PARLEMENTARIA.ID — Mantan Kepala Badan Intelijen Strategis (BAIS) TNI, Soleman B Ponto, menganggap Peraturan Kepolisian (Perpol) Nomor 10 Tahun 2025 bertentangan dengan putusan Mahkamah Konstitusi (MK) serta melanggar Undang-Undang Dasar (UUD) 1945.
Ia mengharapkan Presiden Prabowo Subianto mengambil sikap tegas dengan memerintahkan Kapolri Jenderal Listyo Sigit Prabowo untuk mencabut peraturan tersebut.
Pernyataan tersebut diungkapkan oleh Soleman Ponto dalam sebuah podcast bersama jurnalis Fristian Griec, yang membahas perdebatan mengenai penempatan anggota Polri aktif di berbagai kementerian dan lembaga di luar struktur kepolisian, pada Kamis (18/12/2025).
Menurut Ponto, Peraturan Kepolisian Nomor 10 Tahun 2025 memperluas ruang interpretasi yang sebelumnya ditutup oleh Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 114/PUU-XXIII/2025, yang menyatakan bahwa anggota Polri aktif dilarang menjabat posisi di luar struktur kepolisian.
“Putusan MK jelas. Polri yang aktif berada di luar struktur harus berpindah status, mengundurkan diri, atau pensiun. Peraturan ini justru menghidupkan kembali interpretasi yang telah dibatalkan oleh MK,” kata Ponto, dilaporkan dari tayangan YouTube.Fristian Griec Media.
Ponto menjelaskan bahwa posisi Polri diatur jelas dalam Pasal 30 ayat (4) UUD 1945 dan Pasal 5 ayat (1) UU Nomor 2 Tahun 2002 tentang Polri, yang menyebutkan bahwa Polri merupakan alat negara dengan tugas utama menjaga keamanan dan ketertiban masyarakat, melindungi, memberi perlindungan, melayani, serta menegakkan hukum.
Di sisi lain, Pasal 28 ayat (3) UU Polri menyatakan bahwa anggota Polri hanya boleh menjabat posisi di luar kepolisian setelah mengundurkan diri atau pensiun dari tugas kepolisian.
“Masalahnya bukanlah jenis posisi, apakah sipil atau bukan. Intinya sederhana: dalam struktur Polri atau di luar. Jika di luar, maka harus mengubah status,” tegasnya.
Soleman Ponto juga merespons pernyataan Ketua Komisi III DPR RI Habiburokhman yang menyatakan bahwa Peraturan Kepolisian Nomor 10 Tahun 2025 tetap sah secara konstitusional karena Mahkamah Konstitusi hanya membatalkan frasa “tidak berdasarkan penugasan Kapolri”.
Menurut Ponto, interpretasi tersebut salah karena Mahkamah Konstitusi membatalkan penjelasan pasal yang memberi ruang bagi Polri untuk berada di luar struktur, sehingga makna Pasal 28 ayat (3) kembali utuh dan mengikat.
“Putusan Mahkamah Konstitusi tersebut menguji undang-undang terhadap UUD 1945. Sifatnya bersifat umum, mengikat seluruh pihak, bukan hanya Polri,” katanya.
Ponto juga mengkritik penggunaan Undang-Undang Aparatur Sipil Negara (ASN) sebagai dasar hukum dalam Peraturan Kepolisian Nomor 10 Tahun 2025.
Ia menekankan bahwa Polri bukan merupakan pegawai negeri sipil, melainkan alat negara yang tunduk pada Undang-Undang Polri dan konstitusi.
“Kapolri tidak boleh menggunakan UU ASN sebagai dasar. Dalam hierarki hukum, Perpol berada di bawah undang-undang. Tidak diperbolehkan bertentangan dengan undang-undang itu sendiri,” ujar Ponto.
Ia menegaskan, jika Peraturan Polisi tersebut tetap diterapkan, maka kementerian dan lembaga yang menerima anggota Polri aktif berisiko turut melanggar UUD 1945.
“Jika semua lembaga yang memiliki fungsi perlindungan dan penegakan hukum diisi oleh personel Polri aktif, negara bisa menjadi kacau. Polri bisa menjadi ‘superman’, masuk ke berbagai sektor,” katanya.
Menurut Ponto, perdebatan ini seharusnya diselesaikan melalui prosedur administratif tanpa perlu mengajukan uji materi ke Mahkamah Agung. Ia berpendapat bahwa Presiden memiliki wewenang langsung untuk mencabut Perpol tersebut.
“Ini bukan aturan yang baru, ini adalah tata kelola. Presiden mampu dan wajib memberi perintah kepada Kapolri untuk mencabut Peraturan Kepolisian Nomor 10 Tahun 2025 agar menunjukkan kekuasaan sebagai kepala negara,” tegasnya.
Ia menegaskan, membiarkan Perpol tersebut tetap berlaku atau diuji kembali justru akan menciptakan kesan pembenaran terhadap aturan yang secara hukum sudah jelas tidak layak.
“Jika dibiarkan, ini bukan hanya pelanggaran terhadap peraturan perundang-undangan, tetapi juga terhadap konstitusi,” ujar Ponto.
Alasan Kapolri
Kepala Polisi Republik Indonesia menekankan bahwa Peraturan Kepolisian yang berkaitan dengan penugasan polisi aktif dalam jabatan sipil dibuat untuk melanjutkan dan menghormati keputusan Mahkamah Konstitusi (MK).
Pembuatan Perpol ini dilakukan setelah melalui diskusi dengan kementerian dan pihak-pihak yang berkepentingan.
Hal tersebut diungkapkan Listyo Sigit ketika diwawancara setelah sidang kabinet yang dipimpin oleh Presiden RI Prabowo Subianto di Istana Negara, Jakarta, Senin (15/12/2025).
“Jelasnya, Polri tentu menghormati keputusan MK. Oleh karena itu, Polri melanjutkan dengan melakukan konsultasi terhadap kementerian yang relevan, serta pihak-pihak terkait, sebelum mengeluarkan Perpol,” ujar Listyo Sigit.
Ia menekankan bahwa Perpol tersebut dibuat dalam rangka melanjutkan putusan MK, bukan untuk mengabaikannya.
“Jadi Peraturan Polisi yang dibuat oleh Polri, pasti dilakukan dalam rangka menghormati dan melanjutkan putusan MK. Saya kira begitu,” katanya.
Mengenai keberadaan polisi aktif yang saat ini menjabat di luar ketentuan yang ditetapkan, Sigit menyatakan Peraturan Kepolisian tersebut tidak diberlakukan secara mundur.
“Jelas, Perpol ini nanti akan dinaikkan menjadi PP dan kemungkinan akan dimasukkan dalam revisi undang-undang. Mengenai yang sudah diproses, tentu saja hal ini tidak berlaku secara mundur. Menteri Hukum telah menyampaikan hal tersebut,” katanya.
Saat ditanya mengenai persepsi bahwa Polri melanggar keputusan MK, Kapolri menyatakan semua tindakan yang dilakukan telah melalui proses konsultasi antar lembaga.
“Biarkan saja mereka yang mengatakan begitu. Namun jelas, tindakan yang diambil oleh polisi telah didiskusikan dengan baik bersama kementerian terkait, para pemangku kepentingan terkait, serta lembaga terkait. Oleh karena itu, Peraturan Kepolisian tersebut baru saja dikeluarkan,” katanya.
Ia juga menegaskan bahwa penugasan polisi aktif dalam jabatan sipil saat ini sudah diatur dengan jelas dan akan terus diperbaiki.
“Di sana ketentuannya sudah jelas. Dan tentu akan dilakukan perbaikan. Di sana yang dihapus dalam putusan MK, penugasan oleh Kapolri, kemudian frasa yang berkaitan dengan tugas-tugas kepolisian sudah jelas di sana,” katanya.
Menurutnya, aturan tersebut akan dijelaskan secara terbatas di masa depan agar tidak menimbulkan perbedaan pemahaman.
“Oleh karena itu, selanjutnya harus dijelaskan secara terbatas seperti apa. Jadi, apa yang dilanggar? Ya, saya rasa sudah cukup,” tutupnya.
Sebagai informasi, Mahkamah Konstitusi (MK) telah mengambil keputusan bahwa Kapolri tidak diperbolehkan lagi memberikan tugas kepada anggota polisi aktif untuk menjabat posisi sipil, kecuali mereka sudah mengundurkan diri atau memasuki masa pensiun.
Putusan tersebut diumumkan langsung oleh Ketua MK, Suhartoyo, dalam sidang yang berlangsung di Ruang Sidang Utama MK, Jakarta, pada hari Kamis (13/11/2025).
Sebulan kemudian, Kapolri Jenderal Listyo Sigit Prabowo telah menandatangani Peraturan Polri (Perpol) Nomor 10 Tahun 2025 mengenai penugasan personel Polri di luar struktur organisasi.
Peraturan perundang-undangan tersebut mengatur bahwa anggota Polri yang masih aktif diperbolehkan menjabat di 17 kementerian dan lembaga.
Aturan tersebut dikeluarkan dalam jangka waktu 29 hari setelah MK mengeluarkan Putusan 114/PUU-XXIII/2025 yang melarang Polri menjabat secara ganda.
Berikut adalah daftar 17 Kementerian dan Lembaga yang dapat diisi oleh anggota Polri:
1. Kemenko Polhukam
2. Kementerian ESDM
3. Kementerian Hukum
4. Departemen Imigrasi dan Pemasyarakatan
5. Kementerian Kehutanan
6. Kementerian Kelautan dan Perikanan
7. Kementerian Perhubungan
8. Departemen Perlindungan Tenaga Kerja Migran Indonesia
9. ATR/BPN
10. Lemhannas
11. Otoritas Jasa Keuangan
12. PPATK
13. BNN
14. BNPT
15. BIN
16. BSSN
17. KPK
Harus Tunduk Putusan MK
Wakil Direktur Imparsial, Hussein Ahmad menegaskan bahwa Polri harus mematuhi keputusan Mahkamah Konstitusi (MK) mengenai larangan jabatan yang dipegang secara bersamaan.
Menurutnya, dengan dikeluarkannya Peraturan Kepolisian Nomor 10 Tahun 2025 yang mengatur tentang anggota Polri aktif yang dapat menjabat di 17 kementerian dan lembaga. Hal ini mirip dengan pembangkangan putusan Mahkamah Konstitusi.
“Saya pikir yang pertama, memang Polri harus tunduk dan patuh terhadap keputusan Mahkamah Konstitusi,” ujar Hussein kepada Tribunnews.
Ia menekankan bahwa keputusan Mahkamah Konstitusi harus dihormati dan selanjutnya dilanjutkan dengan kebijakan yang hati-hati.
“Jangan seakan-akan kemudian melakukan perlawanan terhadap Mahkamah Konstitusi,” tegasnya.
Meskipun demikian, tambahnya, dalam konteks tersebut terdapat kekosongan hukum. Ada beberapa lembaga yang tidak dapat beroperasi jika tidak ada penempatan Polri, misalnya BNN.
Jika tidak ada anggota Polri di BNN, menurut Hussein, BNN akan kesulitan menjalankan tugasnya.
Dan beberapa lembaga-lembaga lain.
“Maka dari itu, penting bagi para pengambil kebijakan untuk memperhatikan putusan Mahkamah Konstitusi,” ujar Hussein.
“Agar kebutuhan masyarakat dapat terpenuhi dan tidak terjadi keributan seperti saat ini. Seperti ada perlawanan dari Polri terhadap Mahkamah Konstitusi,” tegasnya. ***










