PARLEMENTARIA.ID – Kasus dugaan korupsi yang melibatkan Surat Perintah Perjalanan Dinas (SPPD) fiktif di Sekretariat Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) Provinsi Riau kini menjadi perhatian utama masyarakat. Audit resmi yang dilakukan oleh Badan Pengawasan Keuangan dan Pembangunan (BPKP) mengungkap kerugian negara mencapai Rp195,9 miliar. Temuan ini menunjukkan bahwa praktik korupsi tidak hanya terjadi secara kecil-kecilan, tetapi memiliki pola yang terstruktur dan berlangsung dalam jangka waktu lama.
Temuan Signifikan dari Audit BPKP
Audit yang dilakukan pada periode 2020–2021 menemukan lebih dari 11.000 dokumen SPPD yang diduga tidak sesuai dengan fakta. Banyak dari dokumen tersebut tidak didukung oleh bukti nyata seperti tiket yang tidak digunakan atau perjalanan yang tidak dilakukan. Meskipun demikian, anggaran untuk perjalanan dinas tersebut tetap cair penuh. Hal ini memperkuat dugaan adanya manipulasi anggaran yang disengaja dan terencana.
Penyitaan Aset dan Dugaan Pencucian Uang
Penyidik telah menyita sejumlah aset bernilai tinggi yang diduga berasal dari hasil korupsi. Aset-aset ini termasuk sebuah homestay dan lahan di Sumatera Barat, motor gede Harley Davidson, serta uang tunai lebih dari Rp19 miliar. Temuan ini memperkuat dugaan adanya tindak pidana pencucian uang (TPPU), di mana aliran dana dari SPPD fiktif dialihkan menjadi investasi pribadi.
Hingga saat ini, hampir Rp20 miliar telah dikembalikan oleh pegawai Setwan, honorer, dan tenaga ahli DPRD Riau. Namun, pengembalian dana tersebut tidak menghentikan proses hukum. Penyidik tetap melakukan pemeriksaan terhadap pelaku, karena kemungkinan mereka telah menikmati atau mengalokasikan anggaran fiktif tersebut.
Proses Hukum yang Masih Berjalan
Polda Riau telah memeriksa hampir 400 saksi, termasuk pejabat struktural, pihak swasta, agen perjalanan, mantan Sekretaris Dewan, kabag, bendahara, dan staf DPRD. Audit telah diterima dan dinyatakan final, serta proses Koordinasi dan Pengawasan (Kortas) Tipikor Mabes Polri telah berjalan. Saat ini, publik hanya menunggu satu hal: penetapan tersangka.
Kepastian Hukum yang Diinginkan Masyarakat
Masyarakat Riau menuntut kepastian hukum yang adil, transparan, dan tanpa tebang pilih. Mereka ingin aparat penegak hukum tidak hanya memeriksa, tetapi juga berani menyentuh aktor utama di balik skandal ini. Penelusuran dan penyitaan aset menunjukkan indikasi bahwa skandal ini tidak mungkin hanya dilakukan oleh “pegawai kecil”. Mekanisme pencairan SPPD melibatkan struktur berlapis, mulai dari pejabat teknis hingga pimpinan Setwan.
Nama-nama pejabat penting bahkan telah beberapa kali dimintai keterangan, termasuk mantan Sekretaris Dewan, kabag, bendahara, staf, dan pimpinan dewan. Sejumlah aset bernilai miliaran juga dikaitkan dengan pejabat yang pernah menduduki posisi strategis di lembaga tersebut. Publik bertanya: Apakah proses hukum akan menyentuh level atas?
Risiko yang Mengancam Kepercayaan Rakyat
DPRD Riau adalah rumah rakyat. Namun skandal SPPD fiktif telah menempatkan lembaga legislatif ini dalam sorotan buruk. Jika kasus sebesar ini tidak ditangani tuntas, bukan hanya aparat penegak hukum yang kehilangan kredibilitas, tetapi juga DPRD sebagai lembaga politik yang mengelola anggaran daerah. Rakyat Riau ingin:
- Kepastian hukum yang adil dan transparan
- Tanpa tebang pilih
- Tanpa perlindungan terhadap elit
- Tanpa upaya menggerus kasus hingga tidak menyentuh otak pelaku
Harapan terhadap Penegak Hukum
Kasus ini adalah ujian besar bagi integritas penegakan hukum di Riau. Dengan kerugian hampir Rp200 miliar, penyitaan aset miliaran, dan ratusan saksi, publik berhak menuntut penyelesaian yang jelas. Aparat penegak hukum ditantang untuk tidak hanya menetapkan tersangka dari unsur “pengikut”, tetapi juga mereka yang memerintahkan, merancang, dan menikmati hasil korupsi.
Kepastian hukum dalam kasus SPPD fiktif Setwan DPRD Riau bukan sekadar soal vonis. Ini soal memulihkan kepercayaan rakyat, menjaga marwah daerah, dan membuktikan bahwa hukum masih hidup di Bumi Lancang Kuning, Provinsi Riau. ***












