Skema Bantuan Pendidikan Surabaya 2026 Dikritik DPRD, Potensi Kesenjangan Sosial

PARLEMENTARIA.ID – Komisi A DPRD Kota Surabaya meminta Bagian Pemerintahan dan Kesejahteraan Rakyat (Bapemkesra) Pemkot Surabaya mengkaji kembali rencana perubahan skema bantuan pendidikan tahun 2026. Permintaan itu disampaikan dalam rapat pembahasan Rancangan Peraturan Daerah (Raperda) APBD 2026, Senin (20/10/2025), di ruang Komisi A DPRD Kota Surabaya.

Ketua Komisi A DPRD Surabaya, Yona Bagus Widyatmoko, menilai kebijakan baru Pemkot berpotensi menimbulkan ketidakadilan dan kecemburuan sosial. “Kami berpikir, baik siswa negeri maupun swasta sama-sama berasal dari keluarga miskin atau pramiskin. Kalau bantuan biaya pendidikan untuk yang negeri dihapus, pasti akan timbul polemik di bawah,” jelas Yona, yang akrab disapa Cak Yebe.

Dalam rencana APBD 2026, Pemkot berencana menghapus Bantuan Pemuda Tangguh bagi siswa SMA negeri dan mengalihkannya hanya dalam bentuk bantuan seragam. Sementara, siswa swasta justru mendapat kenaikan nilai bantuan menjadi Rp500.000 per siswa per bulan.

Berdasarkan data yang dipaparkan, saat ini terdapat 16.800 siswa SMA/SMK penerima Beasiswa Pemuda Tangguh, dengan 9.858 siswa berasal dari sekolah swasta dan 6.942 siswa dari sekolah negeri. Selama ini, seluruh penerima, baik negeri maupun swasta, memperoleh bantuan biaya pendidikan Rp200.000 per bulan yang dikirim langsung ke siswa.

Yona menegaskan, kenaikan bantuan untuk siswa swasta memang positif, namun terlalu tinggi dan berisiko menimbulkan kesenjangan sosial. “Kami menyarankan agar bantuan untuk swasta tidak langsung Rp500.000. Lebih baik dinaikkan menjadi Rp250.000 saja, tapi kuotanya dua kali lipat agar lebih banyak keluarga miskin tercover,” ujar Yona.

Selain itu, mekanisme penyaluran bantuan yang baru, yaitu langsung ditransfer ke rekening sekolah, juga menjadi sorotan. Menurut Yona, sistem ini rawan disalahgunakan jika tidak diawasi ketat. “Kalau dana ditransfer ke sekolah, harus ada pengawasan ketat. Jangan sampai ada penyalahgunaan dana, misalnya SPP tidak sampai Rp500.000 tapi sekolah tetap menerima penuh,” tegasnya.

Komisi A menekankan agar Pemkot tidak terburu-buru menerapkan kebijakan tanpa kajian mendalam. “Setiap kebijakan publik harus berpihak pada keadilan sosial, terutama bagi keluarga miskin dan pramiskin di Kota Surabaya. Kami akan mendorong TAPD dan Pemkot meninjau ulang nilai bantuan dan sistem penyalurannya,” pungkas Yona.

Sementara itu, Kepala Bapemkesra Kota Surabaya, Arif Boediarto, menegaskan Pemkot tidak bermaksud mengurangi bantuan, melainkan menyempurnakan sistem agar lebih transparan dan efisien. “Tujuannya tetap sama, memastikan tidak ada anak Surabaya yang putus sekolah karena persoalan biaya. Dana langsung ditransfer ke sekolah supaya penggunaannya tepat sasaran,” jelas Arif.***