Ketika Hijau Tak Selalu Mudah: Tantangan Kebijakan Transisi Energi di Negara Berkembang

Ketika Hijau Tak Selalu Mudah: Tantangan Kebijakan Transisi Energi di Negara Berkembang
PARLEMENTARIA.ID

Ketika Hijau Tak Selalu Mudah: Tantangan Kebijakan Transisi Energi di Negara Berkembang

Perubahan iklim adalah ancaman nyata yang menuntut tindakan kolektif. Salah satu solusi paling krusial adalah transisi energi, yaitu beralih dari bahan bakar fosil ke sumber energi terbarukan. Namun, bagi negara-negara berkembang, jalan menuju energi hijau tidaklah semulus yang dibayangkan. Di balik ambisi global untuk masa depan yang lebih bersih, terhampar berbagai tantangan kompleks yang menguji ketahanan kebijakan dan kapasitas implementasi.

Mengapa negara berkembang menghadapi rintangan yang lebih berat? Mari kita selami lebih dalam.

1. Beban Biaya dan Prioritas Ekonomi

Transisi energi membutuhkan investasi besar. Membangun pembangkit listrik tenaga surya, angin, atau panas bumi, serta mengembangkan infrastruktur pendukung seperti jaringan transmisi yang cerdas, bukanlah hal murah. Bagi negara berkembang, di mana anggaran seringkali terbatas dan harus dibagi untuk mengatasi kemiskinan, pendidikan, kesehatan, dan pembangunan infrastruktur dasar lainnya, alokasi dana untuk proyek energi terbarukan menjadi dilema besar.

Selain itu, banyak negara berkembang masih sangat bergantung pada bahan bakar fosil, baik untuk konsumsi domestik maupun sebagai sumber pendapatan ekspor. Menghapus subsidi bahan bakar fosil yang seringkali membebani anggaran negara namun disukai masyarakat, atau menghentikan proyek-proyek berbasis fosil yang sudah berjalan, adalah keputusan politik yang sulit dan berisiko menimbulkan gejolak sosial dan ekonomi.

2. Keterbatasan Infrastruktur dan Teknologi

Jaringan listrik di banyak negara berkembang seringkali sudah tua, tidak efisien, dan belum siap menampung fluktuasi pasokan dari energi terbarukan seperti surya atau angin. Memodernisasi jaringan ini membutuhkan investasi besar dan keahlian teknis yang tidak sedikit.

Masalah lainnya adalah teknologi penyimpanan energi (baterai) yang masih relatif mahal dan belum sepenuhnya efisien untuk skala besar. Tanpa penyimpanan yang memadai, pasokan energi terbarukan yang intermiten (tidak selalu tersedia) dapat mengganggu stabilitas pasokan listrik. Transfer teknologi dari negara maju juga seringkali terkendala oleh biaya lisensi dan kurangnya kapasitas lokal untuk mengoperasikan dan memelihara teknologi canggih tersebut.

3. Tantangan Sosial dan Keadilan Transisi

Transisi energi bukan hanya tentang teknologi, tetapi juga tentang manusia. Sektor bahan bakar fosil, seperti pertambangan batu bara atau minyak, seringkali menjadi penyedia lapangan kerja utama di beberapa daerah. Peralihan ke energi terbarukan dapat menyebabkan hilangnya pekerjaan dan dampak ekonomi negatif bagi komunitas yang bergantung pada industri lama.

Menciptakan "transisi yang adil" (just transition) menjadi sangat penting, yaitu memastikan bahwa manfaat transisi energi dirasakan secara merata dan kerugiannya diminimalisir bagi kelompok rentan. Ini termasuk pelatihan ulang tenaga kerja, penciptaan lapangan kerja baru di sektor hijau, dan perlindungan sosial bagi mereka yang terdampak. Tanpa strategi ini, transisi energi berisiko memperlebar kesenjangan sosial dan memicu penolakan publik.

4. Stabilitas Kebijakan dan Tata Kelola

Investasi di sektor energi, terutama yang terbarukan, membutuhkan kepastian jangka panjang. Namun, di banyak negara berkembang, kebijakan energi seringkali berubah seiring pergantian pemerintahan, menciptakan ketidakpastian bagi investor. Regulasi yang tidak konsisten, proses perizinan yang berbelit, dan potensi korupsi dapat menghambat proyek-proyek energi hijau.

Selain itu, kurangnya kapasitas kelembagaan dan keahlian di tingkat pemerintah daerah maupun pusat untuk merumuskan, mengimplementasikan, dan mengawasi kebijakan transisi energi yang efektif juga menjadi penghalang serius.

Menuju Masa Depan yang Lebih Hijau: Bukan Tanpa Harapan

Meskipun tantangan yang dihadapi negara berkembang sangat besar, bukan berarti transisi energi adalah mimpi yang mustahil. Kolaborasi internasional, dukungan finansial dari negara maju, inovasi model bisnis, dan pengembangan teknologi lokal yang sesuai konteks, dapat membuka jalan. Kebijakan yang inklusif, transparan, dan berfokus pada keadilan sosial akan menjadi kunci keberhasilan.

Transisi energi di negara berkembang adalah sebuah maraton, bukan sprint. Ia membutuhkan visi jangka panjang, komitmen politik yang kuat, serta dukungan dari seluruh elemen masyarakat. Dengan pendekatan yang tepat, negara berkembang dapat menjadi bagian integral dari solusi iklim global, sambil tetap memastikan pertumbuhan ekonomi dan kesejahteraan rakyatnya.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *