PARLEMENTARIA.ID – >
Ketika Buku Tak Sama dengan Lapangan: Menguak Jurang Antara Hukum Tertulis dan Realitas Praktik
Hukum. Bagi banyak dari kita, kata ini membangkitkan citra keadilan, ketertiban, dan sebuah sistem yang idealnya menjamin hak setiap individu. Dalam benak kita, hukum adalah cetak biru sempurna untuk sebuah masyarakat yang adil dan harmonis, tertuang rapi dalam lembaran-lembaran undang-undang, peraturan, dan konstitusi. Kita sering menyebutnya sebagai das sollen – apa yang seharusnya.
Namun, realitas di lapangan seringkali jauh berbeda. Antara teks hukum yang elegan di buku dengan praktik sehari-hari di tengah masyarakat, seringkali terbentang jurang yang dalam dan lebar. Inilah yang kita sebut sebagai kesenjangan antara hukum tertulis dan praktik lapangan, atau das sein – apa yang senyatanya terjadi. Mengapa jurang ini ada, dan apa dampaknya bagi kita semua? Mari kita selami lebih dalam.
Mengapa Jurang Ini Tercipta? Akar Masalah yang Kompleks
Kesenjangan ini bukanlah fenomena tunggal yang disebabkan oleh satu faktor. Ia adalah hasil interaksi kompleks dari berbagai elemen, mulai dari manusia, sistem, hingga budaya.
1. Faktor Manusia: Integritas dan Kapasitas
Salah satu penyebab paling nyata adalah faktor manusia, terutama para penegak hukum dan pihak-pihak yang terlibat dalam implementasinya.
- Integritas yang Terkikis: Korupsi, kolusi, dan nepotisme (KKN) adalah musuh utama keadilan. Ketika oknum penegak hukum lebih memilih suap daripada keadilan, atau menggunakan wewenang untuk kepentingan pribadi, hukum tertulis yang seadil apa pun akan kehilangan maknanya.
- Kurangnya Profesionalisme dan Kapasitas: Tidak semua kesenjangan disebabkan oleh niat buruk. Terkadang, kurangnya pemahaman mendalam tentang hukum, minimnya pelatihan, atau beban kerja yang berlebihan dapat menyebabkan penegakan hukum yang tidak optimal atau bahkan salah.
- Bias dan Diskriminasi: Prasangka pribadi atau kelompok terhadap gender, ras, agama, atau status sosial ekonomi dapat memengaruhi cara hukum diterapkan, menghasilkan perlakuan yang tidak adil meskipun hukum tertulisnya bersifat universal.
2. Faktor Sistemik dan Struktural: Biaya, Birokrasi, dan Ambiguitas
Sistem dan struktur hukum itu sendiri seringkali menyimpan benih kesenjangan.
- Birokrasi yang Berbelit: Proses hukum yang panjang, mahal, dan rumit seringkali menghalangi masyarakat, terutama kalangan menengah ke bawah, untuk mencari keadilan. Akses terhadap keadilan menjadi hak istimewa, bukan hak universal.
- Keterbatasan Sumber Daya: Kekurangan anggaran, fasilitas, dan personel di lembaga penegak hukum (polisi, kejaksaan, pengadilan) dapat menghambat efektivitas kerja mereka, menyebabkan penundaan, kurangnya investigasi mendalam, atau bahkan pengabaian kasus.
- Ambiguitas dan Multi-Interpretasi Hukum: Tidak semua pasal hukum dirumuskan dengan sangat jelas. Beberapa pasal bisa multitafsir, membuka ruang bagi interpretasi yang berbeda-beda, bahkan disalahgunakan untuk kepentingan tertentu.
- Kecepatan Perubahan Sosial: Masyarakat berkembang dengan sangat pesat, namun proses legislasi seringkali lambat. Akibatnya, ada celah di mana hukum belum mengakomodasi fenomena sosial atau teknologi baru, menciptakan "zona abu-abu" yang sulit diatur.
3. Faktor Sosial dan Budaya: Kekuatan di Luar Hukum
Norma-norma sosial dan budaya juga memainkan peran signifikan.
- Kekuatan Elit dan Kapital: Di banyak tempat, kekuasaan dan kekayaan dapat memengaruhi proses hukum, memberikan perlakuan istimewa bagi yang memiliki atau bahkan membungkam kasus-kasus yang melibatkan mereka.
- Adat dan Kebiasaan Lokal: Di beberapa daerah, hukum adat atau kebiasaan lokal masih sangat kuat dan terkadang bertentangan dengan hukum positif negara, menciptakan konflik dalam penegakannya.
- Kurangnya Kesadaran Hukum Masyarakat: Banyak masyarakat yang tidak memahami hak dan kewajiban hukum mereka, sehingga rentan menjadi korban ketidakadilan atau bahkan tanpa sadar melanggar hukum.
Dampak Buruk Kesenjangan: Ketika Keadilan Hanya Mimpi
Kesenjangan antara hukum tertulis dan praktik lapangan bukanlah masalah sepele. Dampaknya merambat ke seluruh sendi kehidupan masyarakat:
- Terkikisnya Kepercayaan Publik: Ketika masyarakat melihat hukum hanya berlaku bagi sebagian orang atau bisa dibeli, kepercayaan terhadap sistem hukum dan pemerintah akan hancur. Ini adalah fondasi rapuh bagi sebuah negara.
- Merajalelanya Ketidakadilan: Mereka yang lemah dan tidak punya akses akan semakin terpinggirkan, sementara yang kuat bisa lolos dari jerat hukum. Keadilan menjadi barang mewah yang hanya bisa dinikmati segelintir orang.
- Inefisiensi dan Kerugian Ekonomi: Lingkungan hukum yang tidak pasti dan korup akan menghambat investasi, mematikan inovasi, dan menciptakan ekonomi biaya tinggi.
- Meningkatnya Konflik Sosial: Ketidakadilan yang terus-menerus dapat memicu rasa frustrasi, kemarahan, dan bahkan konflik di tengah masyarakat.
- Erosi Supremasi Hukum: Jika hukum tidak ditegakkan secara konsisten dan adil, maka bukan hukum lagi yang menjadi panglima, melainkan kekuasaan, uang, atau kepentingan kelompok.
Menjembatani Jurang: Sebuah Upaya Kolektif
Meskipun tantangannya besar, menjembatani jurang ini bukanlah hal yang mustahil. Ini membutuhkan komitmen kuat dan upaya kolektif dari semua pihak:
- Reformasi Hukum dan Birokrasi: Menyederhanakan prosedur hukum, membuat regulasi yang lebih jelas dan tidak multitafsir, serta memastikan kecepatan dan efisiensi birokrasi peradilan.
- Peningkatan Integritas dan Kapasitas Penegak Hukum: Memperketat pengawasan, meningkatkan kesejahteraan, memberikan pelatihan berkelanjutan, dan menerapkan sanksi tegas bagi pelanggar kode etik. Sistem meritokrasi harus diutamakan.
- Edukasi Hukum dan Partisipasi Publik: Meningkatkan literasi hukum masyarakat melalui program edukasi, memfasilitasi akses informasi hukum, dan mendorong partisipasi aktif masyarakat dalam pengawasan dan pelaporan pelanggaran.
- Pemanfaatan Teknologi: Mengadopsi teknologi untuk transparansi (misalnya, sistem peradilan elektronik, pelacakan kasus), efisiensi, dan meminimalisir interaksi langsung yang rentan korupsi.
- Komitmen Politik yang Kuat: Kepemimpinan yang berani dan berintegritas sangat krusial untuk mendorong reformasi menyeluruh dan memastikan penegakan hukum yang tanpa pandang bulu.
- Penguatan Lembaga Pengawas: Memperkuat peran lembaga independen seperti Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), Komnas HAM, dan Ombudsman dalam mengawasi jalannya praktik hukum.
Kesimpulan: Harapan di Tengah Realitas
Jurang antara hukum tertulis dan praktik lapangan adalah refleksi dari perjuangan panjang sebuah bangsa untuk mencapai keadilan sejati. Ini adalah pengingat bahwa hukum bukan hanya sekadar teks di atas kertas, melainkan sebuah entitas hidup yang harus terus-menerus diperjuangkan, ditegakkan, dan disesuaikan dengan dinamika masyarakat.
Meskipun realitas di lapangan terkadang pahit, harapan untuk sebuah sistem hukum yang adil dan berintegritas harus terus menyala. Dengan komitmen bersama dari pemerintah, penegak hukum, dan seluruh lapisan masyarakat, kita bisa secara bertahap menutup jurang tersebut, membangun fondasi keadilan yang kokoh, dan mewujudkan das sollen menjadi das sein yang sesungguhnya. Keadilan bukanlah tujuan akhir, melainkan perjalanan tanpa henti yang membutuhkan partisipasi aktif dari setiap warga negara.
>




