Jumlah Pengidap Adhd Usia Dewasa Melonjak Drastis — Atau Kita Baru Sadar?

DAERAH67 Dilihat

PARLEMENTARIA.ID – Semakin banyak orang didiagnosis ADHD saat sudah dewasa. Bagi banyak dari mereka, diagnosis ini menjadi penjelasan sekaligus kelegaan. Mengapa jumlahnya meningkat dan orang dewasa begitu lama luput dari perhatian?

Semasa duduk di bangku sekolah, Mara (nama disamarkan oleh redaksi) tidak mengalami masalah berarti. Ia mampu mengikuti pelajaran dengan baik, ujian pun jarang menjadi beban.

Kesulitan baru muncul ketika ia memasuki bangku kuliah. “Saat teman-teman saya bisa belajar berjam-jam dengan sangat fokus di perpustakaan, saya justru cepat tergoda untuk main ponsel dan mudah terdistraksi,” ujarnya.

Untuk sementara hal itu masih bisa ditoleransi. Namun ketika satu per satu teman-temannya lulus sementara Mara terus bergulat dengan masalah struktur dan fokus, ia mulai menyadari: “Oke, ada yang tidak beres.”

Diagnosis ADHD datang melalui jalan berliku. Setelah mengalami episode depresi dan menjalani berbagai pengobatan yang tak membuahkan hasil, psikiater Mara menyarankannya untuk memeriksa kemungkinan gangguan pemusatan perhatian dan hiperaktivitas (ADHD). Ternyata tepat. “Rasanya seperti ada yang membuka mata saya,” kisah Mara. Saat itu usianya baru pertengahan 20-an.

Mara pun memahami bahwa banyak hal yang selama ini ia anggap sebagai kegagalan pribadi sebenarnya bukan kesalahannya. “Saya sadar: masalahnya bukan karena saya kurang berusaha, melainkan karena cara kerja otak saya berbeda. Dan saya harus berjuang melawan hambatan yang tidak dialami orang lain.”

Mara bukan satu-satunya. Semakin banyak orang baru mendapatkan diagnosis ADHD di usia dewasa.

(Ed: National Institute of Mental Health (NIMH) menyebutkan ADHD (Attention-Deficit/Hyperactivity Disorder) adalah gangguan perkembangan neurobehavioral yang ditandai oleh pola gejala yang terus-menerus berupa kurang fokus (inattention), hiperaktivitas (hyperactivity), dan/atau impulsivitas (impulsivity) yang jauh melampaui apa yang tipikal untuk usia dan tahap perkembangan seseorang.)

ADHD pada orang dewasa: Benarkah angkanya meningkat?

Studi epidemiologis di berbagai negara memperkirakan sekitar dua hingga tiga persen orang dewasa hidup dengan ADHD. Namun, berdasarkan data asuransi kesehatan di Jerman, angka diagnosis selama ini jauh lebih rendah—hanya sekitar 0,2 hingga 0,4 persen.

Data klaim terbaru yang dipublikasikan dalam Ärzteblatt International kembali memanaskan diskusi tentang ADHD. Antara 2015 hingga 2024, jumlah diagnosis baru ADHD pada orang dewasa yang terdaftar dalam asuransi publik meningkat dari 8,6 menjadi 25,7 per 10.000 orang—hampir tiga kali lipat. Ini menunjukkan lonjakan signifikan dalam insidensi, yakni jumlah kasus baru dalam periode tertentu.

Tren ini bukan hanya terjadi di Jerman. Secara internasional, angka diagnosis ADHD pada orang dewasa juga meningkat tajam. Di Amerika Serikat, jumlah orang dewasa dengan diagnosis ADHD lebih dari dua kali lipat dalam dua dekade terakhir.

Sekilas, angka ini tampak mencengangkan. Namun bagaimana seharusnya dimaknai? “Secara sederhana, bisa dikatakan bahwa ADHD pada orang dewasa jauh lebih sering didiagnosis dalam sepuluh tahun terakhir,” ujar Dr. Swantje Matthies, psikiater dan terapis perilaku di Klinik Psikiatri dan Psikoterapi Rumah Sakit Universitas Freiburg. “Kemungkinan besar karena sebelumnya banyak orang dewasa dengan ADHD yang belum dicek secara medis.”

ADHD bukan cuma menimpa anak-anak

Selama bertahun-tahun, ADHD dianggap terutama sebagai gangguan pada anak dan remaja—dengan gambaran klasik anak yang tak bisa diam, sulit berkonsentrasi, dan mudah menarik perhatian karena perilakunya.

Kini pemahaman itu berubah. ADHD diketahui hingga 80 persen dipengaruhi faktor genetik dan sudah ada sejak lahir. Fakta bahwa banyak orang baru didiagnosis saat dewasa juga berkaitan dengan perbedaan gender.

Anak laki-laki cenderung menunjukkan hiperaktivitas dan impulsivitas yang lebih mencolok, sementara anak perempuan sering menampilkan gejala yang lebih samar: Melamun, tidak fokus, dan pendiam. “Gejala ini kerap tidak dikenali dan sering disalahartikan sebagai depresi,” jelas Matthies.

Hal ini tercermin dalam analisis terbaru: Diagnosis ADHD sangat sering ditetapkan pada perempuan muda. Di usia dewasa, angka diagnosis perempuan kemudian menyamai laki-laki. Selain itu, gejala ADHD dapat berubah seiring waktu—hiperaktivitas sering beralih menjadi kegelisahan batin, sementara gangguan perhatian tetap bertahan.

Bagaimana ADHD didiagnosis?

Menetapkan diagnosis ADHD pada orang dewasa bukan perkara sederhana. Prosesnya melibatkan wawancara mendalam, kuesioner, serta penelusuran riwayat hidup. Faktor kunci adalah apakah gejala sudah muncul sebelum usia 12 tahun dan masih menimbulkan gangguan hingga kini.

“Melihat ke belakang tentu tidak mudah,” kata Matthies. “Siapa yang bisa mengingat secara detail bagaimana dirinya saat berusia delapan tahun?” Karena itu, rapor sekolah lama sering kali membantu. Selain itu, penyebab lain juga harus disingkirkan, karena banyak gangguan mental yang sama-sama memunculkan masalah konsentrasi.

Mengapa diagnosis ADHD kini meningkat?

Para peneliti menyebut beberapa faktor penyebab. ADHD kini mendapat perhatian lebih besar di masyarakat. Selain itu, terjadi perubahan dalam sistem klasifikasi yang digunakan untuk menetapkan kriteria diagnosis.

Dampak pandemi COVID-19 terhadap kesehatan mental juga dipandang sebagai salah satu faktor, karena semakin banyak orang mencari bantuan profesional atas masalah psikologis mereka.

Dengan demikian, meningkatnya diagnosis baru tidak serta-merta berarti ADHD menjadi lebih sering terjadi. Lebih tepatnya, hal ini menunjukkan perbaikan dalam deteksi dan diagnosis.

Meski begitu, Matthies menekankan bahwa alasan di balik tren ini masih bersifat spekulatif. Jawaban yang lebih pasti baru bisa diperoleh melalui studi lanjutan dalam beberapa tahun ke depan. Ia memperkirakan angka diagnosis akan mencapai titik stabil, serupa dengan data ADHD pada anak-anak.

Media sosial: Edukasi atau diagnosis berlebihan?

Media sosial turut berperan membuat ADHD lebih terasa gejalanya, Hal ini juga mendorong lebih banyak orang untuk memeriksakan diri. Pada dasarnya, ini perkembangan positif, kata Matthies. Namun ada catatannya.

“Saya senang karena informasi dan pengalaman dibagikan, stigma dikurangi. Tapi di sisi lain, ada banyak konten yang menyesatkan dan berlebihan,” ujarnya.

Mara pun melihat fenomena ini secara ambivalen. “Jika membantu orang memahami cara berpikir mereka sendiri, itu bagus,” katanya—terutama bila mendorong orang untuk mencari diagnosis dan bantuan profesional. Namun ia merasa khawatir ketika orang menarik kesimpulan tergesa-gesa tentang kesehatan mental mereka hanya berdasarkan video TikTok.

Apa yang berubah setelah diagnosis—dan apa yang tidak?

Bagi banyak orang, diagnosis ADHD menjadi titik balik. Ia memberi kelegaan karena menjelaskan mengapa strategi tertentu tidak berhasil dan apa yang justru membantu. Bagi Mara, terapi perilaku dan obat-obatan menjadi kunci. “Rasanya seperti tingkat kesulitan hidup saya diturunkan,” ujarnya.

Ia juga belajar menerima cara kerjanya sendiri—termasuk hiperfokus, yakni fase konsentrasi intens yang merupakan ciri khas ADHD. “Saya bisa menulis satu makalah dalam seminggu. Hanya karena orang lain tidak bekerja seperti itu, bukan berarti cara saya salah.”

Mara juga mengakui bahwa ADHD memberinya kelebihan: Antusiasme tinggi dan kemampuan melihat keterkaitan berbagai hal. “Itu tidak ingin saya hilangkan,” katanya. Sisi lainnya—seperti kesulitan berkonsentrasi bahkan pada hal yang ia sukai—adalah harga yang harus dibayar.

“Ada orang-orang yang sangat diuntungkan oleh ADHD—bagi mereka, itu adalah sumber daya besar,” kata Matthies. “Namun kita juga tidak boleh lupa bahwa banyak yang kesulitan menjalani tugas sehari-hari dan membutuhkan dukungan.” ADHD berada dalam spektrum dan tidak dialami semua orang dengan tingkat keparahan yang sama.

Apa yang perlu diubah agar lebih banyak orang dapat mengatasinya?

ADHD tetap menjadi tantangan—bukan hanya bagi individu, tetapi juga bagi masyarakat. Menurut Matthies, banyak sistem sosial dan dunia kerja belum ramah bagi orang dengan ADHD. “Bagi banyak orang dengan gangguan mental, akan sangat membantu jika tersedia ruang atau niche tempat mereka bisa mengembangkan kekuatan dan keunikan mereka dihargai.” Namun ia mengakui, ini sering berbenturan dengan realitas dunia kerja yang menuntut keseragaman.

Mara meyakini bahwa masyarakat yang lebih ramah terhadap ADHD akan menguntungkan semua orang. “Bekerja bukan di kantor terbuka yang penuh rangsangan, melainkan di lingkungan yang lebih tenang, serta memiliki jam kerja yang fleksibel,” katanya. “Itu membantu banyak orang—bukan hanya mereka yang memiliki ADHD.” ***

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *