Menanti Partai Berideologi

Oleh: Hilman Gufron

Dosen Polban

Bayangkan sebuah pa­sar politik di mana semua pedagang menawarkan ­barang serupa, tanpa label harga atau kualitas yang jelas. Itulah gambaran partai politik Indonesia saat ini. Di tengah hiruk-pikuk Pemilu 2024 dan koalisi raksasa di bawah pemerintahan Prabowo Su­bianto, partai-partai seolah kehilangan arah: nasionalis, Islamis, atau sekuler? Sosialis atau liberal? Semua melebur, didorong ambisi kekuasaan dan figur populer. Ketidakjelasan ideologi ini bukan sekadar kelemahan administratif, melainkan krisis identitas yang menggerus kepercayaan publik dan melemahkan demokrasi. Sur­vei Celios 2025 menunjukkan hanya 40% pemilih muda merasa terwakili oleh partai mana pun.

Sejarah partai politik Indonesia dimulai dengan semangat ideologis kuat pasca-kemerdekaan. Maklumat X tahun 1945 membuka ruang bagi partai berbasis aliran: nasionalis seperti PNI Soe­karno, Islamis seperti Ma­syumi, sosialis seperti PSI, hingga komunis seperti PKI. Pancasila menjadi payung, namun perbedaan ideologi jelas: nasionalis menekan­kan kesatuan bangsa, Islamis peran agama, dan sosialis keadilan ekonomi. Era Orde Baru mengubah segalanya dengan asas tunggal Pancasila, menyederhanakan partai menjadi Golkar, PPP, dan PDI. Reformasi 1998 membuka multipartai, tetapi wa­risan pragmatisme bertahan. Kini, dengan 18 partai nasional, ideologi hanya retorika di anggaran dasar, se­men­tara praktiknya didominasi koalisi “pelangi” yang mengabaikan prinsip. Jurnal JIIP menyebut partai Indonesia “nirkonsistensi”, fo­kus pada kekuasaan jangka pendek ketimbang visi jangka panjang.

Dominasi

Ideologi partai sering kali kalah oleh kekuatan karisma seorang pemimpin. Pemilih lebih terikat pada tokoh seperti Jokowi atau Prabowo, sehingga partai dianggap sebagai “kendaraan” sementara. Pada 2025, PSI yang dipimpin Kaesang Pangarep melakukan perubahan identitas dengan logo gajah yang melambangkan “solidaritas”, tetapi mendapat kritik karena kurang jelas dan tanpa dasar ideologis yang kuat. Partai-partai bergabung dalam koalisi besar demi mendapatkan kursi menteri, meskipun ideologinya saling bertentangan—misalnya, PKS yang Islamis bermitra dengan PDIP yang nasionalis sekuler. Akibatnya, polarisasi hanya muncul dalam isu agama, namun tidak jelas dalam masalah ekonomi, di mana semua partai menawarkan infrastruktur dan subsidi yang serupa. Edward Aspinall menyebut partai Indonesia sebagai “kartel” yang membagi kekuasaan, bukan sebagai tempat persaingan ideologis.

Banyak kader yang naik pangkat karena dekat dengan elit atau dana, bukan karena pemahaman terhadap ideologi. Seminar Nasional Refleksi Delapan Dekade Demokrasi menyoroti ketidakdisiplinan internal: DPP partai tidak mampu mengkoordinasikan kebijakan, menyebabkan perselisihan antar kader dan visi yang tidak jelas. Contohnya, Gerindra yang lahir dari militerisme nasionalis, kini bersikap fleksibel dalam mendukung kebijakan neoliberal seperti Omnibus Law Cipta Kerja, yang dikritik oleh sosialis. Survei Celios 2025 menunjukkan bahwa 60% kader muda tidak memahami ideologi partai mereka, memperparah krisis identitas.

Pembuatan kebijakan dan undang-undang akan lebih komprehensif jika partai me­miliki ideologi kiri-kanan yang jelas. Bayangkan debat subsidi BBM 2025: partai kiri dengan hipotetis seperti Partai Buruh akan mempertahankan subsidi Rp 250 triliun untuk melindungi pekerja, didanai pajak progresif, dengan argumentasi data BPS bahwa kenaikan BBM menambah 2 juta orang miskin. Partai berideo­logi kanan akan mendorong bantuan langsung tunai dan investasi swasta untuk efi­siensi, merujuk data Kemen­keu bahwa 60% subsidi sa­lah sasaran. Isu lain seperti upah minimum regional (UMR) versus investasi asing juga menunjukkan potensi diskursus ideologi. Partai kiri akan menuntut kenaikan UMR 15% untuk melindungi 50 juta pekerja informal, seperti yang diusulkan serikat buruh di Jakarta 2025, dengan alasan inflasi 7% meningkatkan biaya hi­dup. Partai kanan akan me­nentang, mengutip data Kadin bahwa kenaikan UMR bisa kurangi investasi asing sebesar 10%, merujuk keberhasilan Vietnam menarik FDI dengan upah kompetitif. Di Inggris, debat pajak warisan 2024 antara Partai Labour yang mendukung redistribusi dan Partai Konservatif yang pro-pasar bebas memaksa kebijakan terukur dengan data ONS. Di Indonesia, koalisi raksasa 2025 melemahkan oposisi sehingga UU seperti Inpres No. 1/2025, yang menyebabkan PHK 250.000 pekerja, lolos tanpa kritik ideologis, memi­cu demo #ResetSystem. Ideologi yang jelas akan menciptakan parlemen yang hi­dup, bukan sekadar stempel pemerintah.

UU Partai Politik (No. 2/2011, direvisi 2023) me­wa­jibkan Pancasila sebagai asas, tetapi tidak memaksa diferensiasi ideologis, mendorong konvergensi ideologi. Studi UGM tentang UU KUHP dan Cipta Kerja me­nun­­jukkan partai oposisi me­nolak ide penguasa karena posisi kekuasaan, bukan karena prinsip. Di era Pra­bowo, koalisi 80% kursi DPR membuat oposisi minim, meng­hapus debat ideologis. Ini menciptakan kondisi “po­litik minus ideologi”, menurunkan partisipasi pe­milu menjadi 70% dari 81% pada 2019.

Dampak

Ketidakjelasan ideologi berdampak luas. Partisipasi menurun karena hanya 40% pemilih muda merasa terwakili. Oportunisme mendo­minasi: partai mengabaikan konstituen de­mi kekuasaan, seperti dalam UU Inpres No. 1/2025 yang memicu PHK massal. Krisis identitas juga nyata: sengkarut konflik partai menunjukkan ideologi ambigu memicu kontradiksi. Akar ma­salahnya, demokrasi me­lemah—indeks demokrasi Indonesia turun ke 6.5 pada 2025 menurut Freedom Hou­­se, karena partai gagal menjadi jembatan rakyat-pemerintah.

Untuk memulihkan de­mo­krasi, segera reformasi UU, ­wajibkan partai ­publi­­kasikan manifesto ideologis tahunan, seperti usul dari Lex Renaissance. Kaderisasi harus di­perkuat dengan pendidikan ideologi wajib, mengadopsi model se­kolah politik Eropa. Diferensiasi ideologi perlu di­dorong atas partai programatik, mengambil inspirasi dari sintesis Sukarno-Hatta soal nasionalisme dan kea­dil­an sosial. Masyarakat juga harus berperan melalui kampanye literasi politik, mendorong pemilih memilih ber­dasarkan ide, bukan to­koh.

Ketidakjelasan ideologi partai politik bukan nasib, me­lainkan pilihan yang bisa diubah. Saatnya menuntut par­tai dengan visi jelas, prinsip kuat, dan perwakilan aspirasi sejati. Dari diskusi publik hingga kotak suara, suarakan ideologi yang nyata—bukan janji kosong. Bukankah itu esensi politik yang benar-benar merdeka?***

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *