DPRD Samarinda Dukung Disdikbud Tetapkan Standar Harga Seragam Sekolah sebagai Acuan Koperasi

Komisi IV DPRD Samarinda Berupaya Atasi Masalah Harga Atribut Sekolah

Komisi IV DPRD Samarinda menanggapi isu yang berkembang di masyarakat mengenai tingginya harga atribut dan seragam sekolah di berbagai satuan pendidikan. Mereka menyatakan dukungan terhadap langkah-langkah antisipatif yang sedang dirancang oleh Dinas Pendidikan dan Kebudayaan (Disdikbud) kota. Dalam pertemuan antara legislatif dan Disdikbud beberapa waktu lalu, berbagai rencana tindak lanjut dan peta kebijakan jangka pendek hingga menengah dibahas secara mendalam.

Ketua Komisi IV DPRD Samarinda, Novan Syahronny Passie, menjelaskan bahwa Disdikbud telah mengambil langkah konkret dalam menyusun standar harga yang dapat menjadi acuan bagi koperasi sekolah. Langkah ini bertujuan untuk merespons keluhan masyarakat yang merasa terbebani dengan harga atribut sekolah yang dinilai melampaui batas kewajaran. Hasil survei pasar turut menjadi dasar teknis dalam penyusunan standar tersebut.

“Standar harga ini akan menjadi pedoman bagi koperasi sekolah dalam menentukan nilai jual atribut pendidikan, sehingga tidak lagi terjadi disparitas harga yang mencolok antar sekolah,” ujar Novan. Meski demikian, ia menekankan bahwa langkah ini bersifat jangka pendek.

Dalam jangka menengah, pihaknya telah mengusulkan kebijakan yang lebih proaktif, yaitu skema subsidi dari pemerintah daerah, khususnya untuk atribut seragam batik dan olahraga. “Kami juga membicarakan tahun 2026, ada beberapa usulan yang harapan kita adalah adanya subsidi dari pemerintah, khususnya untuk pakaian batik dan olahraga,” tambahnya.

Novan juga menyoroti pentingnya memperhatikan variabel mutu bahan dalam pembahasan standar harga seragam. Ia menilai bahwa harga ideal sangat bergantung pada jenis dan kualitas material yang digunakan. Oleh karena itu, diperlukan fleksibilitas dalam merumuskan standar yang tidak mengabaikan kondisi objektif lapangan.

“Setiap sekolah mungkin menggunakan bahan yang berbeda. Kami bicarakan standarisasi, muncul survei harga di pasaran untuk pakaian atas berapa, rok panjang berapa, celana berapa, itulah distandarkan, minimal tidak jauh dari harga di pasaran,” jelas Novan.

Dari sudut pandang sosial ekonomi, Novan mengakui tekanan ekonomi yang dialami masyarakat saat ini tidak bisa diabaikan. Dengan inflasi dan kenaikan harga barang setiap tahun, pengeluaran orang tua untuk kebutuhan sekolah menjadi beban tersendiri. Solusi harus dicari melalui intervensi kebijakan yang tepat.

“Mengeluarkan biaya seperti itu cukup berat. Kenaikan harga barang berbeda tiap tahun dan ini yang jadi beban masyarakat. Nah, inilah langkah-langkah bagaimana peran pemerintah mengurangi beban masyarakat, di luar dari pakaian wajib yang sudah dibeli sendiri,” tambahnya.

Selain itu, Novan menyebutkan bahwa banyaknya laporan yang masuk ke pihaknya bukan hanya berkutat pada mahalnya seragam, tetapi juga pada item-item tambahan yang tidak masuk kategori wajib, seperti tes IQ dan asuransi sekolah. “Yang banyak muncul bukan dari seragamnya, tapi harga seragam mereka juga mengeluhkan agak tinggi,” ujarnya.

Ia menilai bahwa kualitas bahan seragam memang bisa berbeda-beda, namun pemerintah melalui Disdikbud telah mengambil langkah kompromi untuk mencari titik tengah. Caranya adalah dengan menetapkan batas harga tertinggi guna mencegah pembengkakan biaya yang memberatkan orang tua siswa.

“Kita bicara bahwa kualitas seragam bisa saja berbeda, tapi kita ambil tengah-tengahnya saja. Makanya Disdikbud ambil langkah konkret langsung mengambil jalan tengah untuk membatasi atau memberi batasan tertinggi untuk pakaian seragam,” pungkasnya.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *