Ironisnya, mereka yang seharusnya menjadi garda terdepan dalam pemberantasan korupsi, justru terlibat dalam praktik tercela. Kasus-kasus ini, tak peduli siapa pelakunya, secara kolektif merusak citra seluruh institusi dan memperkuat persepsi bahwa DPR adalah sarang kepentingan pribadi atau kelompok.
Studi Kasus: Tingkat Kehadiran dan Kedisiplinan
Selain korupsi, masalah yang tampak sepele namun krusial adalah tingkat kehadiran dan kedisiplinan anggota DPR dalam rapat-rapat penting. Foto-foto kursi kosong saat sidang paripurna atau rapat dengar pendapat, menjadi simbol kuat absennya tanggung jawab. Publik merasa bahwa gaji dan fasilitas besar yang diterima tidak sebanding dengan dedikasi dan komitmen dalam menjalankan tugas.
5. Jarak antara Wakil Rakyat dan Aspirasi Rakyat
Pada akhirnya, semua kritik ini mengerucut pada satu titik: perasaan bahwa ada jarak yang menganga antara "wakil rakyat" dan "rakyat" yang diwakilinya. DPR seringkali dinilai kurang responsif terhadap isu-isu yang benar-benar dirasakan dan dibutuhkan oleh masyarakat luas.
Studi Kasus: Minimnya Penyerapan Aspirasi di Lapangan
Meskipun ada agenda reses untuk menyerap aspirasi, namun publik seringkali merasa bahwa proses ini bersifat formalitas. Banyak masyarakat yang merasa sulit untuk menyuarakan keluh kesah atau usulan mereka secara efektif kepada wakilnya. Komunikasi yang terkesan satu arah, dari atas ke bawah, alih-alih dialog dua arah yang konstruktif, memperparah perasaan terasing ini.
Dampak Jangka Panjang: Erosi Kepercayaan dan Apatisme Politik
Berbagai kasus dan kritik di atas memiliki dampak jangka panjang yang serius: erosi kepercayaan publik terhadap institusi demokrasi. Ketika rakyat mulai apatis, sinis, atau bahkan tidak lagi percaya pada kemampuan DPR untuk mewakili dan memperjuangkan hak-hak mereka, fondasi demokrasi menjadi goyah. Partisipasi politik bisa menurun, dan ruang bagi kebijakan-kebijakan yang tidak pro-rakyat bisa semakin terbuka lebar.
Harapan dan Jalan ke Depan
Meskipun dihadapkan pada segudang kritik, DPR sebagai institusi tetaplah krusial. Harapan untuk perbaikan selalu ada. Peningkatan transparansi dalam setiap proses legislasi dan pengawasan, penguatan kode etik dan penegakan hukum bagi anggota yang melanggar, serta membuka ruang partisipasi publik yang lebih luas dan bermakna, adalah langkah-langkah konkret yang bisa ditempuh.
Pada akhirnya, DPR bukan hanya sekumpulan individu, melainkan representasi kolektif dari kedaulatan rakyat. Membangun kembali kepercayaan publik adalah investasi jangka panjang untuk kesehatan demokrasi Indonesia. Ini membutuhkan komitmen kuat dari para anggota DPR sendiri untuk kembali ke esensi tugas mereka: melayani, mewakili, dan memperjuangkan kepentingan rakyat di atas segalanya. Hanya dengan begitu, DPR bisa kembali menjadi pilar harapan, bukan sekadar sumber kekecewaan.










