PARLEMENTARIA.ID — Anggota Komisi C DPRD Jakarta dari Fraksi PAN, Lukmanul Hakim, mengkritik rencana Pemerintah Provinsi (Pemprov) DKI yang mengajukan pinjaman sebesar Rp2,2 triliun untuk mendanai tujuh proyek di berbagai dinas.
Kritik muncul setelah sebelumnya APBD DKI disebut masih menyimpan dana tunai yang terpendam sebesar Rp 14,6 triliun.
“Yang tersisa di bank adalah sekitar Rp14,6 triliun. Jika sudah memiliki uang tunai, mengapa harus mengajukan pinjaman?” kata Lukmanul kepadaPARLEMENTARIA.ID, Senin (3/11/2025).
Lukman meragukan pentingnya pengajuan kredit tersebut, mengingat Pemprov DKI sudah memiliki dana tunai yang cukup.
Ia menekankan bahwa pengajuan pinjaman sebaiknya memperhatikan efisiensi dan transparansi dalam penggunaan APBD.
“Mengapa tidak menggunakan dana yang terendap saja? Apa maksud sebenarnya,” kata Lukmanul.
Dari sisi regulasi, pemerintah daerah diizinkan untuk mencari alternatif pendanaan, termasuk meminjam dari pemerintah pusat atau pihak lain seperti penerbitan obligasi, asalkan mendapatkan persetujuan DPRD DKI Jakarta.
Namun, Lukmanul menegaskan, kemampuan memenuhi syarat tidak secara otomatis menjadi alasan untuk mengajukan pinjaman, jika dana tunai yang tersedia sudah cukup.
“Jika membahas persyaratan dan rasio yang harus dipenuhi, saya yakin Pemprov DKI akan memenuhinya. Tapi yang menjadi pertanyaan, untuk apa mencari pinjaman?” ujar Lukmanul.
Lukmanul menyampaikan, pentingnya pengelolaan dana masyarakat yang efektif dan terbuka, terlebih banyak warga yang masih menghadapi tantangan kebutuhan sehari-hari.
“Jangan biarkan uang negara digunakan untuk kepentingan yang tidak jelas. Banyak masyarakat masih berjuang memenuhi kebutuhan hidup,” katanya.
Penjelasan Pemprov DKI
Sementara itu, Gubernur Jakarta Pramono Anung sebelumnya menyampaikan bahwa dana sebesar Rp 14,6 triliun yang tersimpan di bank bukan dalam bentuk tabungan.
Dana tersebut telah disiapkan guna menutupi biaya proyek fisik serta pembelian barang dan jasa yang akan dilaksanakan pada bulan November dan Desember 2025.
“Benar ada (dana tersebut), tetapi di Jakarta tidak digunakan sebagai tabungan atau disimpan begitu saja. Tujuannya hanya untuk persiapan dalam menyelesaikan (pembayaran proyek fisik serta pengadaan barang dan jasa),” kata Pramono di Kantor BPKP, Jakarta Timur, Rabu (22/10/2025).
Ia menjelaskan, sistem pembayaran pada akhir tahun merupakan kebiasaan yang dilakukan dalam pelaksanaan APBD DKI Jakarta.
Banyak proyek dan kontrak pembelian baru memasuki tahap akhir pada kuartal keempat, sehingga pembayaran dilakukan menjelang berakhirnya tahun anggaran.
Ia memberikan contoh, di akhir 2023 penyerapan anggaran untuk pembayaran proyek mencapai sekitar Rp 16 triliun, sedangkan pada 2024 naik menjadi Rp 18 triliun.
“Memang di Jakarta, pembayaran untuk semua proses pengadaan jasa, barang, dan fisik selalu dilakukan pada bulan November dan Desember. Pada tahun 2023, jumlahnya mencapai Rp 16 triliun. Sedangkan pada tahun 2024, sebesar Rp 18 triliun,” ujar Pramono.









