PARLEMENTARIA.ID – Upaya Menteri Keuangan (Menkeu) RI, Purbaya Yudhi Sadewa, dalam memburu 200 penunggak pajak besar yang ditargetkan mencapai Rp 20 triliun mendapat sorotan tajam dari Politikus PDI Perjuangan (PDIP).
Anggota PDIP, Guntur Romli atau Gun Romli, secara terang-terangan memberikan dukungan, sekaligus mengajukan tantangan kepada Purbaya agar segera meminta kewajiban negara lain yang sudah berkekuatan hukum.
Gun Romli meminta Purbaya agar tidak hanya mengutamakan penunggak pajak biasa, tetapi juga menagih dana sebesar Rp4,4 triliun dari Keluarga Presiden RI ke-2 Soeharto, sesuai dengan Putusan Mahkamah Agung (MA).
Gun Romli menganggap, peningkatan angka tersebut akan memperkuat penerimaan negara secara signifikan.
Awalnya, Gun Romli memuji gebrakan berani Purbaya sebagai menteri yang terhitung baru.
“Bagus nih Pak Purbaya mengingatkan, pengemplang pajak 20 triliun bagus pak” katanya melalui Instagram pribadi @gunromli, Jumat (14/11/2025).
Kemudian, Gun Romli menyebutkan dana sebesar Rp4,4 triliun dari Keluarga Soeharto yang juga harus dibayarkan oleh pemerintah.
“Tapi saya ingin menyampaikan sesuatu, Pak. Ada dana sebesar 4,4 triliun rupiah yang juga harus dipanggil dari Keluarga Soeharto,” ujar Romli.
Romli memastikan, dana yang wajib ditagih tersebut sudah sesuai dengan Putusan MA.
“Putusan sudah ada pak, Mahkamah Agung Nomor 140 PK/PDT 2015. Kan lumayan tuh pak 20 triliun ditambah 4,4 triliun jadi 24,4 triliun, segera pak!” tambahnya.
Menutup pernyataannya, Romli kembali memuji kinerja Purbaya.
“Keren Pak Purbaya, tagih terus pengemplang pajak dan juga hartanya Keluarga Soeharto,” tambah Romli.
Aset Keluarga Cendana yang Disita Negara
Melansir laporan Kompas.com (grup suryamalang), dalam liputan 30 April 2021, aset-aset milik Keluarga Cendana atau keluarga Soeharto secara perlahan mulai diambil alih oleh pemerintah.
Daftar aset yang disita oleh pemerintah meliputi antara lain Taman Mini Indonesia Indah (TMII), serta ratusan rekening milik keluarga tersebut.
Alasan penyitaan aset Keluarga Cendana dilakukan agar Penerimaan Negara Bukan Pajak (PNBP) bisa masuk ke kas negara.
Berikut adalah daftar aset yang dimiliki oleh Keluarga Soeharto dan diambil alih oleh negara:
1. TMII
Pengelolaan Taman Mini Indonesia Indah (TMII) secara resmi diambil alih oleh negara setelah Presiden ke-7 Republik Indonesia, Joko Widodo, menandatangani Peraturan Presiden (PP) Nomor 19 Tahun 2021, sehingga pemerintah secara sah mengambil alih pengelolaan Taman Mini Indonesia Indah (TMII).
Sebelum negara mengambil alih, pengelolaan aset seluas hampir 150 hektar tersebut dilakukan oleh Yayasan Harapan Kita selama 44 tahun.
Sebelum keputusan pengambilalihan diambil, dilakukan pemeriksaan keuangan oleh tim hukum Fakultas Hukum Universitas Gadjah Mada (UGM), Badan Pengawasan Keuangan dan Pembangunan (BPKP), serta Badan Pemeriksa Keuangan (BPK).
Hasil audit BPK menyatakan, perlu dilakukan pengelolaan yang lebih baik terhadap TMII.
Berdasarkan penilaian yang dilakukan oleh Kemensetneg dan Kementerian Keuangan (Kemenkeu) pada tahun 2018, TMII diperkirakan bernilai sekitar Rp 20 triliun.
2. Gedung dan Vila
Penyitaan Gedung Granadi dan villa di Megamendung bermula ketika pemerintah menyita aset Yayasan Supersemar tahun 2018.
Penyitaan ini dimulai ketika pemerintah menuntut Soeharto dan Yayasan Supersemar terkait dugaan penyalahgunaan dana beasiswa dari Yayasan Supersemar.
Dana tersebut seharusnya diberikan kepada para pelajar. Sayangnya, yayasan justru menyalurkan kepada sejumlah perusahaan.
Akhirnya yayasan diwajibkan membayar Rp 4,4 triliun kepada negara. Kedua aset itu pun disita.
Saat ini, dua aset milik keluarga presiden ke-2 RI itu masih disita oleh dua Pengadilan Negeri.
Pengadilan yang dimaksud adalah Pengadilan Negeri Jakarta Selatan serta Pengadilan Negeri Cibinong.
Kendati demikian, pengelolaan aset nantinya tetap dipegang oleh Kemenkeu melalui Direktorat Jenderal Kekayaan Negara (DJKN), mengingat status aset tersebut adalah Barang Milik Negara (BMN).
Sementara pengguna barangnya adalah kementerian atau lembaga terkait yang mengambil alih, seperti halnya TMII diambil alih Kementerian Sekretariat Negara (Kemensetneg).
3. Rekening
Kejaksaan Agung Republik Indonesia telah mengumpulkan dana lebih dari Rp 242 miliar dari pelaksanaan Yayasan Supersemar.
Uang sitaan tersebut sudah dimasukkan ke kas negara pada 28 November 2019.
Penyitaan dilakukan oleh Kejaksaan Agung sebagai bentuk pelaksanaan putusan kasasi Mahkamah Agung, yaitu penyitaan aset serta memaksa Yayasan Supersemar untuk membayar negara sebesar Rp 4,4 triliun.
Aset lain yang telah disita dari keluarga Cendana antara lain 113 rekening berupa deposito dan giro, dua bidang tanah seluas 16.000 meter persegi di Jakarta dan Bogor, serta enam unit kendaraan roda empat.
Hasil Purbaya Tagih 200 Penunggak Pajak
Sementara itu, Purbaya memang membuat gebrakan mengejar 200 penunggak pajak jumbo untuk memperkuat penerimaan negara.
Dari penagihan tunggakan pajak ini, Purbaya dapat mengantongi sekitar Rp60 triliun untuk masuk ke penerimaan negara.
“Kita punya list 200 penunggak pajak besar. Itu yang sudah inkrah. Kita mau kejar, eksekusi,” ujarnya dalam konferensi pers APBN KiTa di kantornya, Jakarta, Senin (22/9/2025).
Purbaya memastikan 200 penunggak pajak ini tidak dapat lari dari kewajibannya kepada negara.
“Dalam waktu dekat ini kita tagih, dan mereka enggak bisa lari,” tegasnya.
Langkah ini menjadi bagian dari quick win Kementerian Keuangan di bawah kepemimpinan Purbaya.
Purbaya menegaskan, pemerintah ingin memperkuat penerimaan negara tanpa menaikkan tarif pajak maupun menciptakan beban baru bagi masyarakat.
“Saya meningkatkan pendapatan bukan dengan menaikkan tarif, tetapi dengan mendorong aktivitas ekonomi agar pajak menjadi lebih besar, Anda pun tidak merasa terbebani dalam membayarnya. Jika perekonomian tumbuh pesat, maka Anda akan senang membayar pajaknya. Itulah yang kita tuju,” katanya.
Tercatat, per-15 Oktober 2025, sebanyak Rp7,21 triliun dari total Rp60 triliun tunggakan pajak dari 200 pengemplang pajak telah berhasil ditagih.
Perolehan itu meningkat Rp216 miliar dibandingkan data 8 Oktober lalu. Jumlah tersebut didapat dari 91 wajib pajak yang telah mulai membayar dan mencicil tagihan pajak.
Ditargetkan hingga akhir tahun ini Direktorat Jenderal Pajak (DJP) dapat menagih sekitar Rp 20triliun. Sementara Rp 40 triliun sisanya akan ditagihkan pada 2026.
Tindakan Purbaya ini memperoleh dukungan dari kalangan ekonom.
Direktur Center of Economic and Law Studies (Celios) Bhima Yudhistira menilai, upaya mengejar pengemplang pajak besar jauh lebih efektif dibanding kembali membuka program tax amnesty.
“Daripada tax amnesty memang lebih baik mengejar potensi pajak yang belum disetor dari pengusaha kakap terutama di sektor ekstraktif,” ujar Bhima, Jumat (17/10/2025).
Menurut Bhima, pemerintah juga harus memperkuat pengawasan terhadap perbedaan data ekspor-impor beberapa komoditas yang berisiko menyebabkan kebocoran pajak.
Misalnya, terkait ekspor produk kayu berupa wood pellet ke Jepang. Studi Celios menemukan perbedaan data yang tercatat di Direktorat Jenderal Bea dan Cukai dengan data di tujuan ekspor.
Jika pemerintah serius menagih tunggakan pajak dan menutup kebocoran penerimaan, maka rasio pajak Indonesia bisa naik signifikan tanpa perlu menambah pajak baru bagi masyarakat.
“Rasio pajak bisa di atas 12 persen tanpa ada beban pajak baru ke kelas menengah,” tutur Bhima. ***






