Janji Manis di Panggung Politik, Kinerja Pahit di Lapangan: Mengurai Ketimpangan Harapan Rakyat dan Realitas DPR

Janji Manis di Panggung Politik, Kinerja Pahit di Lapangan: Mengurai Ketimpangan Harapan Rakyat dan Realitas DPR
PARLEMENTARIA.ID

Janji Manis di Panggung Politik, Kinerja Pahit di Lapangan: Mengurai Ketimpangan Harapan Rakyat dan Realitas DPR

Setiap lima tahun, panggung politik Indonesia gempar dengan hiruk-pikuk kampanye. Bendera partai berkibar, poster-poster calon legislatif terpampang di setiap sudut kota, dan orasi-orasi membahana menawarkan sejuta janji. Dari perbaikan ekonomi, pemerataan pembangunan, pendidikan gratis, hingga kesehatan yang terjamin, semua dikemas dalam retorika yang memukau, menjanjikan masa depan cerah bagi rakyat. Para calon DPR (Dewan Perwakilan Rakyat), dengan senyum ramah dan gestur meyakinkan, bersumpah akan menjadi "suara rakyat," "penjaga aspirasi," dan "ujung tombak perubahan."

Namun, setelah pesta demokrasi usai dan kursi-kursi parlemen terisi, seringkali kita dihadapkan pada sebuah kontras yang tajam. Gemuruh janji di panggung politik seolah meredup begitu saja di lorong-lorong gedung parlemen. Harapan masyarakat yang begitu tinggi, kerap berbenturan dengan realitas kinerja DPR di lapangan yang tak jarang mengecewakan. Jurang antara janji manis dan kinerja pahit inilah yang menjadi sorotan utama, menimbulkan pertanyaan besar: mengapa ketimpangan ini terus terjadi, dan apa dampaknya bagi demokrasi kita?

Daya Pikat Janji Politik: Mengapa Kita Percaya?

Janji politik adalah esensi dari kampanye. Ia adalah jembatan emosional antara calon dan pemilih, menawarkan solusi atas permasalahan yang dihadapi masyarakat. Janji-janji ini dirancang untuk menyentuh langsung kebutuhan dasar, impian, dan kegelisahan publik. Ketika seorang calon berjanji akan mengatasi pengangguran, meningkatkan kualitas pendidikan, atau memberantas korupsi, ia secara efektif menciptakan harapan dan rasa percaya.

Masyarakat, yang haus akan perubahan dan perbaikan, cenderung memilih figur yang paling meyakinkan dan menawarkan visi paling optimistis. Ini adalah siklus yang wajar dalam demokrasi. Namun, masalah muncul ketika janji-janji tersebut, yang seharusnya menjadi komitmen dan panduan kerja, hanya berfungsi sebagai alat untuk meraih kekuasaan, lalu menguap begitu saja setelah kemenangan diraih.

Fungsi DPR: Mandat Suci yang Sering Terlupakan

Sebelum kita menguliti ketimpangan ini lebih jauh, penting untuk mengingat kembali mandat dan fungsi utama DPR. Berdasarkan konstitusi, DPR memiliki tiga fungsi pokok yang menjadi tulang punggung demokrasi perwakilan:

  1. Fungsi Legislasi: Membentuk undang-undang bersama pemerintah. Ini adalah jantung dari kerja DPR, memastikan adanya regulasi yang adil, responsif, dan bermanfaat bagi seluruh rakyat.
  2. Fungsi Anggaran: Menyusun dan menetapkan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) bersama pemerintah. Fungsi ini menentukan arah pembangunan dan alokasi sumber daya negara untuk kesejahteraan rakyat.
  3. Fungsi Pengawasan: Mengawasi pelaksanaan undang-undang dan kebijakan pemerintah. Fungsi ini krusial untuk memastikan akuntabilitas, transparansi, dan efisiensi jalannya roda pemerintahan.

Idealnya, ketiga fungsi ini dijalankan dengan penuh integritas, profesionalisme, dan berorientasi pada kepentingan publik. Namun, di sinilah letak jurang menganga antara harapan dan realitas.

Ketika Legislasi Menjadi Sekadar Target, Bukan Kualitas

Dalam fungsi legislasi, kita sering melihat RUU (Rancangan Undang-Undang) yang "mangkrak" bertahun-tahun tanpa kejelasan, atau sebaliknya, RUU yang tiba-tiba disahkan dengan kilat tanpa partisipasi publik yang memadai. Target kuantitas undang-undang seringkali lebih diutamakan daripada kualitas dan relevansinya dengan kebutuhan masyarakat.

Banyak undang-undang yang dihasilkan terasa jauh dari realitas lapangan, atau bahkan mengandung pasal-pasal kontroversial yang justru memicu penolakan publik. Proses pembentukannya pun seringkali minim transparansi, sehingga publik sulit melacak siapa di balik perumusan pasal-pasal tertentu atau kepentingan apa yang diselipkan di dalamnya. Janji untuk "membuat undang-undang yang pro-rakyat" seringkali hanya sebatas jargon kampanye.

Anggaran: Prioritas Rakyat atau Kepentingan Kelompok?

Dalam fungsi anggaran, DPR seharusnya menjadi filter utama agar APBN benar-benar mencerminkan prioritas dan kebutuhan rakyat. Namun, kritik sering muncul terkait alokasi anggaran yang dinilai tidak efisien, adanya "proyek mercusuar" yang kurang berdampak langsung pada kesejahteraan, atau bahkan indikasi "penitipan" anggaran untuk kepentingan kelompok tertentu.

Transparansi dalam pembahasan anggaran juga sering dipertanyakan. Publik jarang mendapatkan akses yang mudah dan komprehensif terhadap detail pembahasan, sehingga sulit untuk mengawasi apakah anggaran yang disetujui benar-benar akan digunakan secara bijak dan akuntabel. Janji untuk "mengelola keuangan negara secara transparan dan berpihak pada rakyat" terasa pudar ketika kita melihat realita di lapangan.

Pengawasan: Taring yang Tumpul atau Mata yang Buta?

Fungsi pengawasan adalah benteng terakhir untuk memastikan pemerintah berjalan pada rel yang benar. Namun, seringkali DPR terlihat "tumpul" dalam mengawasi eksekutif. Isu-isu korupsi besar, kebijakan yang merugikan rakyat, atau proyek-proyek mangkrak, terkadang luput dari pengawasan serius, atau bahkan terkesan "dilindungi" oleh anggota dewan tertentu.

Hubungan yang terlalu erat antara DPR dan pemerintah (terutama dari partai koalisi) seringkali mengikis independensi pengawasan. Kritik yang seharusnya tajam dan konstruktif, berubah menjadi pembelaan buta atau kompromi politik. Janji untuk "mengawasi pemerintah demi kepentingan rakyat" seolah hanya menjadi narasi kosong di hadapan kepentingan politik praktis.

Mengapa Jurang Ini Begitu Lebar? Akar Masalahnya

Ketimpangan antara janji dan kinerja DPR bukanlah fenomena tunggal, melainkan hasil dari berbagai faktor kompleks:

  1. Sistem Politik yang Berbiaya Tinggi: Untuk menjadi anggota DPR, seorang calon harus mengeluarkan biaya yang sangat besar, baik untuk kampanye maupun mahar politik. Beban finansial ini seringkali menjadi "investasi" yang diharapkan kembali setelah menjabat, menggeser fokus dari pelayanan publik ke kepentingan pribadi atau kelompok.
  2. Lemahnya Integritas dan Kapasitas: Tidak semua anggota dewan memiliki integritas moral yang kuat dan kapasitas intelektual yang memadai untuk menjalankan tugas legislasi, anggaran, dan pengawasan secara efektif.
  3. Politik Transaksional dan Oligarki: Kepentingan partai, kelompok, dan bahkan individu pengusaha seringkali mendominasi proses pengambilan keputusan di parlemen, mengesampingkan aspirasi murni rakyat.
  4. Kurangnya Partisipasi dan Pengawasan Publik: Masyarakat seringkali hanya aktif saat pemilihan umum, namun kurang terlibat dalam mengawasi kinerja DPR setelahnya. Apatisme ini dimanfaatkan oleh oknum-oknum yang tidak bertanggung jawab.
  5. Sistem Akuntabilitas yang Lemah: Mekanisme akuntabilitas internal DPR dan eksternal (dari lembaga pengawas) masih belum cukup kuat untuk menjamin setiap anggota dewan bertanggung jawab atas janjinya.

Dampak Buruk bagi Demokrasi dan Kepercayaan Publik

Ketimpangan ini memiliki dampak yang sangat merusak. Pertama, ia mengikis kepercayaan publik terhadap institusi demokrasi. Masyarakat menjadi sinis, apatis, dan merasa bahwa suara mereka tidak lagi berarti. Kedua, pembangunan nasional menjadi terhambat karena kebijakan yang dihasilkan tidak tepat sasaran, anggaran yang tidak efisien, dan pengawasan yang lemah. Ketiga, ini menciptakan siklus kekecewaan yang bisa mengancam stabilitas politik dan sosial dalam jangka panjang.

Menjembatani Jurang: Tanggung Jawab Bersama

Mengatasi ketimpangan ini bukanlah tugas satu pihak, melainkan tanggung jawab kolektif.

  • Dari Sisi DPR: Anggota dewan harus kembali pada esensi mandat mereka sebagai wakil rakyat. Integritas, kapasitas, dan komitmen pada kepentingan publik harus menjadi prioritas utama. Transparansi dalam setiap proses legislasi, anggaran, dan pengawasan harus ditingkatkan.
  • Dari Sisi Masyarakat: Kita sebagai pemilih harus lebih cerdas dan kritis. Jangan mudah terbuai janji manis tanpa rekam jejak yang jelas. Aktiflah dalam mengawasi kinerja wakil kita, manfaatkan saluran aspirasi, dan tuntut akuntabilitas. Partisipasi publik tidak berhenti di bilik suara.
  • Dari Sisi Sistem: Perlu ada reformasi sistemik, termasuk reformasi pemilu untuk menekan biaya politik tinggi, penguatan peran lembaga anti-korupsi, serta peningkatan mekanisme akuntabilitas dan transparansi di parlemen.

Janji politik adalah modal awal dalam demokrasi. Namun, janji itu harus ditagih dan diwujudkan dalam kinerja nyata di lapangan. Jika tidak, demokrasi kita hanya akan menjadi panggung sandiwara yang terus-menerus melahirkan kekecewaan. Mari bersama-sama menuntut para wakil rakyat kita untuk benar-benar menjadi "suara rakyat," bukan sekadar "pemburu janji." Karena masa depan bangsa ini ada di tangan kita, dan juga di pundak mereka yang kita pilih untuk mewakili.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *