Dari Volksraad ke Senayan: Menjelajahi Sejarah Panjang Dewan Perwakilan Rakyat Indonesia

Dari Volksraad ke Senayan: Menjelajahi Sejarah Panjang Dewan Perwakilan Rakyat Indonesia
PARLEMENTARIA.ID

Dari Volksraad ke Senayan: Menjelajahi Sejarah Panjang Dewan Perwakilan Rakyat Indonesia

Setiap negara demokrasi memiliki pilar utamanya, sebuah lembaga yang menjadi suara rakyat, tempat aspirasi bertemu kebijakan, dan arena perdebatan yang membentuk arah bangsa. Di Indonesia, pilar itu adalah Dewan Perwakilan Rakyat (DPR). Namun, perjalanan DPR bukanlah jalan yang mulus. Ia adalah saksi bisu pasang surutnya demokrasi, cerminan gejolak politik, dan evolusi sebuah bangsa yang mencari bentuk idealnya. Dari dewan terbatas di era kolonial hingga menjadi lembaga legislatif yang kuat di era reformasi, sejarah DPR adalah kisah yang memikat tentang perjuangan, adaptasi, dan harapan.

Mari kita selami lebih dalam perjalanan panjang DPR, memahami bagaimana lembaga ini lahir, tumbuh, dan bertransformasi seiring dengan denyut nadi sejarah Indonesia.

1. Cikal Bakal: Dari Volksraad hingga Komite Nasional Indonesia Pusat (KNIP)

Sebelum Indonesia merdeka, gagasan tentang perwakilan rakyat sudah mulai muncul, meski dalam bentuk yang sangat terbatas.

Volksraad: Suara yang Terbatas di Era Kolonial (1918-1942)

Lembaga pertama yang bisa disebut sebagai embrio perwakilan rakyat di Indonesia adalah Volksraad atau "Dewan Rakyat" yang dibentuk oleh pemerintah kolonial Belanda pada tahun 1918. Dibentuk sebagai respons terhadap tuntutan akan partisipasi pribumi dalam pemerintahan, Volksraad memiliki komposisi campuran antara anggota Belanda dan pribumi.

Namun, jangan bayangkan Volksraad sebagai parlemen modern. Kekuasaannya sangat terbatas, lebih bersifat penasihat atau "raad" (dewan) daripada badan legislatif penuh. Keputusan-keputusannya tidak mengikat Gubernur Jenderal, dan aspirasi rakyat pribumi seringkali diabaikan. Meskipun demikian, Volksraad menjadi semacam "sekolah politik" bagi para pemimpin nasionalis Indonesia, tempat mereka belajar berargumen, berdebat, dan menyuarakan tuntutan kemerdekaan, meskipun dalam batasan yang ketat. Tokoh-tokoh seperti H.O.S. Cokroaminoto, Mohammad Husni Thamrin, dan dr. Sutomo pernah menjadi anggotanya.

Komite Nasional Indonesia Pusat (KNIP): Fondasi Awal Republik (1945-1950)

Ketika Proklamasi Kemerdekaan dikumandangkan pada 17 Agustus 1945, Indonesia membutuhkan segera sebuah badan yang bisa mengisi kekosongan legislatif. Dalam Sidang PPKI (Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia) pada 18 Agustus 1945, diputuskan untuk membentuk Komite Nasional Indonesia Pusat (KNIP).

KNIP bukanlah DPR yang dipilih secara langsung, melainkan komite yang anggota-anggotanya ditunjuk oleh Presiden Soekarno. Awalnya, tugas KNIP adalah membantu tugas-tugas Presiden sebelum MPR dan DPR terbentuk. Namun, hanya dua bulan setelah kemerdekaan, sebuah peristiwa penting mengubah peran KNIP secara drastis: Maklumat Wakil Presiden No. X pada 16 Oktober 1945.

Maklumat ini mengamanatkan bahwa KNIP, yang semula hanya pembantu presiden, diberi kekuasaan legislatif penuh dan ikut menetapkan Garis-Garis Besar Haluan Negara (GBHN) sebelum MPR/DPR terbentuk. Perubahan ini adalah tonggak sejarah yang krusial, karena untuk pertama kalinya, sebuah badan perwakilan rakyat Indonesia memiliki kekuasaan legislatif yang signifikan. KNIP menjadi cikal bakal parlemen Indonesia yang sesungguhnya, tempat lahirnya undang-undang dan wadah untuk merumuskan arah negara di tengah perjuangan mempertahankan kemerdekaan.

2. Masa Demokrasi Parlementer: Fondasi Awal dan Gejolak (1950-1959)

Setelah pengakuan kedaulatan Indonesia pada akhir 1949, Indonesia memasuki era yang dikenal sebagai Demokrasi Parlementer. Periode ini ditandai dengan sistem pemerintahan di mana kabinet bertanggung jawab kepada parlemen.

DPR Sementara dan Konstituante

Pada periode ini, Indonesia beberapa kali mengubah konstitusi dan bentuk negara (dari RIS ke NKRI), yang berimbas pada perubahan struktur parlemen. Setelah kembalinya Indonesia menjadi negara kesatuan pada 1950, dibentuklah Dewan Perwakilan Rakyat Sementara (DPRS). Anggota DPRS adalah gabungan dari anggota KNIP dan anggota DPR RIS yang bubar.

Tugas utama DPRS adalah menyiapkan penyelenggaraan pemilihan umum yang demokratis untuk memilih anggota parlemen yang sesungguhnya dan anggota lembaga pembentuk undang-undang dasar baru, yaitu Konstituante.

Pemilihan Umum 1955: Pesta Demokrasi Pertama

Momen paling monumental di era Demokrasi Parlementer adalah Pemilihan Umum pertama Indonesia pada tahun 1955. Pemilu ini adalah pesta demokrasi yang luar biasa, diikuti oleh puluhan partai politik dan mencatat partisipasi pemilih yang sangat tinggi. Rakyat Indonesia untuk pertama kalinya secara langsung memilih wakil-wakil mereka di parlemen (DPR) dan Konstituante.

Hasil Pemilu 1955 menghasilkan empat partai besar: PNI, Masyumi, NU, dan PKI. Anggota DPR hasil pemilu ini mulai bertugas, mencerminkan keragaman politik dan ideologi bangsa. Namun, meskipun Pemilu 1955 berjalan sukses, era Demokrasi Parlementer tidak berlangsung lama.

Gejolak dan Kegagalan Konstituante

Periode ini diwarnai dengan ketidakstabilan politik yang parah. Kabinet silih berganti jatuh bangun (ada tujuh kabinet dalam sembilan tahun!), yang membuat pembangunan dan kebijakan jangka panjang sulit diwujudkan. Ditambah lagi, Konstituante, yang bertugas menyusun undang-undang dasar baru, menemui jalan buntu. Setelah bertahun-tahun bersidang, para anggota Konstituante gagal mencapai kesepakatan mengenai dasar negara, terutama terkait posisi Islam dalam konstitusi.

Krisis politik yang berkepanjangan ini mencapai puncaknya pada tahun 1959, yang membuka jalan bagi perubahan drastis dalam sistem politik Indonesia.

3. Era Demokrasi Terpimpin: Kekuasaan Eksekutif yang Dominan (1959-1965)

Frustrasi terhadap ketidakstabilan politik dan kegagalan Konstituante mendorong Presiden Soekarno untuk mengambil tindakan tegas.

Dekrit Presiden 5 Juli 1959 dan Pembubaran DPR

Pada 5 Juli 1959, Presiden Soekarno mengeluarkan Dekrit Presiden yang sangat bersejarah. Dekrit ini menyatakan:

  1. Pembubaran Konstituante.
  2. Berlakunya kembali UUD 1945 dan tidak berlakunya UUDS 1950.
  3. Pembentukan MPRS (Majelis Permusyawaratan Rakyat Sementara) dan DPAS (Dewan Pertimbangan Agung Sementara).

Dengan diberlakukannya kembali UUD 1945, sistem pemerintahan beralih dari parlementer menjadi presidensial, dan Presiden Soekarno mulai menerapkan konsep Demokrasi Terpimpin.

Dampak langsung bagi DPR adalah pembubaran DPR hasil Pemilu 1955 oleh Presiden Soekarno pada tahun 1960, karena dianggap tidak sejalan dengan kebijakan pemerintah.

DPR Gotong Royong (DPR-GR)

Sebagai gantinya, Presiden Soekarno membentuk Dewan Perwakilan Rakyat Gotong Royong (DPR-GR). Berbeda dengan DPR sebelumnya yang dipilih rakyat, anggota DPR-GR ditunjuk langsung oleh Presiden. Penunjukan ini didasarkan pada prinsip NASAKOM (Nasionalis, Agama, Komunis), yang menjadi ideologi sentral Demokrasi Terpimpin.

DPR-GR, sesuai namanya, diharapkan dapat bekerja secara "gotong royong" mendukung program pemerintah. Dalam praktiknya, peran DPR-GR sebagai lembaga pengawas dan penyeimbang kekuasaan eksekutif sangat lemah. Kekuasaan Presiden Soekarno menjadi sangat dominan, dan DPR-GR lebih berfungsi sebagai alat legitimasi kebijakan pemerintah daripada sebagai wakil rakyat yang independen. Periode ini diwarnai oleh sentralisasi kekuasaan dan minimnya kontrol parlemen terhadap eksekutif.

4. Orde Baru: Stabilitas di Bawah Kendali (1966-1998)

Setelah peristiwa G30S/PKI dan transisi kepemimpinan dari Soekarno ke Soeharto, Indonesia memasuki era Orde Baru yang berlangsung selama 32 tahun. Di bawah kepemimpinan Presiden Soeharto, stabilitas politik dan pembangunan ekonomi menjadi prioritas utama.

DPR di Bawah Bayang-bayang Eksekutif

Di era Orde Baru, DPR tetap ada dan diisi oleh anggota-anggota yang dipilih melalui pemilihan umum. Namun, sistem politik Orde Baru memastikan bahwa DPR tidak dapat menjadi kekuatan penyeimbang yang efektif terhadap pemerintah.

Ciri-ciri DPR di era Orde Baru meliputi:

  • Dominasi Golkar: Partai Golkar, yang didukung penuh oleh pemerintah dan militer, selalu memenangkan mayoritas kursi di setiap pemilu (1971, 1977, 1982, 1987, 1992, 1997). Ini memastikan bahwa kebijakan pemerintah selalu mendapat dukungan dari parlemen.
  • Dwifungsi ABRI: Anggota ABRI (Angkatan Bersenjata Republik Indonesia) juga mendapatkan jatah kursi di DPR tanpa melalui pemilu, berdasarkan konsep Dwifungsi ABRI yang mengintegrasikan peran sosial-politik militer. Ini semakin memperkuat kontrol pemerintah.
  • MPR sebagai Lembaga Tertinggi: Sesuai UUD 1945, MPR (Majelis Permusyawaratan Rakyat) adalah lembaga tertinggi negara, yang berwenang memilih Presiden dan Wakil Presiden, serta menetapkan GBHN. Namun, karena mayoritas anggota MPR berasal dari Golkar dan ABRI (serta utusan daerah dan golongan yang ditunjuk), MPR praktis menjadi alat legitimasi kekuasaan Presiden Soeharto.
  • Minimnya Fungsi Pengawasan: Meskipun secara konstitusional DPR memiliki fungsi legislasi, anggaran, dan pengawasan, dalam praktiknya fungsi pengawasan terhadap pemerintah sangat terbatas. Kritisisme dari anggota DPR jarang terjadi dan cenderung tidak efektif.

DPR di era Orde Baru sering digambarkan sebagai "stempel karet" bagi kebijakan pemerintah. Ini bukan berarti tidak ada anggota DPR yang memiliki integritas atau berusaha menyuarakan aspirasi rakyat, namun sistem politik yang sangat terkontrol membatasi ruang gerak mereka secara signifikan. Fokus utama adalah menjaga stabilitas untuk pembangunan, seringkali dengan mengorbankan partisipasi politik dan kebebasan berekspresi.

5. Era Reformasi: Kebangkitan Demokrasi dan Peran Baru (1998-Sekarang)

Kejatuhan Orde Baru pada tahun 1998 membuka lembaran baru dalam sejarah Indonesia, yang dikenal sebagai Era Reformasi. Ini adalah periode transformasi politik yang paling radikal, dan DPR menjadi salah satu lembaga yang mengalami perubahan paling mendasar.

Amandemen UUD 1945 dan Penguatan DPR

Gelombang reformasi membawa serta tuntutan untuk mengubah konstitusi demi menciptakan sistem pemerintahan yang lebih demokratis dan akuntabel. Melalui empat kali amandemen UUD 1945 (1999, 2000, 2001, 2002), peran dan fungsi DPR diperkuat secara signifikan.

Beberapa perubahan kunci meliputi:

  • Kedudukan yang Setara dengan Presiden: DPR tidak lagi hanya menjadi lembaga pendukung, melainkan menjadi mitra sejajar Presiden dalam membentuk undang-undang. Presiden tidak bisa lagi mengeluarkan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang (Perppu) tanpa persetujuan DPR.
  • Fungsi Legislasi, Anggaran, dan Pengawasan yang Diperkuat: Amandemen UUD 1945 secara eksplisit memperjelas dan memperkuat tiga fungsi utama DPR:
    • Fungsi Legislasi: Membentuk undang-undang bersama Presiden.
    • Fungsi Anggaran: Menetapkan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) bersama Presiden.
    • Fungsi Pengawasan: Mengawasi pelaksanaan undang-undang dan kebijakan pemerintah.
  • Kewenangan Memilih Presiden Dicabut dari MPR: Presiden dan Wakil Presiden kini dipilih langsung oleh rakyat melalui pemilihan umum, bukan lagi oleh MPR. Ini secara signifikan mengurangi dominasi MPR dan memperkuat sistem presidensial.
  • Penghapusan Utusan Golongan dan ABRI: Struktur MPR diubah, menghilangkan unsur utusan golongan dan ABRI/TNI-Polri yang ditunjuk. Anggota MPR kini seluruhnya terdiri dari anggota DPR dan DPD (Dewan Perwakilan Daerah).
  • Pembentukan DPD: Munculnya DPD sebagai lembaga perwakilan daerah memberikan dimensi baru dalam sistem bikameral Indonesia, melengkapi DPR yang mewakili rakyat secara nasional.

Pemilihan Umum yang Lebih Demokratis

Sejak Reformasi, Indonesia telah menyelenggarakan beberapa kali Pemilu yang lebih bebas dan adil (1999, 2004, 2009, 2014, 2019, 2024). Sistem pemilihan proporsional terbuka memungkinkan rakyat memilih langsung calon legislatif yang mereka inginkan, bukan hanya partai politik. Ini meningkatkan akuntabilitas anggota DPR kepada konstituen mereka.

DPR di era Reformasi telah menunjukkan perannya sebagai lembaga yang lebih independen, aktif dalam mengawasi pemerintah, membentuk undang-undang, dan menyuarakan aspirasi rakyat. Debat-debat yang hidup di parlemen menjadi tontonan publik, mencerminkan kebebasan berekspresi yang kembali bangkit.

6. DPR di Era Kontemporer: Tantangan dan Harapan

DPR saat ini adalah produk dari perjalanan panjang dan berliku. Ia adalah lembaga yang jauh lebih kuat dan independen dibandingkan era-era sebelumnya, namun juga menghadapi tantangan yang tidak kalah kompleks.

Tantangan yang Dihadapi

  • Citra Publik: Meskipun perannya vital, citra DPR di mata publik seringkali diwarnai oleh persepsi negatif, terutama terkait isu korupsi, kinerja yang kurang optimal, dan kurangnya transparansi.
  • Kualitas Legislasi: Pembentukan undang-undang yang berkualitas, responsif terhadap kebutuhan masyarakat, dan tidak tumpang tindih dengan regulasi lain masih menjadi pekerjaan rumah. Proses legislasi yang transparan dan partisipatif adalah kunci.
  • Partisipasi Publik: Meskipun ruang partisipasi dibuka lebar, mekanisme agar aspirasi masyarakat dapat terserap dan terwakili dengan efektif masih terus disempurnakan.
  • Adaptasi Teknologi: Di era digital, DPR dituntut untuk lebih terbuka, menggunakan teknologi untuk meningkatkan transparansi, dan mendekatkan diri dengan konstituen melalui platform digital.

Harapan untuk Masa Depan

DPR memegang kunci bagi masa depan demokrasi Indonesia. Harapan besar selalu tertumpu pada lembaga ini untuk:

  • Meningkatkan Akuntabilitas dan Transparansi: Menjadi lebih terbuka dalam setiap proses pengambilan keputusan dan lebih bertanggung jawab kepada rakyat.
  • Memperkuat Fungsi Pengawasan: Menjadi "check and balance" yang efektif terhadap pemerintah, memastikan kebijakan yang pro-rakyat.
  • Menciptakan Legislasi yang Berpihak pada Rakyat: Menghasilkan undang-undang yang adil, inklusif, dan mendorong kemajuan bangsa.
  • Membangun Kembali Kepercayaan Publik: Dengan kinerja yang lebih baik, integritas yang tinggi, dan responsivitas terhadap isu-isu krusial.

Kesimpulan: Perjalanan yang Belum Usai

Dari Volksraad yang terbatas, KNIP yang heroik, DPR hasil Pemilu 1955 yang demokratis namun rentan, hingga DPR-GR yang dikendalikan, dan DPR Orde Baru yang seragam, lalu akhirnya bertransformasi menjadi DPR yang kuat dan independen di era Reformasi, perjalanan Dewan Perwakilan Rakyat Indonesia adalah sebuah epik.

Setiap babak dalam sejarahnya mencerminkan kondisi politik, tantangan, dan aspirasi masyarakat pada masanya. DPR bukan hanya gedung megah di Senayan, melainkan representasi dari perjalanan panjang bangsa Indonesia dalam menemukan identitas demokrasinya. Ini adalah lembaga yang terus belajar, beradaptasi, dan berjuang untuk memenuhi janji kemerdekaan: mewujudkan keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia.

Sebagai warga negara, tugas kita adalah terus mengawasi, berpartisipasi, dan mengingatkan para wakil kita di Senayan bahwa suara rakyat adalah amanah suci yang harus dijaga. Karena pada akhirnya, kekuatan DPR adalah cerminan dari kekuatan dan kesadaran politik rakyatnya sendiri.

Semoga artikel ini memenuhi kriteria Anda untuk pengajuan Google AdSense dan memberikan gambaran yang komprehensif serta menarik tentang sejarah DPR di Indonesia!

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *