Parlemen Adalah Lembaga Pembuat Undang-Undang: Pahami Tahapan dan Prosesnya dari Awal Hingga Sah

PARLEMENTARIA.ID – Pernahkah Anda bertanya-tanya bagaimana sebuah aturan tentang lalu lintas, pajak, pendidikan, atau bahkan perlindungan data pribadi bisa lahir dan berlaku untuk seluruh warga negara Indonesia? Di balik setiap pasal yang kita patuhi, ada sebuah proses panjang, rumit, dan penuh dinamika yang terjadi di sebuah lembaga bernama Parlemen adalah lembaga.

Parlemen, yang di Indonesia diwakili oleh Dewan Perwakilan Rakyat (DPR), adalah jantung dari demokrasi legislatif. Fungsinya bukan sekadar bersidang dan berdebat, tetapi memegang mandat konstitusional sebagai lembaga pembuat undang-undang. Proses ini tidak terjadi dalam semalam. Ia melibatkan berbagai tahapan, negosiasi, dan partisipasi banyak pihak.

Jadi, bagaimana sebenarnya sebuah ide bisa bertransformasi menjadi undang-undang yang mengikat? Mari kita bedah tuntas proses dan tahapan yang terjadi di dalam “dapur” legislasi Indonesia.

Apa Itu Parlemen dan Mengapa Perannya Begitu Penting?

Sebelum menyelam ke dalam proses teknis, penting untuk memahami esensi dari parlemen itu sendiri. Dalam sistem ketatanegaraan Indonesia yang menganut prinsip Trias Politica (pemisahan kekuasaan), kekuasaan negara dibagi menjadi tiga:

  1. Eksekutif: Pemerintah (Presiden dan jajarannya) yang bertugas menjalankan undang-undang.
  2. Yudikatif: Mahkamah Agung (MA) dan Mahkamah Konstitusi (MK) yang bertugas mengadili pelanggaran undang-undang.
  3. Legislatif: Parlemen (DPR, DPD) yang bertugas membuat dan membentuk undang-undang.

Fokus kita adalah pada lembaga legislatif. Di Indonesia, parlemen terdiri dari Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) dan Dewan Perwakilan Daerah (DPD). Keduanya memiliki peran dalam proses legislasi, meskipun DPR memegang porsi dominan.

Fungsi utama DPR terbagi menjadi tiga, yang sering disebut Tri Fungsi Dewan:

  • Fungsi Legislasi: Membentuk undang-undang bersama Presiden.
  • Fungsi Anggaran: Membahas dan memberikan persetujuan terhadap Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) yang diajukan Presiden.
  • Fungsi Pengawasan: Mengawasi jalannya pemerintahan.

Artikel ini akan fokus pada fungsi legislasi, sebuah pilar utama yang memastikan negara berjalan di atas rel hukum yang jelas.

Titik Awal Lahirnya Undang-Undang: Program Legislasi Nasional (Prolegnas)

Sebuah undang-undang tidak muncul begitu saja dari ruang hampa. Pembuatannya harus terencana dan sistematis. Inilah fungsi dari Program Legislasi Nasional (Prolegnas).

Anggap saja Prolegnas adalah “peta jalan” atau “menu utama” legislasi di Indonesia. Prolegnas adalah daftar Rancangan Undang-Undang (RUU) yang disusun berdasarkan skala prioritas untuk periode tertentu. Tujuannya adalah agar pembentukan hukum berjalan terarah, terpadu, dan sesuai dengan kebutuhan pembangunan nasional.

Siapa yang Menyusun Prolegnas?
Prolegnas disusun bersama oleh DPR, DPD, dan Pemerintah (diwakili oleh Menteri Hukum dan HAM).

Jenis Prolegnas:

  • Prolegnas Jangka Menengah: Berlaku untuk periode 5 tahun.
  • Prolegnas Prioritas Tahunan: Daftar RUU yang menjadi target untuk diselesaikan dalam satu tahun sidang.

Sebuah RUU yang masuk ke dalam Prolegnas Prioritas Tahunan memiliki peluang lebih besar untuk dibahas dan disahkan. Ini adalah gerbang pertama yang harus dilalui oleh setiap ide hukum.

Tahapan Lengkap Proses Parlemen adalah Lembaga Pembuat Undang-Undang di Indonesia

Setelah sebuah RUU masuk dalam Prolegnas, perjalanan sesungguhnya dimulai. Proses ini diatur secara rinci dalam Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan. Secara garis besar, prosesnya terbagi menjadi lima tahap utama.

Tahap 1: Perencanaan dan Pengusulan Rancangan Undang-Undang (RUU)

Sebuah RUU, yang pada dasarnya adalah draf atau cetak biru sebuah hukum, bisa berasal dari tiga pihak:

  1. DPR: Inisiatif bisa datang dari anggota, komisi, gabungan komisi, atau Badan Legislasi (Baleg).
  2. Presiden: Presiden menunjuk menteri terkait untuk menyiapkan RUU atas nama pemerintah.
  3. DPD: Khusus untuk RUU yang berkaitan dengan otonomi daerah, hubungan pusat dan daerah, pembentukan dan pemekaran daerah, pengelolaan sumber daya alam, serta perimbangan keuangan pusat dan daerah.

Setiap RUU yang diusulkan wajib disertai dengan Naskah Akademik. Ini bukan sekadar dokumen formalitas. Naskah Akademik adalah hasil kajian ilmiah yang mendalam mengenai alasan filosofis, sosiologis, dan yuridis mengapa RUU tersebut perlu dibuat. Ia berisi latar belakang, tujuan, sasaran, dan jangkauan pengaturan.

Setelah RUU dan Naskah Akademiknya siap, pimpinan DPR akan mengumumkan usulan tersebut dalam sidang paripurna dan membagikannya kepada seluruh anggota serta pemerintah.

Tahap 2: Pembahasan di Tingkat I – Dapur Utama Legislasi

Inilah tahap yang paling krusial, dinamis, dan sering kali memakan waktu paling lama. Pembahasan Tingkat I adalah proses “memasak” RUU yang dilakukan bersama antara DPR dan Pemerintah.

  • Pihak yang Terlibat:
    • Dari sisi DPR, pembahasan dilakukan oleh alat kelengkapan dewan yang ditugaskan, bisa berupa Komisi, Badan Legislasi (Baleg), atau Panitia Khusus (Pansus).
    • Dari sisi Pemerintah, Presiden akan menunjuk menteri yang relevan dengan substansi RUU untuk mewakili pemerintah.
  • Proses Utama:
    1. Pengajuan Daftar Inventarisasi Masalah (DIM): Pihak yang tidak mengusulkan RUU (misalnya, jika RUU dari DPR, maka Pemerintah yang mengajukan DIM) akan menyiapkan Daftar Inventarisasi Masalah (DIM). DIM adalah daftar tanggapan terhadap setiap pasal dalam RUU, yang berisi tiga kategori: pasal yang disetujui, pasal yang diusulkan untuk diubah, atau pasal yang diusulkan untuk dihapus/ditambah.
    2. Rapat Kerja dan Negosiasi: DPR dan Pemerintah akan duduk bersama membahas setiap DIM. Di sinilah perdebatan sengit, lobi, dan negosiasi terjadi. Setiap kata, frasa, dan koma dalam pasal diperdebatkan untuk mencapai kesepakatan.
    3. Partisipasi Publik: Dalam tahap ini, pintu untuk masukan publik dibuka lebar melalui Rapat Dengar Pendapat (RDP) atau Rapat Dengar Pendapat Umum (RDPU). Para akademisi, praktisi, organisasi masyarakat sipil, dan kelompok terdampak diundang untuk memberikan pandangan mereka. Ini adalah wujud dari prinsip legislasi yang partisipatif.

Hasil akhir dari Pembahasan Tingkat I adalah naskah RUU yang telah disepakati bersama oleh fraksi-fraksi di DPR dan Pemerintah.

Tahap 3: Pembahasan di Tingkat II – Pengambilan Keputusan Final

Setelah matang di “dapur” Tingkat I, RUU dibawa ke panggung utama, yaitu Sidang Paripurna DPR. Ini adalah forum tertinggi di DPR tempat keputusan final diambil.

Proses di Sidang Paripurna meliputi:

  1. Laporan dari Pimpinan Komisi/Pansus: Pimpinan alat kelengkapan yang membahas RUU akan menyampaikan laporan mengenai proses pembahasan dan hasilnya.
  2. Pendapat Akhir Fraksi: Setiap fraksi di DPR diberikan kesempatan untuk menyampaikan pandangan akhir mereka, apakah menyetujui atau menolak RUU tersebut untuk disahkan menjadi undang-undang.
  3. Persetujuan Bersama: Ketua Sidang Paripurna akan menanyakan kepada seluruh anggota yang hadir, “Apakah Rancangan Undang-Undang ini dapat disetujui untuk disahkan menjadi Undang-Undang?”

Pengambilan keputusan diutamakan melalui musyawarah untuk mufakat. Namun, jika mufakat tidak tercapai, keputusan akan diambil melalui suara terbanyak (voting). Jika RUU disetujui, maka proses di DPR telah selesai.

Tahap 4: Pengesahan oleh Presiden – Tanda Tangan yang Menentukan

RUU yang telah mendapat persetujuan bersama DPR dan Pemerintah kemudian diserahkan kepada Presiden untuk disahkan. Presiden memiliki waktu 30 hari untuk menandatangani RUU tersebut sejak diterima.

Di sinilah ada satu mekanisme konstitusional yang unik dan penting untuk diketahui:

  • Jika Presiden Menandatangani: RUU tersebut resmi menjadi Undang-Undang.
  • Jika Presiden TIDAK Menandatangani: Setelah lewat 30 hari, RUU tersebut otomatis sah menjadi Undang-Undang dan wajib diundangkan.

Ketentuan ini memastikan bahwa proses legislasi tidak dapat terhambat atau diveto secara mutlak oleh Presiden setelah adanya persetujuan bersama.

Tahap 5: Pengundangan dan Sosialisasi – Agar Masyarakat Tahu

Tahap terakhir adalah pengundangan. Menteri Hukum dan HAM akan membubuhkan nomor pada Undang-Undang tersebut dan mencatatnya dalam Lembaran Negara Republik Indonesia. Sejak diundangkan, undang-undang tersebut resmi berlaku dan memiliki kekuatan hukum mengikat bagi seluruh warga negara.

Namun, tugas belum selesai. Pemerintah dan DPR memiliki kewajiban untuk menyebarluaskan atau mensosialisasikan undang-undang baru ini kepada masyarakat agar publik memahami isi, tujuan, dan implikasinya.

Peran DPD dan Pemerintah: Bukan Sekadar Pelengkap

Meskipun DPR menjadi sorotan utama, peran DPD dan Pemerintah tidak bisa diabaikan.

  • Peran DPD: DPD memiliki hak untuk mengajukan RUU terkait kewenangannya dan ikut membahasnya pada Pembahasan Tingkat I. Meskipun DPD tidak ikut dalam pengambilan keputusan di Sidang Paripurna DPR (kecuali untuk RUU tertentu), masukan dan pertimbangan mereka sangat vital untuk memastikan aspirasi daerah terakomodasi.
  • Peran Pemerintah (Presiden): Pemerintah bukan hanya “stempel” persetujuan. Mereka adalah mitra setara DPR dalam proses legislasi. Pemerintah bisa menjadi inisiator RUU, memberikan DIM, dan melakukan negosiasi intensif di Tingkat I. Tanpa persetujuan Pemerintah, sebuah RUU dari DPR tidak bisa melaju ke tahap pengesahan.

Kesimpulan: Proses Kompleks untuk Hukum yang Berkualitas

Melihat seluruh tahapan di atas, jelas bahwa parlemen adalah lembaga pembuat undang-undang yang bekerja melalui mekanisme yang terstruktur, transparan, dan (idealnya) partisipatif. Proses dari sebuah ide mentah menjadi undang-undang yang sah adalah perjalanan panjang yang menuntut kecermatan, kompromi politik, dan landasan keilmuan yang kuat.

Sebagai warga negara, memahami proses ini memberi kita kekuatan. Kita jadi tahu di titik mana kita bisa memberikan masukan, bagaimana cara mengawal sebuah RUU, dan mengapa sebuah undang-undang bisa memakan waktu bertahun-tahun untuk disahkan. Demokrasi yang sehat tidak hanya berhenti di bilik suara, tetapi juga berlanjut dengan pengawasan aktif terhadap bagaimana para wakil kita di parlemen menjalankan fungsi legislasi mereka.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *