PARLEMENTARIA.ID – Ratusan warga Desa Adat Jimbaran mengunjungi Kantor DPRD Provinsi Bali di Niti Mandala Denpasar, Rabu (5/11), guna menyampaikan keluhan terkait dugaan pengambilalihan lahan pura oleh PT Jimbaran Hijau.
Tindakan ini merupakan kelanjutan dari proses negosiasi antara kedua belah pihak yang dilaksanakan di Kantor Lurah Jimbaran, Senin (3/11/2025) lalu.
Kepala Desa Adat Jimbaran, I Gusti Rai Dirga Arsana Putra, menegaskan bahwa tindakan ini dilakukan secara damai sebagai bentuk permintaan agar pemerintah menerapkan peraturan dengan adil.
“Kami tidak melakukan demonstrasi, kami hanya menyampaikan surat dan aspirasi kepada Pansus DPRD Bali. Kami berharap negara menerapkan aturan yang telah dibuatnya sendiri, bukan justru diatur oleh perusahaan-perusahaan,” kata Rai Dirga, Selasa (4/11).
Menurutnya, sekitar 50 orang warga akan mengikuti prosesi kirab mulai dari Pura Belong Batu Nunggul, menuju kantor PT Jimbaran Hijau, dan berakhir di Kantor DPRD Bali.
Rai Dirga menegaskan tindakan ini bukanlah bentuk perlawanan terhadap para investor, tetapi upaya untuk mendorong pemerintah agar hadir menyelesaikan masalah lahan yang sudah berlarut-larut.
“Kami tidak menginginkan konflik dengan para investor. Kami hanya berharap pemerintah menerapkan aturan secara adil dan memastikan hak-hak masyarakat adat dihormati,” tegasnya.
Isu ini muncul setelah Wayan Bulat dan warga pengempon Pura Belong Batu Nunggul mendapatkan bantuan dari Pemerintah Provinsi Bali untuk perbaikan pura.
Namun, proses pembangunan terhambat karena lahan pura disebut masih termasuk dalam Sertifikat Hak Guna Bangunan (SHGB) atas nama PT Jimbaran Hijau.
Padahal, menurut Rai Dirga, pura tersebut sudah ada jauh sebelum perusahaan itu berdiri. Ia berharap sikap PT Jimbaran Hijau sejalan dengan perusahaan pendahulunya, PT Citratama Selaras (CTS), yang pernah memberi izin renovasi di lokasi tersebut.
“Pura itu sudah diizinkan oleh PT CTS sejak dulu. Kami harap PT Jimbaran Hijau juga memberi ruang kepada pengempon untuk melanjutkan renovasi,” ujarnya.
Sebelumnya, pertemuan mediasi antara Desa Adat Jimbaran, Parisada Hindu Dharma Indonesia (PHDI), Majelis Desa Adat (MDA), kepolisian, dan perwakilan PT Jimbaran Hijau telah digelar pada 3 November. Namun, belum menghasilkan kesepakatan final.
Rai Dirga meminta pemerintah turun langsung memastikan kejelasan status lahan, termasuk meninjau ulang izin SHGB yang diberikan.
“Negara punya kewenangan untuk melakukan pengukuran ulang dan evaluasi izin. Kami ingin tahu, apakah lahan itu benar-benar dimanfaatkan sesuai peruntukan, atau justru ditelantarkan,” ujarnya.
Ia menambahkan, sebagian tanah di kawasan tersebut sebelumnya diserahkan oleh bendesa terdahulu pada 1994 dengan dana punia sebesar Rp35 juta untuk permohonan SHGB selama 25 tahun. Setelah masa izin itu berakhir, tidak ada koordinasi lanjutan dengan desa adat.
“Kami baru tahu soal penyerahan itu saat menjadi saksi dalam sidang kasus Pak Bulat. Kalau ada niat baik, seharusnya desa diajak bicara,” ungkapnya.
Rai Dirga menutup dengan harapan agar pemerintah bersikap tegas menegakkan aturan dan berpihak pada kepentingan masyarakat adat.
“Kalau SHGB tidak dimanfaatkan selama tiga tahun, aturan jelas mengatakan harus dikembalikan ke negara. Itu yang kami minta agar dicek kembali,” pungkasnya. ***





