PARLEMENTARIA.ID –
DPR dan Jurang Kepercayaan Publik: Mengurai Kritik terhadap Kebijakan yang Dinilai Tak Pro-Rakyat
Dalam setiap negara demokratis, parlemen adalah jantung aspirasi rakyat. Ia adalah rumah bagi perwakilan yang dipilih untuk menyuarakan kepentingan, menjaga hak, dan merumuskan kebijakan yang bermuara pada kesejahteraan bersama. Di Indonesia, Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) memegang peran krusial ini. Namun, belakangan ini, lembaga legislatif kita seringkali menjadi sorotan tajam publik, bukan karena prestasi gemilang, melainkan karena kebijakan-kebijakan yang dinilai jauh dari semangat "pro-rakyat."
Gelombang kritik publik terhadap DPR bukanlah fenomena baru. Namun, intensitas dan luasnya kritik ini menunjukkan adanya jurang yang semakin lebar antara harapan rakyat dengan realitas legislasi. Mengapa ini bisa terjadi? Apa saja kebijakan yang memicu gejolak ini, dan bagaimana dampaknya terhadap kepercayaan publik serta arah pembangunan bangsa? Mari kita bedah lebih dalam.
Memahami "Pro-Rakyat": Apa yang Sesungguhnya Diinginkan Publik?
Sebelum melangkah lebih jauh, penting untuk mendefinisikan apa itu "pro-rakyat" dari kacamata publik. Secara umum, kebijakan yang pro-rakyat adalah kebijakan yang:
- Meningkatkan Kesejahteraan Ekonomi: Menciptakan lapangan kerja, menstabilkan harga kebutuhan pokok, menjamin upah yang layak, dan mengurangi kesenjangan ekonomi.
- Menjamin Keadilan Sosial: Memberikan akses yang sama terhadap pendidikan, kesehatan, dan layanan publik lainnya tanpa diskriminasi.
- Melindungi Hak-hak Dasar: Menjaga kebebasan berpendapat, hak atas lingkungan hidup yang sehat, dan keadilan hukum.
- Berpihak pada Kelompok Rentan: Memberikan perlindungan dan afirmasi bagi buruh, petani, masyarakat adat, perempuan, anak-anak, dan disabilitas.
- Transparan dan Akuntabel: Proses perumusan kebijakan yang terbuka, mudah diakses, dan dapat dipertanggungjawabkan.
Ketika kebijakan DPR dinilai melenceng dari prinsip-prinsip ini, di situlah kritik publik mulai bergaung.
Deretan Kebijakan Kontroversial yang Memicu Kritik
Sepanjang sejarah DPR, ada beberapa kebijakan atau pembahasan rancangan undang-undang (RUU) yang secara khusus memicu gelombang protes dan kritik masif. Salah satu contoh paling menonjol adalah Undang-Undang Cipta Kerja (UU Ciptaker) atau Omnibus Law.
UU Ciptaker, yang disahkan dengan proses yang terbilang cepat, menuai protes keras dari berbagai elemen masyarakat: buruh, akademisi, mahasiswa, hingga pegiat lingkungan. Kritik utamanya berpusat pada:
- Perlindungan Buruh: Dinilai melemahkan hak-hak buruh, seperti pemotongan pesangon, kemudahan PHK, dan fleksibilitas kerja yang merugikan pekerja.
- Lingkungan Hidup: Dianggap mempermudah izin usaha yang berpotensi merusak lingkungan dan mengurangi peran serta masyarakat dalam AMDAL (Analisis Mengenai Dampak Lingkungan).
- Partisipasi Publik: Proses pembahasannya dinilai minim transparansi dan partisipasi publik yang bermakna, sehingga terkesan terburu-buru dan tidak mendengarkan masukan dari pihak yang terdampak langsung.
Selain UU Ciptaker, beberapa isu lain yang juga sering menjadi sorotan adalah:
- Revisi UU KPK: Dianggap melemahkan lembaga antikorupsi di tengah maraknya kasus korupsi.
- RUU Pertanahan: Kekhawatiran akan hilangnya hak-hak petani dan masyarakat adat atas tanah.
- Pembahasan RUU dengan Waktu Singkat: Beberapa RUU penting seringkali dibahas dan disahkan dalam waktu singkat tanpa kajian mendalam dan partisipasi publik yang memadai.
Mengapa Jurang Pemisah Ini Terjadi?
Ada beberapa faktor yang diduga menjadi penyebab utama mengapa DPR seringkali menghasilkan kebijakan yang dinilai tidak pro-rakyat:
- Pengaruh Kelompok Kepentingan (Oligarki dan Korporasi): Tidak bisa dimungkiri, proses legislasi seringkali diwarnai lobi-lobi kuat dari kelompok usaha besar atau oligarki yang memiliki kepentingan ekonomi. Kebijakan yang dihasilkan cenderung menguntungkan segelintir pihak, bukan kesejahteraan umum.
- Kurangnya Transparansi dan Partisipasi Publik yang Bermakna: Banyak RUU penting dibahas secara tertutup atau dengan partisipasi publik yang hanya bersifat formalitas. Masukan dari masyarakat sipil, akademisi, dan kelompok rentan seringkali tidak diakomodasi.
- Kualitas Legislasi yang Rendah: Proses penyusunan naskah akademik dan draf RUU yang terburu-buru, minim kajian mendalam, dan terkadang tidak melibatkan pakar independen, berujung pada kualitas legislasi yang rentan multitafsir dan implementasi yang bermasalah.
- Prioritas Politik Jangka Pendek: Anggota DPR seringkali lebih fokus pada kepentingan elektoral jangka pendek atau kepentingan partai, daripada visi pembangunan jangka panjang dan kebutuhan riil rakyat.
- Lemahnya Mekanisme Pengawasan Internal: Mekanisme pengawasan etika dan kinerja di internal DPR belum cukup kuat untuk mencegah penyimpangan atau memastikan anggota DPR bekerja sesuai mandat rakyat.
Dampak Jangka Panjang Terhadap Demokrasi dan Kepercayaan Publik
Kebijakan yang tidak pro-rakyat dan proses legislasi yang diwarnai kritik masif memiliki dampak serius:
- Erosi Kepercayaan Publik: Ini adalah dampak paling nyata. Ketika rakyat merasa suara mereka tidak didengar, kepercayaan terhadap lembaga perwakilan akan terkikis. Ini berbahaya bagi fondasi demokrasi.
- Peningkatan Ketidakpuasan dan Protes Sosial: Ketidakpuasan yang terakumulasi dapat memicu gelombang protes dan demonstrasi yang lebih besar, mengganggu stabilitas sosial dan politik.
- Kesenjangan Sosial yang Makin Lebar: Kebijakan yang berpihak pada segelintir pihak akan memperlebar jurang antara si kaya dan si miskin, menciptakan ketidakadilan struktural.
- Stagnasi Pembangunan: Kebijakan yang tidak tepat sasaran atau tidak berdasarkan kebutuhan riil rakyat akan menghambat kemajuan di berbagai sektor, mulai dari ekonomi, pendidikan, hingga lingkungan.
- Ancaman terhadap Demokrasi Substantif: Demokrasi tidak hanya tentang pemilu, tetapi juga tentang bagaimana kekuasaan digunakan untuk kesejahteraan rakyat. Ketika legislasi tidak mencerminkan ini, demokrasi hanya menjadi prosedural belaka.
Kritik Publik sebagai Alarm Demokrasi
Meskipun seringkali dianggap sebagai "gangguan," kritik publik terhadap DPR sesungguhnya adalah alarm penting dalam sebuah negara demokrasi. Ini adalah mekanisme kontrol sosial yang esensial, penanda bahwa rakyat masih peduli dan berharap lembaga perwakilan mereka dapat berfungsi sebagaimana mestinya.
Kritik ini hadir dalam berbagai bentuk: dari demonstrasi massa yang membakar semangat, petisi daring yang mengumpulkan jutaan tanda tangan, analisis tajam dari akademisi dan lembaga riset, hingga suara-suara di media sosial yang tak henti menyuarakan keresahan. Semua ini adalah manifestasi dari semangat warga negara yang ingin melihat perbaikan.
Membangun Kembali Jembatan Kepercayaan: Jalan ke Depan
Untuk membangun kembali jembatan kepercayaan antara DPR dan rakyat, ada beberapa langkah fundamental yang perlu diambil:
- Transparansi Penuh dalam Proses Legislasi: Seluruh tahapan pembahasan RUU, mulai dari naskah akademik, draf, hingga rapat-rapat komisi, harus dapat diakses publik secara mudah.
- Partisipasi Publik yang Bermakna: DPR harus membuka ruang dialog yang substantif dengan berbagai elemen masyarakat, bukan sekadar formalitas. Masukan harus didengarkan, dipertimbangkan, dan dijelaskan alasan penerimaan atau penolakannya.
- Peningkatan Kualitas Kajian Legislasi: Setiap RUU harus didasarkan pada kajian yang mendalam, komprehensif, dan melibatkan pakar independen dari berbagai disiplin ilmu, serta mempertimbangkan dampak sosial, ekonomi, dan lingkungan.
- Prioritas pada Kepentingan Rakyat: Anggota DPR harus menempatkan kepentingan umum di atas kepentingan pribadi, kelompok, atau partai. Integritas dan etika harus menjadi landasan utama.
- Penguatan Fungsi Pengawasan: Mekanisme pengawasan terhadap pemerintah dan kinerja anggota DPR harus diperkuat, termasuk peran aktif masyarakat dalam mengawasi wakilnya.
- Pendidikan Politik bagi Rakyat: Masyarakat juga perlu terus didorong untuk aktif berpartisipasi, memahami proses legislasi, dan memilih wakil rakyat yang memiliki rekam jejak dan komitmen yang jelas terhadap kepentingan publik.
Penutup
Kritik terhadap DPR adalah cerminan dari harapan besar rakyat akan terwujudnya keadilan, kesejahteraan, dan demokrasi yang sesungguhnya. DPR sebagai "rumah rakyat" memiliki tanggung jawab besar untuk mendengarkan, merespons, dan bertransformasi menjadi lembaga yang benar-benar mewakili suara dan kepentingan seluruh lapisan masyarakat, bukan hanya segelintir elit. Membangun DPR yang benar-benar pro-rakyat adalah tugas bersama, sebuah perjalanan panjang yang membutuhkan komitmen kuat dari para wakil rakyat, partisipasi aktif dari masyarakat, dan semangat untuk terus menyempurnakan demokrasi kita. Hanya dengan begitu, jurang kepercayaan yang kini menganga dapat dijembatani, dan DPR dapat kembali menjadi kebanggaan rakyat Indonesia.

:strip_icc():format(webp)/kly-media-production/medias/4762591/original/001040900_1709731690-Infografis_SQ_Ragam_Tanggapan_Sidang_DPR_dan_Wacana_Hak_Angket_Pemilu_2024.jpg?w=300&resize=300,178&ssl=1)









