PARLEMENTARIA.ID — Di tengah derasnya air yang meluap di beberapa wilayah Tapanuli, kembali terdengar peringatan dari WALHI Sumatera Utara.
Lembaga lingkungan mengajukan permintaan kepada pemerintah, baik pusat maupun daerah, agar menghentikan seluruh pembukaan lahan baru di lokasi-lokasi yang telah mereka tetapkan.
Tindakan ini, menurut WALHI, dalam pernyataan tertulisnya diterima oleh Pikiran Rakyat Medan, harus dilakukan hingga ada pemeriksaan yang dilakukan secara mandiri.
“Peninjauan menyeluruh terhadap izin dan kegiatan di lapangan, serta penerapan hukum jika ditemukan pelanggaran yang serius,” kata Direktur Eksekutif Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (WALHI) Sumatera Utara saat ini, Rianda Purba.
Tekanan tersebut juga diikuti dengan tuntutan agar pemerintah mengungkap peta dan dokumen terkait perubahan penggunaan lahan, sehingga masyarakat bisa ikut mengawasi proses penertiban secara transparan.
Dalam laporan terkini, WALHI Sumut mengungkapkan bahwa Ekosistem Batang Toru kini berada dalam keadaan kritis secara ekologis, situasi yang mereka anggap menuju ekosida.
Berdasarkan hasil pencarian, ditemukan perubahan penggunaan hutan seluas 10.795,31 hektar yang dikaitkan dengan kegiatan tujuh perusahaan.
Perusahaan-perusahaan yang dikenali oleh WALHI Sumut dalam laporan yang disusun. Perubahan penggunaan lahan tersebut meliputi:
PT Agincourt Resources: ±646.08 hektar
PT NSHE: ±330 ha
PT Sago: ±300 ha
PT SOL: ±125,23 ha
PT TPL (PKR): sekitar 5.000 hektar
PTPN III: 4.372,02 ha
PLTMH Pahae Julu: sekitar 22,8 hektar
Angka 4.372,02 ha yang terkait dengan PTPN III terdiri dari dua lokasi, yaitu Kebun Batang Toru (sekitar 1.949,2 ha) dan Kebun Hapesong (sekitar 2.422,82 ha).
Data tersebut menunjukkan bahwa penebangan hutan tidak terjadi pada satu tempat saja, tetapi terjadi secara bertingkat dan menyebar, sehingga dampaknya terhadap landscape bersifat akumulatif.
Menurut WALHI, rangkaian banjir dan tanah longsor yang kembali melanda wilayah Tapanuli dalam beberapa hari terakhir tidak lagi bisa dianggap sebagai kejadian cuaca biasa.
Mereka menganggap risiko bencana meningkat secara signifikan karena perubahan penggunaan lahan di hulu. Ketika hutan yang berfungsi sebagai penyangga air hilang, tanah kehilangan kemampuannya menyerap curah hujan, sehingga berubah menjadi aliran deras yang menyerang permukiman penduduk.
Beberapa laporan media menyebutkan bencana terbaru terjadi di Tapanuli Selatan dan Tapanuli Tengah, merusak infrastruktur umum serta mengganggu jalur transportasi.
WALHI Sumut menyatakan, jejak perubahan tutupan hutan, area terbuka baru, serta perubahan bentuk permukaan bumi diidentifikasi melalui gambar yang bisa diakses oleh masyarakat umum, kemudian diverifikasi melalui dokumen lapangan.
Menggunakan metode ini, WALHI menilai hasil identifikasi mereka mampu menggambarkan laju perubahan ruang yang sedang terjadi di Batang Toru. Sebuah gambaran yang sulit ditolak.***







