PARLEMENTARIA.ID – Pernahkah Anda bertanya-tanya, bagaimana sebuah kebijakan di daerah Anda, mulai dari pembangunan jalan, tarif retribusi pasar, hingga alokasi dana pendidikan, bisa lahir dan diterapkan? Di balik setiap peraturan yang menyentuh kehidupan kita sehari-hari, ada sebuah “dansa” politik yang kompleks namun vital, melibatkan dua aktor utama: Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) dan Kepala Daerah (Gubernur, Bupati, atau Walikota).
Hubungan antara DPRD dan Kepala Daerah bukanlah sekadar formalitas. Ia adalah jantung dari tata kelola pemerintahan daerah yang demokratis, sebuah simfoni yang terkadang harmonis, namun tak jarang juga diwarnai nada-nada disonansi. Artikel ini akan mengajak Anda menyelami lebih dalam dinamika hubungan ini, bagaimana mereka bekerja sama, beradu argumen, hingga akhirnya melahirkan kebijakan yang idealnya, berpihak pada kepentingan rakyat.
Mengapa Hubungan Ini Begitu Penting? Fondasi Demokrasi Lokal
Sebelum kita masuk ke detailnya, mari pahami dulu mengapa “dansa” ini begitu krusial. Di era otonomi daerah, kekuasaan dan tanggung jawab untuk mengatur rumah tangga sendiri telah didelegasikan kepada pemerintah daerah. Ini berarti, keputusan-keputusan penting yang secara langsung mempengaruhi kesejahteraan masyarakat setempat tidak lagi menunggu instruksi dari pusat, melainkan dirumuskan dan dilaksanakan di tingkat lokal.
Kepala Daerah adalah pucuk pimpinan eksekutif, motor penggerak pembangunan, dan wajah pemerintahan di mata rakyat. Ia dipilih langsung oleh rakyat dan bertanggung jawab atas pelaksanaan roda pemerintahan, pembangunan, serta pelayanan publik.
DPRD adalah lembaga legislatif daerah, representasi suara rakyat yang dipilih melalui pemilu. Mereka berfungsi sebagai “parlemen mini” di tingkat daerah, mengawasi jalannya pemerintahan, menetapkan anggaran, dan bersama Kepala Daerah membentuk peraturan daerah (Perda).
Bayangkan sebuah kapal layar. Kepala Daerah adalah nahkoda yang mengarahkan laju kapal, sementara DPRD adalah kru yang memastikan layar terpasang benar, mesin berfungsi, dan arah yang dituju sesuai dengan aspirasi penumpang (rakyat). Jika nahkoda dan kru tidak sejalan, kapal bisa oleng, bahkan karam. Begitulah pentingnya sinergi antara keduanya.
Landasan Hukum: Pilar Penopang Hubungan
Hubungan DPRD dan Kepala Daerah tidak terbangun di awang-awang. Ia memiliki pilar-pilar hukum yang kokoh, terutama Undang-Undang Dasar 1945 sebagai konstitusi tertinggi, serta Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah beserta peraturan turunannya.
Dari landasan hukum ini, kita mengenal pembagian peran yang jelas:
- Fungsi Legislasi (Pembentukan Perda): Ini adalah arena utama di mana DPRD dan Kepala Daerah bertemu untuk merumuskan aturan main di daerah.
- Fungsi Anggaran (Penyusunan APBD): APBD (Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah) adalah “jantung” pembangunan. Setiap rupiah yang akan dibelanjakan harus disepakati bersama.
- Fungsi Pengawasan: DPRD memiliki hak dan kewajiban untuk mengawasi pelaksanaan kebijakan oleh Kepala Daerah, memastikan semuanya berjalan sesuai rencana dan tidak menyimpang.
Ketiga fungsi ini saling terkait dan menjadi medan interaksi yang intens antara kedua lembaga.
Arena Kolaborasi: Proses Penyusunan Kebijakan Daerah
Mari kita bedah satu per satu bagaimana kebijakan, terutama Peraturan Daerah (Perda) dan Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD), disusun melalui kolaborasi DPRD dan Kepala Daerah.
1. Peraturan Daerah (Perda): “Undang-Undang Mini” di Tingkat Lokal
Perda adalah aturan hukum yang mengikat di tingkat daerah, setara dengan undang-undang di tingkat nasional, namun cakupannya lebih spesifik. Contohnya, Perda tentang tata ruang, Perda tentang retribusi parkir, atau Perda tentang perlindungan anak.
Tahapan Penyusunan Perda:
- Inisiasi (Pengajuan Rancangan Perda):
- Dari Kepala Daerah: Biasanya berupa usulan yang datang dari dinas-dinas terkait, hasil Musrenbang (Musyawarah Perencanaan Pembangunan), atau kebutuhan mendesak di lapangan. Ini disebut Raperda (Rancangan Peraturan Daerah) Eksekutif.
- Dari DPRD: Anggota DPRD atau komisi-komisi di DPRD bisa mengajukan usulan Raperda berdasarkan aspirasi masyarakat, kajian, atau inisiatif politik. Ini disebut Raperda Inisiatif DPRD.
- Pembahasan di DPRD:
- Setelah Raperda diajukan, ia akan dibahas secara mendalam di internal DPRD. Dimulai dari Badan Musyawarah (Bamus) untuk penjadwalan, kemudian ke Komisi atau Panitia Khusus (Pansus) yang relevan.
- Dalam tahap ini, akan ada rapat dengar pendapat (RDP) dengan pihak terkait, seperti organisasi masyarakat, akademisi, atau kelompok kepentingan.
- Sinkronisasi dengan Kepala Daerah: Kepala Daerah, melalui perwakilannya (misalnya Sekretaris Daerah atau kepala dinas), akan terlibat aktif dalam pembahasan ini. Mereka akan menyampaikan pandangan, memberikan data, dan bernegosiasi terkait substansi Raperda. Seringkali, terjadi “adu argumen” yang sehat untuk mencari titik temu terbaik.
- Rapat Paripurna: Setelah melalui pembahasan di tingkat komisi/pansus, Raperda akan dibawa ke Rapat Paripurna DPRD untuk persetujuan akhir. Dalam paripurna, Kepala Daerah atau wakilnya akan hadir untuk menyampaikan pandangan akhir.
- Persetujuan Bersama:
- Ini adalah momen krusial. Sebuah Raperda baru bisa menjadi Perda jika disetujui bersama oleh DPRD dan Kepala Daerah. Jika salah satu pihak tidak setuju, Raperda tersebut bisa mandek atau bahkan dibatalkan.
- Pengesahan dan Pengundangan:
- Setelah disetujui bersama, Raperda disahkan oleh Kepala Daerah menjadi Perda dan diundangkan dalam Lembaran Daerah agar memiliki kekuatan hukum.
2. Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD): Jantung Keuangan Daerah
APBD adalah rencana keuangan tahunan pemerintah daerah. Ia merinci dari mana uang didapat (pendapatan) dan untuk apa uang itu akan dibelanjakan (belanja). APBD adalah cerminan prioritas pembangunan dan kebijakan fiskal daerah.
Tahapan Penyusunan APBD:
- Perencanaan Pembangunan:
- Dimulai dari Musrenbang tingkat desa/kelurahan hingga tingkat kabupaten/kota, yang menghasilkan Rencana Kerja Pemerintah Daerah (RKPD). RKPD ini kemudian menjadi dasar penyusunan Kebijakan Umum Anggaran (KUA) dan Prioritas dan Plafon Anggaran Sementara (PPAS).
- KUA dan PPAS adalah dokumen awal yang disusun oleh Kepala Daerah dan kemudian dibahas bersama DPRD. Di sinilah terjadi “pergulatan” pertama terkait prioritas alokasi anggaran.
- Penyusunan Raperda APBD:
- Berdasarkan KUA-PPAS yang telah disepakati, Kepala Daerah menyusun Rancangan Peraturan Daerah (Raperda) tentang APBD, yang berisi detail rencana pendapatan, belanja, dan pembiayaan daerah.
- Pembahasan di DPRD:
- Raperda APBD diajukan ke DPRD dan dibahas oleh Badan Anggaran (Banggar) DPRD bersama Tim Anggaran Pemerintah Daerah (TAPD) yang dipimpin oleh Sekretaris Daerah.
- Ini adalah tahap pembahasan yang paling intens dan seringkali penuh dinamika. Setiap dinas/badan dipertanyakan alokasi anggarannya. Setiap program dan kegiatan akan diurai, dikritisi, dan disesuaikan. Anggota DPRD akan menyuarakan aspirasi konstituennya, mengusulkan program-program yang dianggap mendesak, atau bahkan menolak alokasi yang dinilai tidak efisien atau tidak relevan.
- Tawar-menawar politik: Seringkali terjadi proses tawar-menawar yang alot. DPRD bisa saja menolak beberapa pos anggaran yang diusulkan Kepala Daerah, atau sebaliknya, Kepala Daerah bisa keberatan dengan usulan tambahan dari DPRD.
- Persetujuan Bersama:
- Sama seperti Perda, Raperda APBD harus disetujui bersama oleh DPRD dan Kepala Daerah dalam Rapat Paripurna. Jika tidak disepakati tepat waktu, pemerintah daerah bisa terancam menggunakan pagu anggaran tahun sebelumnya, yang tentu saja menghambat pembangunan.
- Evaluasi oleh Pemerintah Pusat/Provinsi:
- Setelah disetujui, APBD masih harus dievaluasi oleh pemerintah yang lebih tinggi (provinsi mengevaluasi kabupaten/kota, pusat mengevaluasi provinsi) untuk memastikan tidak bertentangan dengan peraturan yang lebih tinggi dan tidak ada penyelewengan.
- Pengesahan dan Pengundangan:
- Setelah lolos evaluasi, APBD disahkan oleh Kepala Daerah menjadi Perda APBD dan diundangkan.
Dinamika Hubungan: Antara Sinergi dan Konflik
Melihat tahapan di atas, jelas bahwa hubungan DPRD dan Kepala Daerah adalah sebuah spektrum yang luas, bergerak antara sinergi yang produktif dan konflik yang konstruktif (atau terkadang destruktif).
Sinergi: Ketika Dua Kekuatan Bersatu
Ketika DPRD dan Kepala Daerah berhasil membangun sinergi yang kuat, hasilnya sangat positif bagi daerah:
- Kebijakan yang Komprehensif: Dengan melibatkan berbagai pandangan, kebijakan yang dihasilkan akan lebih matang, mencakup berbagai aspek, dan mempertimbangkan kepentingan semua pihak.
- Pembangunan yang Efektif: APBD yang disepakati bersama dan didasarkan pada prioritas yang jelas akan mendorong program-program pembangunan yang tepat sasaran dan berdaya guna.
- Akuntabilitas yang Tinggi: Adanya fungsi pengawasan dari DPRD membuat Kepala Daerah lebih berhati-hati dan transparan dalam menjalankan tugasnya, sehingga mengurangi potensi korupsi dan penyalahgunaan wewenang.
- Stabilitas Politik Lokal: Hubungan yang harmonis menciptakan iklim politik yang stabil, menarik investasi, dan memberikan rasa aman bagi masyarakat.
- Partisipasi Publik yang Lebih Luas: Sinergi keduanya dapat membuka ruang partisipasi yang lebih besar bagi masyarakat dalam proses perencanaan dan pengawasan kebijakan.
Konflik dan Tantangan: Ketika Perbedaan Muncul ke Permukaan
Namun, tidak semua “dansa” selalu mulus. Konflik adalah bagian tak terpisahkan dari hubungan ini, dan bisa muncul karena beberapa faktor:
- Perbedaan Visi dan Kepentingan Politik: Kepala Daerah mungkin memiliki visi pembangunan yang berbeda dengan mayoritas anggota DPRD, terutama jika mereka berasal dari partai politik yang berbeda atau memiliki agenda politik yang kontras.
- Dominasi Kekuasaan: Terkadang, Kepala Daerah terlalu dominan dan menganggap DPRD hanya sebagai stempel, atau sebaliknya, DPRD terlalu intervensif hingga menghambat kinerja eksekutif.
- Kapasitas Sumber Daya Manusia: Keterbatasan pemahaman teknis atau kemampuan negosiasi dari salah satu pihak bisa menghambat proses pembahasan kebijakan. Anggota DPRD yang kurang paham substansi kebijakan atau eksekutif yang tidak mampu menjelaskan argumennya dengan baik bisa memicu kebuntuan.
- Intervensi Pihak Luar: Tekanan dari partai politik, kelompok kepentingan, atau bahkan pihak swasta dapat memengaruhi pengambilan keputusan dan menimbulkan konflik.
- Kecurigaan dan Ketidakpercayaan: Jika komunikasi tersumbat, mudah timbul kecurigaan antar lembaga, yang pada akhirnya merusak hubungan dan menghambat penyusunan kebijakan.
- Faktor Individual: Karakteristik dan kepribadian pemimpin di kedua lembaga juga sangat berpengaruh. Kepala Daerah yang otoriter atau Ketua DPRD yang ambisius bisa memperkeruh suasana.
Mekanisme “Check and Balance”: Penyeimbang Kekuatan
Konflik sebenarnya bukanlah hal yang selalu negatif. Dalam konteks demokrasi, konflik yang sehat adalah bagian dari mekanisme “check and balance” (saling mengontrol dan menyeimbangkan). DPRD memiliki berbagai hak untuk mengawasi dan bahkan mengoreksi Kepala Daerah, seperti:
- Hak Interpelasi: Meminta keterangan kepada Kepala Daerah mengenai kebijakan penting.
- Hak Angket: Melakukan penyelidikan terhadap kebijakan Kepala Daerah yang diduga bertentangan dengan peraturan perundang-undangan.
- Hak Menyatakan Pendapat: Menyampaikan pendapat atas kebijakan Kepala Daerah atau kejadian luar biasa di daerah.
Penggunaan hak-hak ini menunjukkan bahwa DPRD bukan sekadar “tukang stempel”, melainkan mitra kritis yang berwenang untuk menjaga akuntabilitas Kepala Daerah.
Faktor Penentu Keberhasilan Hubungan
Agar “dansa” demokrasi lokal ini berjalan harmonis dan produktif, ada beberapa faktor kunci yang harus diperhatikan:
- Komunikasi yang Efektif dan Terbuka: Keterbukaan informasi dan dialog yang intensif adalah fondasi utama. Pertemuan rutin, forum konsultasi, dan kesediaan untuk mendengarkan pandangan lain sangat penting.
- Kapasitas dan Profesionalisme: Anggota DPRD dan jajaran birokrasi di bawah Kepala Daerah harus memiliki kapasitas yang memadai dalam memahami substansi kebijakan, keuangan daerah, dan regulasi. Pendidikan dan pelatihan berkelanjutan sangat diperlukan.
- Transparansi dan Akuntabilitas: Seluruh proses penyusunan kebijakan, mulai dari perencanaan hingga pengesahan, harus transparan dan dapat diakses oleh publik. Ini membangun kepercayaan dan mengurangi ruang gerak bagi praktik KKN.
- Kematangan Politik: Baik DPRD maupun Kepala Daerah harus menunjukkan kematangan dalam berpolitik, mengedepankan kepentingan rakyat di atas kepentingan pribadi atau golongan. Sikap legawa untuk berkompromi dan mencari jalan tengah adalah kunci.
- Partisipasi Publik yang Bermakna: Melibatkan masyarakat secara aktif dalam setiap tahapan penyusunan kebijakan, misalnya melalui Musrenbang, forum konsultasi publik, atau media sosial, akan memperkuat legitimasi kebijakan dan mengurangi potensi konflik.
- Penegakan Aturan Hukum: Komitmen untuk selalu berpegang teguh pada koridor hukum adalah harga mati. Pelanggaran aturan hanya akan merusak hubungan dan merugikan rakyat.
Penutup: Masa Depan Tata Kelola Daerah yang Lebih Baik
Hubungan antara DPRD dan Kepala Daerah dalam penyusunan kebijakan adalah cerminan dari kematangan demokrasi lokal kita. Ia adalah sebuah proses pembelajaran yang berkelanjutan, di mana kedua lembaga harus terus beradaptasi, bernegosiasi, dan berkolaborasi demi satu tujuan: mewujudkan kesejahteraan masyarakat di daerah.
Meskipun dinamika yang terjadi bisa berliku, dengan harmoni dan konflik yang silih berganti, esensinya tetap sama: memastikan bahwa setiap kebijakan yang lahir adalah produk terbaik dari perwakilan rakyat dan pelaksana pemerintahan, yang benar-benar menjawab kebutuhan dan aspirasi warga.
Sebagai masyarakat, peran kita juga tidak kalah penting. Dengan memahami proses ini, kita bisa menjadi warga negara yang lebih aktif, kritis, dan partisipatif dalam mengawasi jalannya pemerintahan daerah. Mari bersama-sama mendorong terwujudnya tata kelola pemerintahan daerah yang bersih, transparan, akuntabel, dan berpihak pada rakyat. Karena pada akhirnya, kitalah yang merasakan langsung dampak dari setiap “dansa” kebijakan yang dimainkan oleh DPRD dan Kepala Daerah.