PARLEMENTARIA.ID – Putusan Mahkamah Konstitusi (MK) terbaru mengubah dinamika politik di Dewan Perwakilan Rakyat (DPR). Dalam putusan yang dikeluarkan, MK menetapkan bahwa setiap alat kelengkapan Dewan (AKD) harus memiliki keterwakilan perempuan, baik dari anggota maupun pimpinan. Hal ini menjadi langkah penting dalam upaya mendorong kesetaraan gender di lingkungan parlemen.
Alat Kelengkapan Dewan dan Komposisi Pimpinan
DPR memiliki 24 alat kelengkapan, termasuk komisi, badan musyawarah, dan panitia khusus. Setiap AKD memiliki struktur pimpinan yang bersifat sementara, artinya posisi tersebut dapat berubah seiring waktu. Meskipun demikian, putusan MK memperkuat keharusan adanya keterwakilan perempuan di setiap level.
Beberapa pimpinan AKD sebelum putusan MK belum sepenuhnya mencerminkan keberagaman gender. Berikut adalah contoh komposisi pimpinan beberapa AKD:
- Pimpinan DPR: Puan Maharani (Ketua), Sufmi Dasco Ahmad, Adies Kadir (nonaktif), Saan Mustopa, Cucun Ahmad Syamsurijal
- Komisi I DPR: Utut Adianto (Ketua), Dave Laksono, Budi Djiwandono, Sukamta, Anton Sukartono Suratto
- Komisi II DPR: Muhammad Rifqinizamy Karsayuda (Ketua), Aria Bima, Zulfikar Arse Sadikin, Bahtra Banong, Dede Yusuf
- Komisi III DPR: Habiburokhman (Ketua), Dede Indra Permana Soediro, Sari Yuliati, Rusdi Masse Mappasessu, Rano Alfath
Persyaratan Keterwakilan Perempuan
Putusan MK menegaskan bahwa setiap AKD, mulai dari komisi hingga badan legislasi, harus memiliki keterwakilan perempuan. Aturan ini mencakup tidak hanya anggota, tetapi juga pimpinan. MK menilai saat ini keterwakilan perempuan masih terpusat pada komisi-komisi tertentu seperti sosial, perlindungan anak, dan pemberdayaan perempuan.
Hakim MK Saldi Isra menjelaskan bahwa mekanisme internal DPR perlu dibuat untuk menjamin keseimbangan. Salah satu cara adalah dengan menugaskan anggota perempuan dalam setiap AKD sesuai kapasitas mereka. Jika suatu fraksi memiliki lebih dari satu perwakilan di AKD, minimal 30% dari jumlah tersebut harus perempuan.
Proses Pemilihan Pimpinan AKD
Pemilihan pimpinan AKD dilakukan melalui rapat paripurna dan prinsip musyawarah untuk mufakat. Untuk panitia khusus, pimpinan dipilih oleh anggota panitia khusus dan disetujui oleh pimpinan DPR. Langkah ini bertujuan agar setiap AKD memiliki representasi yang proporsional dan inklusif.
Latar Belakang Gugatan
Gugatan terkait keterwakilan perempuan diajukan oleh tiga pihak yaitu Perkumpulan untuk Pemilu dan Demokrasi (Perludem), Koalisi Perempuan Indonesia, dan Titi Anggraini. MK menyatakan bahwa setiap AKD harus memiliki keterwakilan perempuan secara berimbang. Hal ini menjadi dasar bagi DPR untuk merevisi struktur organisasi dan proses pemilihan pimpinan.
Implikasi Putusan MK
Putusan ini akan berdampak langsung pada struktur kepengurusan DPR. Fraksi-fraksi harus memastikan bahwa anggota perempuan terlibat dalam setiap AKD. Selain itu, aturan internal DPR perlu diperbarui untuk mencerminkan kebijakan baru ini.
Komentar dari Tokoh Politik
Elite Partai NasDem menyambut baik putusan MK. Mereka menilai langkah ini sebagai bentuk komitmen terhadap kesetaraan gender. Namun, ada juga yang menyoroti tantangan dalam implementasi aturan ini, terutama dalam pengaturan keterwakilan perempuan di berbagai AKD.
Tantangan dan Peluang
Meski putusan MK memberikan arahan jelas, pelaksanaannya memerlukan koordinasi antara fraksi dan lembaga DPR. Tantangan utama adalah memastikan bahwa setiap AKD memiliki keterwakilan perempuan tanpa mengorbankan kualitas atau efisiensi kerja. Di sisi lain, hal ini juga membuka peluang bagi perempuan untuk lebih aktif dalam dunia politik.
Kesimpulan
Putusan MK tentang keterwakilan perempuan di DPR menandai perubahan signifikan dalam struktur dan kebijakan politik nasional. Dengan adanya aturan ini, harapan besar diletakkan pada kemajuan kesetaraan gender di tingkat parlemen. Kedepannya, DPR diharapkan mampu menjalankan putusan ini dengan transparan dan inklusif.

 
																				




