PARLEMENTARIA.ID –
Kontroversi RUU: Ketika Jembatan Aspirasi Warga dan Gedung Parlemen Terasa Jauh
Di setiap negara demokratis, undang-undang adalah pilar utama yang menopang kehidupan berbangsa dan bernegara. Proses pembentukannya, mulai dari Rancangan Undang-Undang (RUU) hingga disahkan menjadi UU, seharusnya menjadi cerminan dari kehendak rakyat yang diwakili oleh parlemen. Namun, di Indonesia, fenomena kontroversi seputar RUU bukanlah hal baru. Seringkali, apa yang dirancang di Gedung Parlemen yang megah justru memicu gelombang protes, diskusi panas, dan bahkan ketidakpercayaan di tengah masyarakat.
Mengapa jurang ini bisa terbentuk? Mengapa RUU, yang seharusnya menjadi solusi, justru kerap menjadi sumber masalah dan menimbulkan pertanyaan besar: seberapa jauh jarak antara Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) dengan aspirasi warga yang diwakilinya? Artikel ini akan menguak lebih dalam fenomena tersebut.
Memahami Esensi RUU dan Proses Legislasi
Sebelum kita menyelami kontroversi, mari sejenak memahami apa itu RUU. RUU adalah draf atau konsep awal sebuah peraturan perundang-undangan yang diajukan oleh pemerintah, DPR, atau DPD untuk kemudian dibahas dan disahkan menjadi undang-undang. Prosesnya melibatkan beberapa tahapan, mulai dari penyusunan, pembahasan di tingkat komisi dan paripurna, hingga akhirnya disahkan oleh Presiden. Idealnya, setiap tahapan ini harus transparan dan melibatkan partisipasi publik yang bermakna.
Undang-undang adalah produk hukum yang akan mengatur hajat hidup orang banyak. Oleh karena itu, akurasi, relevansi, dan penerimaan publik menjadi kunci. Ketika salah satu elemen ini goyah, kontroversi pun tak terhindarkan.
Mengapa Jurang Aspirasi Kian Lebar?
Beberapa faktor kunci berkontribusi pada melebarnya jurang antara DPR dan aspirasi warga dalam konteks RUU:
-
Minimnya Partisipasi Publik yang Substantif:
Partisipasi publik seringkali terasa seperti formalitas belaka. Sosialisasi RUU kerap dilakukan di menit-menit terakhir, dengan format yang kurang inklusif, atau hanya menyasar kelompok-kelompok tertentu. Masyarakat sipil, akademisi, dan kelompok rentan seringkali merasa tidak didengarkan secara sungguh-sungguh. Masukan yang diberikan tidak selalu tercermin dalam draf akhir, menimbulkan kesan bahwa partisipasi hanyalah ‘cap stempel’ untuk memenuhi prosedur. -
Proses Legislasi yang Kurang Transparan:
Pembahasan RUU, terutama di tingkat komisi, kerap diselimuti awan ketidakjelasan. Informasi mengenai draf terbaru, daftar hadir rapat, notulensi, hingga argumentasi di balik setiap pasal, sulit diakses oleh publik. Ketertutupan ini memicu spekulasi dan dugaan adanya kepentingan-kepentingan tersembunyi atau "titipan" yang tidak sejalan dengan kepentingan umum. -
Pembahasan yang Terburu-buru dan Tanpa Kajian Mendalam:
Tidak jarang RUU dengan dampak luas dibahas dalam waktu singkat, tanpa kajian dampak yang komprehensif dan melibatkan berbagai sektor. Proses yang terburu-buru ini berisiko menghasilkan undang-undang yang cacat hukum, tidak aplikatif, atau bahkan kontraproduktif dengan tujuan awalnya. Publik merasa bahwa wakil rakyat terlalu cepat mengambil keputusan tanpa memahami secara menyeluruh implikasinya. -
Perbedaan Prioritas dan Agenda:
Prioritas legislasi DPR terkadang tidak selaras dengan urgensi yang dirasakan oleh masyarakat. RUU yang dinilai penting oleh publik justru terabaikan, sementara RUU lain yang kurang relevan atau bahkan kontroversial justru dikebut pembahasannya. Perbedaan agenda ini memicu pertanyaan tentang siapa sebenarnya yang diwakili oleh DPR. -
Dugaan Adanya Kepentingan Oligarki atau Kelompok Tertentu:
Dalam beberapa kasus, muncul dugaan kuat bahwa proses pembentukan RUU didominasi oleh kepentingan kelompok bisnis, politik, atau oligarki tertentu, alih-alih kepentingan rakyat banyak. Jika persepsi ini menguat, kepercayaan publik terhadap proses legislasi akan runtuh.
Dampak Jarak Aspirasi Terhadap Demokrasi
Melebarnya jurang antara DPR dan aspirasi warga ini memiliki dampak serius terhadap sendi-sendi demokrasi:
- Erosi Kepercayaan Publik: Ini adalah dampak paling fundamental. Ketika rakyat merasa tidak didengarkan atau diwakili, kepercayaan terhadap institusi demokrasi, khususnya parlemen, akan menurun drastis.
- Gelombang Protes dan Ketidakstabilan Sosial: RUU yang kontroversial seringkali menjadi pemicu demonstrasi besar-besaran, yang dapat mengganggu ketertiban umum dan memecah belah masyarakat.
- Produk Hukum yang Lemah dan Bermasalah: Undang-undang yang lahir dari proses yang tidak partisipatif dan transparan berisiko tinggi untuk diuji di Mahkamah Konstitusi (judicial review), bahkan dianulir, menunjukkan bahwa produk hukum tersebut cacat sejak awal.
- Apatisme Politik: Jika masyarakat merasa suaranya tidak berarti, mereka mungkin akan menarik diri dari partisipasi politik, yang pada gilirannya melemahkan sistem demokrasi itu sendiri.
Menjembatani Jurang: Sebuah Panggilan Bersama
Lalu, bagaimana menjembatani jurang aspirasi ini? Ini adalah pekerjaan rumah yang harus diselesaikan oleh semua pihak, bukan hanya DPR:
- Transparansi Penuh dan Akses Informasi: DPR harus membuka seluas-luasnya akses terhadap seluruh dokumen dan proses legislasi. Draf RUU, naskah akademik, notulensi rapat, dan rekaman pembahasan harus mudah diakses oleh publik.
- Mekanisme Partisipasi yang Inklusif dan Substansial: Pemerintah dan DPR perlu merancang mekanisme partisipasi yang lebih dari sekadar formalitas. Ini berarti membuka ruang dialog yang substantif, mendengarkan secara aktif, dan secara jelas mengkomunikasikan bagaimana masukan publik dipertimbangkan atau mengapa tidak. Libatkan kelompok rentan dan marginal sejak awal.
- Kajian Mendalam dan Berbasis Bukti: Setiap RUU harus didasarkan pada kajian ilmiah yang kuat, analisis dampak yang komprehensif, dan data yang akurat, bukan hanya asumsi atau kepentingan sesaat.
- Pendidikan Politik dan Literasi Hukum: Masyarakat juga perlu meningkatkan pemahaman tentang proses legislasi dan hak-hak partisipasi mereka. Literasi hukum yang lebih baik akan membantu warga memberikan masukan yang lebih terarah dan konstruktif.
- Komitmen DPR untuk Mendengarkan: Intinya, para wakil rakyat harus kembali pada esensi mandat mereka: mewakili suara rakyat. Ini membutuhkan kemauan politik yang kuat untuk menempatkan kepentingan umum di atas kepentingan pribadi, kelompok, atau partai.
Kontroversi RUU adalah cermin yang memperlihatkan seberapa sehat demokrasi kita. Ketika jarak antara pembuat undang-undang dan yang diatur oleh undang-undang terlalu jauh, maka fondasi kepercayaan akan rapuh. Membangun kembali jembatan aspirasi bukan hanya tugas DPR, melainkan panggilan bagi kita semua untuk menjaga dan memperkuat demokrasi yang inklusif, partisipatif, dan akuntabel. Hanya dengan begitu, setiap undang-undang yang lahir akan benar-benar menjadi milik rakyat dan untuk rakyat.






