PARLEMENTARIA.ID
Saat pemerintah pusat merencanakan untuk menghapuskan status tenaga honorer, ratusan pekerja bukan ASN dari Forum R2 dan R3 Sekretariat DPRD Kabupaten Cirebon tidak tinggal diam.
Mereka secara proaktif memantau pelaksanaan kesepakatan vital yang tercatat dalam Berita Acara (BA) dari pertemuan dialog di antara eksekutif, legislatif, serta wakil-wakil dari forum tenaga kerja honorer.
Dokumen yang tadinya diharapkan sebagai awal baru saat ini berubah menjadi ikon bagi para pegawai honors dalam pertempuran mereka mencari jaminan posisi serta penghargaan sepenuhnya atas kesetiaan mereka yang telah terbukti sepanjang tahun.
“Masalah ini lebih dari sekadar pekerjaan. Ini tentang mengakui dedikasi panjang kita dan seharusnya mendapat apresiasi. Kita tidak mau surat perintah ini menjadi dokumen tanpa arti,” tegas Fiqih Ramadhan, dikenal sebagai Engking, salah satu guru honorarium, pada hari Senin (2/6/2025).
Paling tidak terdapat empat titik penting dalam BA yang saat ini menjadi sorotan pokok bagi pemantauan Forum Honorer. Titik-titik tersebut meliputi penyerapan pegawai honorer dengan status R2, R3, serta R4 ke dalam sistem PPPK secara penuh dimulai dari tahun 2026.
Engking mengatakan bahwa Pemerintah Kabupaten Cirebon bersama DPRD sudah menyetujui pengalokasian posisi bagi 3.906 pegawai honorer, di mana dari jumlah tersebut, 1.200 formasi akan diberikan pada tahun 2026 dan sisa kuota akan disesuaikan secara berjenjang mulai tahun 2027.
“Ini adalah jumlah yang sangat tinggi dan berdampak pada kehidupan ribuan keluarga. Penjagaan ini lebih dari sekedar tindakan, melainkan wujud tanggung jawab bersama,” katanya.
Isu Pengupahan Juga Disorot
Di samping masalah perekrutan, kesenjangan dalam sistim pembayaran untuk pekerja honorer parsial juga menjadi perhatian utama. Dokumen tersebut menjelaskan bahwa ada dua skema gaji: maximum recruitment yang mengikuti Upah Minimum Regional (UMR) dan minimum recruitment yang ditentukan berdasarkan beban tugas mereka.
Namun, berdasarkan Forum Honorer, implementasinya masih belum begitu pasti dan memerlukan pantauan untuk mencegah terjadinya diskriminasi.
“Hindari penentuan upah bagi pegawai honorarium secara sepihak, mengingat beban pekerjaan hampir setara dengan Aparatur Sipil Negara,” ungkap Hendri, yang juga mewakili sebuah forum lain.
Tindakan pegawai honorarium tersebut tidak sekadar bertujuan untuk melindungi hak-hak mereka sendiri, namun juga diharapkan dapat menciptakan contoh positif bagi wilayah-wilayah lainnya. Mengingat ketidaktentuan dalam kebijakan pemerintahan pusat mengenai pekerja kontrak, diharapkan bahwa Kabupaten Cirebon akan muncul sebagai tempat yang mendukung dedikasi serta kesetaraan sosial.
“Pemerintah Kabupaten Cirebon dapat dijadikan teladan nasional. Jika sungguh-sungguh melanjutkan kebijakan ini, maka pemerintahan tersebut akan hadir untuk mendukung masyarakatnya,” ungkap Engking.
Di belakang statistik dan regulasi, pertarungan guru honor merupakan masalah harga diri. Sudah bertahun-tahun mereka berperan sebagai fondasi dari sistem birokrasi namun belum mendapatkan penghargaan sepadan. Saat ini, dengan tanda tangan atas Perjanjian Baru tersebut, harapan untuk diakui secara resmi kian dekat.
Akan tetapi, tanpa pengawasan dan komitmen yang sungguh-sungguh dari seluruh pihak terkait, semua kesepakatan tersebut hanya akan menjadi basa-basi. “Kami tidak mengharapkan untuk diperlakukan istimewa. Hanya saja kami ingin dihormati seperti semestinya,” tutup Engking.